Kamis, 04 September 2014

Ibunda Sang Pencatat Wahyu

An-Nawar binti Malik, Ibunda Sang Pencatat Wahyu
Di balik tangan lentik dan kelindaian Zaid bin Tsabit, sang “pencatat wahyu” menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat, terdapat sentuhan lembut penuh dedikasi dan kasih sayang dari ibundanya tercinta, An-Nawar binti Malik.

Ia mendidik Zaid dan menanamkan keislaman kepada buah hatinya itu bersama sang suami, Tsabit bin Zaid. Namun, keutuhan dan kebahagian keluarga kecil mereka tak berlangsung lama.

Pada usia lima tahun, ayahandanya gugur dalam Perang Bu’ats. Perang antara Suku Aus dan Khazraj yang terjadi sebelum peristiwa hijrah berlangsung tersebut, telah merenggut kasih sayang seorang ayah darinya.

Peristiwa ini pun menuntut An-Nawar berjuang seorang diri membesarkan dan mendidik anaknya. Ia tetap tegar mengantarkan anak tercintanya itu menuju kesuksesan.

Bekal kecerdasan dan kecintaan terhadap Islam An-Nawar menguatkan fondasi keimanan Zaid. Ibundanya itu berhasil memosisikan dirinya sebagai madrasah utama. Setapak demi setapak ia menancapkan ilmu ke dalam diri Zaid.

Alhasil, Zaid tumbuh sebagai pribadi yang matang dan berkualitas. Zaid tercatat sebagai pemuda pertama yang memeluk Islam. Ia cerdas dan jenius. Di usianya yang ke-11 tahun, keturunan Bani Khazraj ini mampu menghafal belasan Surah Alquran.

Daya ingatnya cukup kuat. Hanya dalam hitungan hari, tepatnya 17 hari, ia berhasil menguasi bahasa Suryani dan 15 hari untuk penguasaan bahasa Ibrani. Prestasi ini pun, menjadikannya didaulat sebagai sekretaris Rasulullah.

Sentuhan An-Nawar pun telah memoles mentalitas Zaid sebagai seorang Mukmin. Pada usia 13 tahun, Zaid mendaftarkan diri turutserta berperang di Perang Badar. Keberanian yang jarang dimiliki oleh bocah seusianya.
Sontak kehadirannya mengundang perhatian. Tubuhnya yang mungil tak mampu membawa beban pedang dengan ukuran yang melebihi postur badannya.

Keinginan tersebut dihargai oleh Rasulullah, tetapi akhirnya ditolak. Ini lantaran aturan peperangan melarang demikian. Tidak boleh mengikutsertakan anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia.

Zaid mendapat penjelasan langsung dari Nabi. Berperang tak cukup bermodal semangat, tetapi kesiapan fisik dan usia juga menentukan. Ia diminta agar sabar menunggu beberapa tahun lagi agar dinyatakan siap berjihad.

Jihad lisan dan pena
 
Penolakan itu membuat Zaid sangat kecewa. Sambil menangis, ia mengadu kepada ibunya. “Rasulullah melarangku berjihad,” ujarnya sambil menangis.

Sebagai ibu yang bijaksana, An-Nawar memahami semangat juang anaknya untuk menegakkan Islam. Namun, di sisi lain, pandangan Rasulullah sangat tepat.

Untuk mengobati kekecewaan anaknya, An-Nawar memberikan alternatif perjuangan lain yang bisa dilakukan anak seusianya. “Jangan bersedih anakku, jika jihad di medan perang belum boleh dilakukan anak-anak seusiamu, cobalah berjihad dengan cara lain, yakni melalui lisan atau tulisan,” katanya.

Usulan tersebut disampaikan bukan tanpa alasan. Sang ibu memahami betul potensi besar yang ada pada anaknya tersebut. Terutama, di bidang retorika dan tulis-menulis.

Sambil menghibur, An-Nawar meyakinkan lagi bahwa Zaid memiliki kelebihan dibandingkan anak-anak seusianya pada masa itu. “Engkau menguasai dan menghafal Alquran dengan sempurna, bisa menuliskannya kembali dengan baik,” katanya.
Saran ibunya membuat Zaid lega dan menghentikan tangisnya. Ia setuju berjuang di jalan Allah sesuai saran ibunya.

An-Nawar mengajak Zaid menghadap Rasulullah untuk menyampaikan potensi yang dimiliki anaknya yang masih belia.

An-Nawar berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, anak kami Zaid bin Tsabit hafal 17 surah dari Alquran. Ia juga membacanya dengan benar sebagaimana ketika wahyu itu diturunkan kepadamu. Terlebih lagi, ia pandai membaca dan menulis. Ia ingin kemampuannya tersebut bisa dekat dan menetap dengan Rasulullah. Jika engkau berkenan, simaklah bacaannya.” Rasulullah mempersilakan Zaid unjuk kebolehan. Ia pun melantunkan ayat-ayat Allah dengan fasih, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Nabi pun terpukau melihat kehebatan remaja yang pernah ditolaknya untuk ikut berperang ini.

Sebagai penghargaan, Rasulullah memberi amanah kepada Zaid untuk jihad pertamanya, yakni mengkaji Kitab Suci Yahudi, Taurat. “Wahai Zaid, pelajarilah kitab Yahudi untukku karena aku tidak bisa membuat mereka beriman kepada apa yang aku katakan kepada mereka.”

Warisan ibundanya yang mendidik Zaid untuk bekerja keras membuatnya mudah memahami Kitab Yahudi. Tidak hanya materinya, Zaid pun mempelajari bahasa Ibrani. Misi mempelajari ideologi yang diamanahkan Rasulullah dan mendalami bahasa kaum Yahudi dirampungkannya pada usia 13 tahun. Ia mahir berkomunikasi, membaca, dan menulis dalam bahasa Ibrani seperti penutur aslinya.

Selama Islam berjaya di Madinah, ia diangkat sebagai penerjemah bagi pemerintahan Islam di Madinah, penulis wahyu, penulis surat, peserta perundingan antara kabilah atau negara asing dengan negara Islam Madinah. Zaid menekuni jihad masa mudanya ini sesuai amanah Rasulullah hingga masa kenabian berakhir.

Peran Zaid terhadap Islam tidak hanya di zaman Rasulullah. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab, Zaid mendapat amanah untuk mengodifikasikan Alquran. “Kamu adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan itu,” kata Abu Bakar.

Selain mendalami Alquran, Zaid dikenal pula sebagai pakar hadis. Ia meriwayatkan 92 hadis. Di antaranya, tentang hukum warisan (faraidh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar