TAWASUL DENGAN NABI DAN ORANG-ORANG SHOLEH
Kami pengikut Ahlussunnah tidak mengi’tiqadkan bahwa dzat seorang
makhluk mempunyai pengaruh (ta’tsir), mampu mewujudkan sesuatu,
menghilangkan, memberi manfaat dan memberi bahaya baik dzat Rasulallah,
nabi-nabi, orang-orang shaleh dan lain-lain. Tetapi, kami meyakini bahwa
hanya Allah yang dapat memberi manfaat dan bahaya serta yang lainnya.
Bertawassul dengan Rasulallah (baik dengan kedudukannya atau yang lain)
atau orang-orang shalih bukan berarti menyembah kepada Rasulullah atau
orang shalih tersebut seperti yang banyak di tuduhkan, sehingga
memunculkan salah persepsi dari orang-orang yang anti terhadap ajaran
tawassul dengan secara mutlak (dengan beraneka ragam bentuknya
tawassul), bahwa orang yang bertawassul telah menjadi musyrik karena
mendudukkan selain Allah di sepadankan dengan Allah dalam berdo'a. Akan
tetapi tawassul adalah bentuk do'a yang di panjatkan kepada Allah dengan
memakai perantara Nabi atau orang shalih, dengan harapan do'anya lebih
di kabulkan oleh Allah. Hadits-hadits tentang itu semua sudah banyak di
sampaikan oleh ulama, meski menurut sebagian kalangan yang sedikit
mengerti mengenai derajat hadits, hadits-hadits dasar yang berkenaan
dengan tawassul dengan Nabi atau orang shalih di anggap lemah semua.
Sayyid Mushthafa al-Bakri, seorang ulama madzhab Hanafi dan wali besar
dalam tarekat Khalwatiyyah, menganalogikan tawassul dengan orang-orang
shalih dan mulia di depan Allah dengan memohon bantuan orang yang
mendapat kedudukan tinggi atau dekat dengan seorang raja, kemudian
karena ingin tercapai maksudnya kepada raja, orang yang dekat dengan
raja tersebut di jadikan sebagai perantara untuk di sampaikan kepada
raja agar maksudnya sukses.
Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
dalam Mafahim Yajibu An Tushahhash menjelaskan bahwasannya mencari
perantara (wasilah) bukan sebagai bentuk syirik, karena jika mencari
perantara kepada Allah adalah syirik, maka semua manusia adalah termasuk
musyrik karena dalam semua urusan, mereka selalu memakai perantara.
Lihat saja Rasulallah yang menerima wahyu al-Qur'an lewat perantara
Malaikat Jibril, Rasulallah juga adalah perantara bagi para shahabat
karena mereka kadang datang kepada beliau untuk mengadukan urusan-urusan
mereka yang dianggap berat atau memohon doa dari beliau. Apakah pernah
Rasulallah berkata pada mereka bahwa hal tersebut, yaitu memohon doa
atau bantuan, adalah musyrik? Hal ini yang tidak banyak di ketehui oleh
orang-orang yang anti terhadap tawassul.
As-Subki mengatakan:
“Tawassul dengan Nabi ada tiga macam, yaitu: tawassul dengan Nabi dalam
arti orang yang berharap hajatnya terkabulkan meminta kepada Allah lewat
dengan (wasilah) diri Nabi Muhammad atau kedudukannya atau barakahnya.
Dan masing-masing ada dasar haditsnya yang shahih.
Tawassul
merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh
Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum,
tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam
besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkanny a, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati.
Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda
(seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah
kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Hadits yang dijadikan
pijakan tentang tawassul dengan kedudukan Rasulullah di antaranya adalah
hadits dengan sanad bagus riwayat ath-Thabarani dalam al-Mu’jam
al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam doanya:
بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاء ِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي
"Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi sebelumku"
Sedangkan dalil-dalil tentang tawassul dengan Nabi (baik saat beliau
masih hidup atau sudah wafat), orang shalih, waliyullah dan lain-lain
adalah: hadits riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Bukhari
serta Ahmad bin Hanbal dari ‘Utsman bin Hunaif, mengatakan: “Pada suatu
waktu ada laki-laki buta datang kepada RasulUllah dan meminta supaya
Rasulullah mendoakannya agar mendapatkan sehat wal afiyat, Rasulallah
menjawab: ‘Jika kamu menginginkannya ,
aku dapat berdoa untukmu atau kamu bersabar dan itu lebih baik bagimu!’
Laki-laki itu menjawab: ‘Berdoalah untukku!’ Kemudian Rasulullah
memerintahkan laki-laki tersebut berwudhu dengan baik dan berdoa sebagai
berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى
رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Wahai Tuhanku, aku meminta kepada Engkau dan aku menghadap kepada
Engkau lewat Nabi Engkau Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad,
sesunguhnya aku menghadap kepada Rabb-ku lewat Engkau dalam memenuhi
kebutuhanku ini sepaya Engkau dapat memenuhinya untukku. Wahai Tuhanku
berilah syafaat kepadaku.”
Hadits ini adalah hadits shahih
hasan sebagaimana disampaikan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh
al-Baihaqi. Hadits yang hampir senada dengan hadits di atas juga
diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Mu‘jam al-Kabir dan al-Mu‘jam
ash-Shaghir.
Dalam hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad shahih disebutkan bahwasannya orang-orang pernah
mengalami kepayahan karena ketiadaan air di zaman Khalifah ‘Umar bin
Khaththab. Kemudian Bilal bin Harits mendatangi makam Rasulallah dan
berkata: “Memintalah engkau hujan untuk umatmu, karena mereka sedang
kepayahan!” Kemudian Rasulallah datang dalam mimpi Bilal dan memberi
kabar bahwa mereka akan diberi hujan.
Hadits riwayat
al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bahwa ketika para shahabat
kepayahan karena ketiadaan air, Umar bin Khaththab ber-istisqa’ lewat
‘Abbas bin Abdil Muththalib, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Wahai Tuhanku,
sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan Nabi kami dan
Engkau memberu hujan kami. Dan kami bertawassul kepada Engkau lewat
dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan!”
Hadits
riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Umar bin Khaththab mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, dia
bermunajat: “Wahai Rabb-ku, aku memohon kepada-Mu dengan lewat
haq-Muhammad ketika Engkau mengampuni kesalahanku.” Lalu Allah
berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau tahu tentang Muhammad sementara
Aku belum menciptakannya? ”
Adam menjawab: “Wahai Rabb-ku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan
tangan-Mu (kekuasaan-Mu) dan meniupkan ruh di jasadku dari ruh-Mu, aku
mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis La
ilaha illallah, Muhammad Rasulallah, dan aku tahu Engkau tidak akan
menyandarkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau kasihi.”
Allah kembali berfirman: “Benar wahai engkau Adam, karena sesungguhnya
Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai; dan jika engkau memohon
kepada-Ku lewat dengan haq-nya Aku akan mengampunimu. Andai bukan karena
Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu. ”
Al-Alusi dalam
kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani saat menguraikan ayat 35 dari surat
al-Maidah tentang perintah mencari wasilah, menjelaskan di
perbolehkannya bertawassul dengan kedudukan Rasulullah.
Ulama yang
shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membolehkan Tawassul
(Sebagian diambil dari kitab Syawahid al-Haq karya Syaikh Yusuf
an-Nabhani yang khusus menerangkan tentang tawassul atau istighatsah ) :
1. Al Imam Sufyan bin Uyainah (guru dari Al Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal).
2. Al Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi).
3. Al Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani (murid Al Imam Abu Hanifah).
4. Al Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani (ulama terkemuka madzhab Hanafi).
5. Al Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki).
6. Al Imam Asy Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i).
7. Al Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Mazhab Hanbali).
8. Al Imam Abu Ali al Khallal (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
9. Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani.
10. Al Hafizh al Khatib al Baghdadi (penulis kitab Tarikh Baghdad)
11. Al Hafizh Ibnu Khuzaimah.
12. Al Hafizh Abu al Qasim ath Thabarani
13. Al Hafizh Abu Syaikh al Ashbihani.
14. Al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri’ al Ashbihani.
15. Al Hafizh Ibn al Jauzi.
16. Al Hafizh adz Dzahabi.
17. Syaikh Yusuf bin Ismail al Nabhani.
18. Al Hafizh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al Harbi (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
19. Al Hafizh Abu Ali al Husain bin Ali bin Yazid al Naisaburi (guru utama al Imam al Hakim).
20. Al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi (ulama terkemuka madzhab Hanbali).
21. Al Imam Abu al Khair al Aqtha al Tinati (murid al Imam Abu Abdillah bin al Jalla).
22. Al Hafizh Ibnu Asakir.
23. Al Hafizh Al Sakhawi.
24. Al Sya’rani.
25. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Al Imam al Nawawi).
26. Al Hafizh Ibn Al Jazari.
27. Al Imam Muhammad bin Ali al Syaukani.
28. Al Hafizh al Baihaqi
29. Zainuddin Ali bin al-Husain (cucu Rasulallah)
30. Asy-Syihab Mahmud
31. Asy-Syihab Ahmad ad-Dimasyqi
32. Al-Juzuli dalam Dala’il al-Khairat
33. Muhammad al-Makki dalam shalawat Fathur Rasul
34. Muhammad asy-Syanwani, Syaikh Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang juga pengarang syarah Mukhtashar Abi Jamrah
35. Muhammad Wafa asy-Syadzili
sedang ulama yg melakukan tawasul dalam keterangan kitab yang laen sbg berikut:
1. Sufyan bin Uyainah (198 H / 813 M)
Sufyan bin Uyainah berkata: ada dua laki2 saleh yg dpt menurunkan hujan
dg cara bertawassul dg mereka yaitu Ibnu 'Ajlan dan Yazid bin Yadzibin
jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. (kitab
al-'illal wa Ma'rifah al-Rijal juz I hal. 163-164 karya Ahmad bin
Hanbal)
2 Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M)
perkataan Abu Hanifah ketika berziarah ke Madinah dan berdiri di hadapan makam Rosulullah saw. yaitu:
"Hai orang yg termulya di antara manusia dan jin dan sebaik-baik
makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridloilah aku dg ridlomu. Aku
merindukan kemurahan darimu, engkaulah satu2nya harapan Abu Hanifah"
(kitab al-Ziyaroh Nabawiyah hal. 56 karya Sayyid Muhammad al-Maliki)
3. Imam Syafii (150-204 H/ 767-819 M)
"Dari Ali bin Maimun beliau berkata: Aku telah mendengar Imam Syafii
berkata: Aku selalu bertabarruk dg Abu Hanifah dan mendatangi makamnya
dg berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan
sholat 2 rokaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu
kepada Allah di sisi makamnya,sehing ga
tdk lama kemudian hajatku segera terkabulkan" (kitab Tarikh al-Baghdad
juz I hal. 123 dg sanad yg shohih, karya al-Hafidz Abi Bakr Ahmad bin
Ali)
4. Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ishaq al-Harby (198-285 H/813-898 M)
Ibrahim al-Harby berkata: Makam Ma'ruf al-Karkhy adalah obat penawar yg
sangat mujarab (maksudnya datanglah ke makam Ma'ruf al-Karkhy, sebab
berdo'a di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan (Kitab Tarikh
al-Islam hal.1494 karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman)
tawassul yg dilakukan oleh ulama' muta'akhirin
1. Ibnu Huzaimah (223-311 H/ 838-924 M)
"Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, Abu Bakr bin Huzaimah dan
rekannya Abu Ali al-Tsaqofy beserta rombongan para guru utk berziarah ke
makam Ali Ridlo bin Musa al-Kadzim di Thusi, ia (Abu Bakr bin Mu'ammal)
berkata: Aku melihat keta'dliman beliau (Ibnu Huzaimah) thd makam
itu,serta sikap tawadlu' terhadapnya dan do'a beliau yg begitu khusyu'
di sisi makam itu sampai membuat kami bingung (kitab Tahdzib.... juz 7
hal. 339 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolany)
2. Abu Qosim
al-Thobary (260-360 H/874-971 M) Abu al-Syaikh al-Asbihany (274-369 H/
897-979 M)dan Abu Bakar bin Muqry al-Asbihany (273-381 H/
896-991 M) Mereka mengisahkan kondisi mereka dlm keadaan lapar selama
satu tahun kurang makan,lalu setelah waktu Isya' mereka bertawasul dan
beristighosah dg cara mengunjungi makam Rosulullah saw seraya berkata
demikian: "Yaa Rosulullah kami semua lapar dan lapar" dan saat salah
satu mau pulang,al-Thobary berkata: Duduklah,kita tunggu datangnya rizki
atau kematian, kemudian 2 org teman al-Thobary tidur di sisi makam
Rosulullah saw,sedang al-Thobary duduk sambil memandang sesuatu, tiba2
datang seorang lelaki 'alawy (yaitu keturunan Nabi saw) bersama dg 2
budaknya yg masing2 membawa keranjang yg penuh dg makanan. Lalu kami
duduk dan makan bersama, kemudian lelaki 'alawy berkata: Hai kamu apakah
kamu semua mengadu kpd Rosulullah? Aku barusan bermimpi bertemu dg
Rosulullah saw dan menyuruh aku membawakan makanan untuk kamu sekalian
(kitab al-Wafa bi Ahwal al-Musthafa hal.818 karya Ibnu al-Jauzy)
3. Abu Ali al-Husaini bin Ali bin Yazid al-Asbihany (277-349 H/ 900-961 M) beliau berkomentar sebagai berikut:
"Al-Hakim berkata bahwa aku telah mendengar Abu Ali al-Naisabury
berkata: Pada suatu ketika aku dlm kesusahan yg sangat mendalam,lalu aku
bermimpi bertemu Rosulullah saw. dan beliau berkata kpdku: "Pergilah ke
makam Yahya bin Yahya (142-226 H/ 759-840 M),bacalah istighfar dan
berdo'alah kpd Allah nanti kebutuhanmu akan dikabulkan" Kemudian pagi
harinya aku melakukan hal tersebut,lalu kebutuhanku segera dikabulkan
(kitab Tahdzib...juz 11 hal. 261 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani)
4. Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu:
"Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg
dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat
bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah
Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan
bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd
Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"
>>>>>>>>>>>>>>> >>>>>>>>>>>>>>> >>>>>>>>>>>>>
DIBAWAH INI ANE TAMBAHKAN CATATAN MENARIK COPAS DR JAWABAN AKHI EKO ISKANDAR DIGRUOP ISLAM DENGAN SUNNAH DAN BID`AH HASANAH
TAWASSUL
Para ulama seperti al Imam al Hafizh Taqiyyuddin al Subki menegaskan
bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan
tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan
tawassul –dan istilah istilah lain yang sma – dengan definisi sbb:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya
(keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan (ikram) keduanya.“ (Al Hafizh al Abdari, al Syarh al
Qawim, hal 378). Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU
menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah
diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat
radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para
Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkanny a, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati.
Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda
(seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah
kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Boleh berdoa dengan tanpa
perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara
orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh
berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada
benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah
Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib
Munzir al Musawa).
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada
Allah dengan menyebut sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah.
Contohnya: “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhammad saw, mudahkanlah
segala urusanku Yang Engkau ridhai.”
Seseorang yang
bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan
segala kekurangannya tsb, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh
karena itu ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang –
menurut prasangka baiknya – dicintai Allah swt. Inilah hakikat tawassul.
(sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’
sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan
para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau
mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap
berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan
bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak
lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan
ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup,
Allah swt yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah
mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba
yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri.
(Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim
Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).
Baginda Nabi Muhammad saw melakukan tawassul
Dalam hadits dibawah ini akan disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah
saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum
beliau, yang kesemuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa as.
(Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir;
Maktabatul Ulum wal Hikam, juz 24. cet II Mushil, 1983, hal. 351.
Diceritakan sbb:
Ketika ibunda dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra
yang bernama Fathimah binti Asad rha meninggal dunia, Rasulullah saw
memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau
memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al Anshari, Umar bin Khaththab,
dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka
pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun ketika hendak menggali liang
lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian
dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang
lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar
kubur dan kemudian berkata:
“Allah adalah yang Maha
Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah
mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk
mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, DENGAN HAK (KEMULIAAN)
NABI-MU DAN PARA NABI SEBELUMKU. Karena sesungguhnya Engkau Maha
Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah saw
menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu
Bakar Ash Shiddiq. (Hadits Riwayat Thabrani) Menurut Al Hafizh al
Ghimari hadits ini merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban
adalah hadits shahih.
Tawassul para Sahabat radhiallahu
‘anhum dengan Baginda Nabi Muhammad saw setelah beliau saw wafat.
(Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Al Mu’jamus Shaghir;
Maktabatul Islami Darul Ummar, juz 1. cet I Beirut, 1983, hal. 306.
Diceritakan sbb:
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra berkata:
Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi saw dan meminta
beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu
Rasulullah saw memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh
atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi lelaki itu berkeras
minta didoakan agar dapat melihat kembali.
Rasulullah saw kemudian memerintahkanny a untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada Mu dengan
(bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang.
(Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan
(bertawassul dengan) –mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah
syafaat beliau untukku. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi
menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan sahih. Imam Hakim dan Adz
Dzahabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.
Dalam
hadits di atas, Rasulullah saw mengajarkan cara kita bertawassul kepada
beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih
hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau saw.
Buktinya SEJUMLAH SAHABAT MENGGUNAKAN TAWASSUL INI SEPENINGGAL NABI
MUHAMMAD SAW. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain.
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada
seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan ra
untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan ra tidak sempat memperhatikanny a.
Ketika bertemu dengan Ustman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan
permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan
lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid,
membaca doa tsb di atas dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi
menemui sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah melaksankan saran Utsman
bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap khalifah Utsman bin Affan ra.
Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya, membawanya masuk
dengan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman bin Affan ra kemudian
mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya
kepadanya, “Apa Hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya, sayyidina
Utsman ra pun memenuhi permintaanya. Kemudian beliau ra berkata,
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan
sesuatu, segeralah datang kemari.”
Ketika meninggalkan kediaman
Sayyidina Utsman ra, lelaki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif ra.
“Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku
kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun
memandangku.” ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.
Jawaban
Utsman bin Hunaif: “Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya
(Sayyidina Utsman bin Affan ra). Hanya saja aku menyaksikan seorang
lelaki tuna netra datang menemuin Rasulullah saw mengeluhkan kebutaannya
... (sampai akhir cerita tsb di atas).
ISTIGHATSAH
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Allah swt tidak pernah melarang kita untuk meminta tolong kepada
makhluk-Nya. Hanya saja, Allah mengingatkan seluruh hamba-Nya, bahwa
pada hakikatnya hanya Dia lah yang dapat memberi pertolongan.
Dalam
syariat, Istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi,
Rasul, atau orang saleh – yang masih hidup maupun yang telah meninggal
dunia – untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar
dari keburukan dan lain sebagainya. (Intabih Dinuka fi Khathar; Abu
Abdillah Alwi Al Yamani; Darul Kutub, Shan’a, 1997 hal. 51).
Istighatsah Dengan Yang Hidup
Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa pada suatu hari Jum’at, ketika
Rasulullah saw berdiri menyampaikan khutbah, tiba–tiba datang seorang
lelaki lewat pintu masjid yang menghadap langsung ke mimbar. Ia berdiri
tepat di hadapan Rasulullah saw kemudian berkata: “ Duhai Rasulullah,
hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan–jalan terputus. Berdoalah
kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita semua”. Rasulullah saw
mengangkat kedua tangannya dan berdoa ; “Ya Allah berilah kami hujan,
Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan.” Doa Rasul pun
terkabul, hujan turun selama seminggu hingga lelaki itu datang kembali
dan meminta Rasul untuk berdoa agar hujan berhenti.
Saudaraku, bukankah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa setiap
muslim yang memohon kepada Nya, lalu mengapa lelaki itu tidak berdoa
sendiri? Dan mengapa Rasulullah saw tidak berkata: “Mintalah kepada
Allah secara langsung, tidak perlu meminta pertolonganku”.
Sebab lelaki itu menyadari bahwa dirinya penuh kekurangan. Ia sadar
bahwa dirinya belum memenuhi semua syarat terkabulnya doa. Rasulullah
saw tidak menolak permohonannya, sebab sudah menjadi tanggung jawab
setiap muslim, terutama pemimpinnya, untuk menolong saudaranya sesama
muslim dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah swt kepadanya.
Inilah yang disebut dengan Istighatsah.
Istighatsah dengan Yang Telah Meninggal Dunia.
Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman
kita, kepada guru kita, kepada kaum Sholihin, kepada para Malaikat, maka
meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga
sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah
makam Waliyullah, seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai Syaikh
Fulan, doakan agar kami dapat menjadi muslim yang baik, dapat mendidik
anak-anak kami dengan benar ...”
Istighatsah semacam ini diizinkan
oleh syariat. Sebab pada intinya tidak ada perbedaan antara Istighatsah
dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Al Habib Munzir Al Musawa dalam buku beliau: “Kenalilah Aqidahmu” menjelaskan sbb:
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya
adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih,
dan diyakini mempunyai Manzilah di sisi Allah swt, tidak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada
perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka
justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata. Karena seluruh
manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan
kematian tidak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali
dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tidak
bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka
dirisaukan ia telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan
adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat. Padahal
manfaat dan mudharrat itu dari Allah. Dan kekuasaan Allah tidak dapat
dibatasi dengan kehidupan dan kematian.
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Pertama, Pada hakikatnya Para Nabi dan Kaum Shalihin yang dirihai Allah
adalah hidup di kuburnya. Allah swt berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali
Imran ayat 169: “ Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.”
Kedua, Yang mati masih dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir; (Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimsyqi); juz
2, Darur Fikr, Beirut 1401 H , hal. 388. Beliau, Ibnu Katsir ra ketika
menafsirkan ayat 105 Surat At taubah yang berbunyi, “Dan katakanlah,
beramallah kalian, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat amal kalian.”
Beliau ketika menafsirkan ayat tsb berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup
dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal
dunia di alam barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud ath
Thayalisi.”
Selanjutnya Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
menjelaskan bahwa dalam hadits dibawah ini dinyatakan bahwa yang mati
masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup.
“Sesungguhnya semua
amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di
kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia
dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah,
berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepadamu.”
Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi dalam
Mushannif Ibnu Abi Syaibah menuliskan: Ibnu Abi Syaibah menyebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Sayyidina Umar ra terjadi panceklik. Saat
itu Bilal bin Harits Al Muzani berziarah ke makam Rasulullah saw dan
berkata : “Duhai Rasulullah saw. Mintakan hujan kepada Allah untuk
umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia
bermimpi bertemu dengan Nabi saw yang berkata kepadanya: “Temuilah Umar,
sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan
memperoleh hujan.” Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits
ini shahih.
Dalam Atsar di atas disebutkan dengan jelas bahwa sahabat Bilal bin Harits al Muzani ber-istighatsah dengan Rasulullah saw jauh hari setelah beliau wafat dan tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya.
Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : Membongkar
Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”
juga memuat & menjelaskan hadits sbb:
“Diriwayatkan dari
Abdullah ra, Nabi saw bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan
matiku adalah kebaikan bagi kalian. Ketika aku hidup kalian melakukan
banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan
bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian. Jika aku melihat amal
kalian baik maka aku memuji Allah karenanya. Dan jika aku melihat amal
kalian yang buruk, maka aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya. Hadits di atas
menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah saw sudah meninggal, beliau tetap
bermanfaat bagi umatnya, seperti bisa mendoakan dan memohon ampun kepada
Allah untuk umatnya. Oleh karena itu dibolehkan bertawassul dan
ber-istighatsah dengan beliau, memohon didoakan oleh Beliau saw meskipun beliau sudah meninggal.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau
terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada
beliau: “Sebutkanlah orang yang paling anda cintai.” Lalu Ibnu Umar
berkata: “Yaa Muhammad.” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam al Adab al
Mufrad. Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ra
melakukan Tawassul & Istighatsah dengan menggunakan redaksi Nida’
(memanggil) “Yaa Muhammad” yang artinya “adrikni bi du’aika yaa
Muhammad” (tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal
ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Sehingga hadits ini
menunjukkan bahwa bertawassul dan beristighatsah dengan Rasulullah saw
setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’
(memanggil), yang berarti nida’ al mayyit (memanggil seorang Nabi atau
Wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.
Al
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith menjelaskan bahwa : Para Nabi as,
demikian pula orang-orang yang syahid, tetap hidup dalam kubur mereka,
yakni dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui –apa yang Allah
kehendaki untuk mereka ketahui– terkait dengan berbagai keadaan di alam
ini. Pastinya, kehidupan para Nabi as, dan orang-orang yang mewarisi
mereka, lebih utuh dan lebih sempurna daripada kehidupan orang-orang
yang mati syahid , karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibanding orang-oarng yang mati syahid. Dalilnya adalah firman Allah
swt: “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat
oleh Allah, (yaitu) para Nabi, Para Pecinta Kebenaran, Orang-orang yang
Mati Syahid, dan Orang-orang Shalih. Metreka itulah teman yang
sebaik-baiknya. ” – QS An Nisa : 69.
Dalam hadits-hadits shahih dinyatakan bahwa mereka tetap dalam kondisi
hidup, dan bumi tidak memakan hasad mereka. Anas ra mengatakan Nabi saw
bersabda: “Pada malam saat aku mengalami Isra’, aku menemui Musa as
berdiri di atas kuburnya di bukit pasir merah (Muslim: 2385).
Beliau
saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan jasad
para Nabi. (Disampaikan oleh Abu daud: 1047, An Nasai: 1374, Ibnu Majah:
1085, Ad Darimi: 1572, dan Ahmad: IV:8, dari riwayat Aus bin Aus ra).
Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa mereka pun bershalawat dan
beramal seperti mereka hidup. Diantaranya adalah sabda Nabi saw, “para
Nabi hidup dan shalat di kubur mereka.” (Disampaikan oleh Abu Ya’la
dalam al Musnad dari hadits riwayat Anas bin Malik ra).
Para
Ulama mengatakan, kwenyataan ini tidak bertentangan dengan ketentuan
bahwasanya akhirat bukan negeri Taklif (pembebanan) atas kewajiban
ataupun amal. Amal dapat terlaksana walau tanpa ada pembebanan, yakni
hanya untuk dinikmati.
Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al
Haddad (Shahibur Ratib) mengatakan: sesungguhnya manfaat yang diberikan
orang-orang yang sudah wafat kepada orang-orang yang masih hidup lebih
banyak daripada manfaat yang diberikan orang-orang hidup kepada mereka.
Karena orang-orang yang masih hidup sibuk dengan perhatian mereka pada
masalah rizqi hingga hal tsb terlalaikan. Sementara orang-orang yang
sudah wafat telah terlepas dari masalah rizqi duniawi dan tidak
memperdulikanny a lagi
kecuali berupa amal-amal shalih yang mereka persembahkan. Mereka tidak
memiliki keterkaitan (dengan masalah rizqi) kecuali dengan amal-amal
mereka itu, seperti halnya para malaikat.
Ketahuilah, pemaparan di
atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Jika anak Adam (manusia)
mati, terputuslah amalnya kecuali tiga.” (Disampaikan oleh Muslim: 1631
dan yang lainnya, dari hadits riwayat Abu Hurairah ra). Maksudnya, amal
seseorang untuk dirinya itu sendiri terputus, yaitu amal yang terkait
dengan beban kewajiban beramal untuk mendapatt ganjaran. Amal seperti
ini terputus baginya karena kematiannya. Adapun amalnya (orang yang
telah wafat) untuk orang lain, seperti doa dan permohonan ampunan yang
ia lakukan untuk orang yang masih hidup, pada hadits tersebut tidak
menunjukkan adanya keterputusan amal. Bahkan, sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, amalnya tetap berlaku setelah mati. (Sumber:
Majalah Al Kisah no. 01, tanggal 11-24 Januari 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar