Pertanyaan yang sering diajukan oleh kaum Wahhabi seperti Ibn Baz, al-Utsaimin, al-Albani, Mahrus Ali, dan lain-lain adalah: Bolehkah mengamalkan shalawat yang tidak disusun oleh Nabi SAW, bahkan tidak dikenal pada masa beliau?. Bahkan terakhir, tayangan Khazanah Trans 7 pada hari Jum’at 12 April 2013 menayangkan hal tersebut dengan membid’ahkan amaliah sholawat yang dikarang oleh ulama.
Sedangkan mengenai bentuk redaksinya, shalawat itu ada dua macam, yaitu Shalawat Ma’tsur dan Shalawat Ghoiru Ma’tsur. Shalawat Ma’tsur adalah shalawat yang dibuat oleh Rasululloh SAW sendirir, baik kalimat, cara membaca, waktu maupun fadhilahnya.
Adapun Shalawat yang masuk kategori Ghoiru Ma’tsur, adalah seperti shalawat yang disusun oleh Imam Al Ghazali, shalawat Quthbul Aqthab yang disusun oleh Sayid Abdullah bin Alawi Al-Hadad, Shalawat Nariyah, Shalawat Munjiyat, Shalawat Mukhathab dan lain – lain.
Mayoritas kaum “muslimin, berpandangan bahwa mengamalkan shalawat-shalawat yang disusun oleh para ulama dan auliya seperti Shalawat Munjiyat, Shalawat Nariyah, Shalawat al-Fatih, Shalawat Thibbul Qulub dan lain-lain adalah dibolehkan dan disunnahkan sesuai dengan paradigma umum yang mengakui adanya bid’ah hasanah dalam agama. Terdapat sekian banyak dalil -selain dalil-dalil bid’ah hasanah sebelumnya- yang menjadi dasar kebolehan membaca doa-doa dan shalawat-shalawat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Di antara dalil- dalil tersebut akan kami sebutkan satu persatu di bawah.
1. Hadits Anas bin Malik RA.
hadits anas
“Anas bin Malik berkata: “Suatu ketika Rasulullah SAW bertemu dengan laki-laki a’rabi (pedalaman) yang sedang berdoa dalam shalatnya dan berkata: “Wahai Tuhan yang tidak terlihat oleh mata, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak dapat diterangjkan oleh para pembicara, tidak diubah oleh perjalanan waktu dan tidak oleh malapetaka; Tukan yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah tetesan air luijan, jumlah daun-daun pepohonan, jumlah segala apa yang ada di bawah gelaapnya malam dan terangnya siang, satu langit dan satu bumi tidak menghalanginya ke langit dan bumi yang lain, lautan tidak dapat menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya, jadikanlah umur terbaikku akhimya, amal terbaikku pamungkasnya dan hari terbaikku hari aku bertemu dengan-Mu.”
Setelah laki-laki a’rabi itu selesai berdoa, Nabi SAW memanggilnya dan memberinya hadiah berupa emas dan beliau berkata kepada laki-laki itu: “Aku memberimu emas itu karena pujianmu yang bagus kepada Allah ‘azza wa jalla”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al- Ausath (9447) dengan sanad yang jayyid.
Hadits ini menunjukkan bolehnya berdoa dengan doa yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegur si a’rabi yang berdoa dengan susunannya sendiri, juga tidak berkata kepadanya: “Mengapa kamu berdoa dengan doa yang belum pernah aku ajarkan?!”. Akan tetapi Nabi SAW justru memujinya dan memberinya hadiah.
2. Hadits Abdullah bin Mas’ud
وَعَنِ أَبِنِ مَسْعُوْدٍ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاَحْسِنُوْا الصَّلاَةَ عَلَيْهِ فَاِنَّكُمْ لاَتَدْرُوْنَ لَعَلَّ ذَلِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ فَقَالُوْا لَهُ : فَعَلِّمْنَا, قَالَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ اِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ , الَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلاَوَّلُوْنَ وَاْلاَخِرُوْنَ.رواه ابن ماجه
“Abdullah bin Mas’ud berkata: “Apabila kalian bershalawat kepada Rasulullah SAW, maka buatlah redaksi shalawat yang bagus kepada beliau, siapa tahu barangkali shalawat kalian itu diberitahukan kepada beliau.” Mereka bertanya: “Ajari kami cara shalawat yang bagus kepada beliau.” Beliau menjawab: “Katakan, ya Allah jadikanlah segala shalawat, rahmat dan berkah-Mu kepada sayyid para rasul, pemimpin orangorang yang bertakwa, pamungkas para nabi, yaitu Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah beliau mcujam terpuji yang menjadi harapan orangorang terdahulu dan orang-orang terkemudian.” Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (906), Abdurrazzaq (3109), Abu Ya’la (5267), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (9/115) dan Ismail al-Qadhi dalam Fadhl al-Shalat (hal. 59). Hadits ini juga disebutkan oleh Ibn al-Qayyim -ideolog kedua faham Wahhabi- dalam kitabnya Jala’ al-Afham (hal. 36 dan hal 72).
3. Hadits Ali bin Abi Thalib
عَنْ سَلاَمَةَ الْكِنْدِيِّ قَالَ: كَانَ عَلِيٌّ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُ يُعَلّمُ النَّاسَ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِّيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ دَاحِىَ الْمَدْحُوَّاتِ, وَبَارِئَ الْمَسْمُوْكَاتِ, وَجَبَّارَ الْقُلُوْبِ عَلَى فِطْرَتِهَا شَقِيِّهَا وَسَعِيْدِ هَا,اجْعَلْ شَرَائِفَ صَلَوَاتِكَ وَنَوَاميَ بَرَكَاتِكَ وَرَأْفَةَ تَحَنُّنِكَ , عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِ كَ وَرَسُوْلِكَ, الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالْمُعْلِنِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالدَّامِغِ لِجَيْشْاتِ اْلاَبَاطيِْ كَمَا حُمِّلَ ,فَاضْطَلَعَ بِأَمْرِكَ بِطَاعَتِكَ ,مُسْتَوْفِزًا فِى مَرْضَاتِكَ,بَغَيْرِ نَكْلٍ فِى قَدَمٍ وَلاَوَهْيٍ فِى عَزْمٍ ,وَاعِيًا لِوَحْيِكَ ,حَافِظًا لِعَهْدِ كَ ,مَاضِيًّا عَلَى نَفَاذِ أَمْرِكَ ,حَتَّى أَوْرَ ى قَبَسًا لِقَابِسٍ , آلا ءَ اللهِ تَصِلُ بِهِ أَسْبَابَهُ ,بِهِ هُدِيَتِ اْلقُلُوْبُ بَعْدَ حَوْضاتِ الْفِتَنِ وَاْلاِثْمِ ,وَأَبْهَجَ مُوْ ضِحَاتِ اْلاَعْلاَمِ وَنَائِرَاتِ اْلاَحْكاَمِ وَمُنِيْرَاتِ اْلاِسْلاَمِ,فَهُوَ أَمِيْنُكَ الْمَأْمُوْنُ وَخَازِنُ عِلْمِكَ الْمَخْزُوْنِ وَشَهِيْدُكَ يَوْمَ الدِّيْنِ وَبَعِيْثُكَ نِعْمَةً وَرَسُوْلُكَ بِالْحَقِّ رَحْمَةً.َ اَللَّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِى عَدْنِكَ وَاجْزِهِ مُضَا عَفَاتِ الْخَيْرِ مِنْ فَضْلِكَ لَهُ مُهَنّئَاتٍ غَيْرَ مُكَدَّرَاتٍ مِنْ فَوْزِ ثَوَابِكَ الْمَحْلٌوْلِ وَجَزِيْلِ عَطَائِكَ الْمَعْلُوْلِ . اَللَّهُمَّ أَعْلِ عَلَى بِنَاءِ النَّاسِّ بِنَاءَهُ وَأَكْرِمْ مَثْوَاهُ لَدَيْكَ وَنُزُلَهُ وَأَتْمِمْ لَهُ نُوْرَهُ وَاجْزِهِ مِنِ ابْتِعَاثِكَ لَهُ مَقْبُوْلَ الشَّهَادَةِ وَمَرْضِيَّ اْلمَقَالةِ ذَا مَنْطِقٍ عَدْلٍ وَخُطَّةٍ فَصْلٍ وَبُرْهَانٍ عَظِيْمٍ
“ Salamah al Kindi berkata,” Ali bin Abi Thalib r.a mengajarkan kami cara vershalawat kepada Nabi SAW dengan berkata:” Ya Alloh, pencipta bumi yang menghampar, pencipta langit yang tingi, dan penuntun hati yang celaka dan yang bahagia pada ketetapanya, jadikanlah shalawat –Mu yang mulia, berkah-Mu yang tidak terbatas dan kasih saying-Mu yang lebut pada Muhammad hamba dan utusan-Mu, pembuka segala hal yang tertutup, pamungkas yang terdahulu, penolong agama yang benar dengan kebenaran,dan penkluk bala tentara kebatilan seperti yang dibebankan padanya, sehingga ia bangkit membawa perintah-Mu dengan tunduk kepada-Mu, siap menjalankan ridha-Mu, tanpa gentar dalam semangat dan tanpa kelemahan dalam kemauan, sang penjaga wahyu-Mu, pemelihara janji-Mu, dan pelaksana perintah-Mu sehingga ia nyalakan cahaya kebenaran pada yang mencarinya, jalan – jalan nikmat Alloh terus mengalir pada ahlinya dengan Muhammad hati yang tersesat memperoleh petunjuk setelah menyelami kekufuran dan kemaksiatan, ia ( Muhammad ) telah memperindah rambu – rambu yang terang, hukum – hukum yang bercahaya, dan cahaya – cahaya Islam yang menerangi, dialah ( Muhammad )orang yang jujur yang dipercayai oleh-Mu dan penyimpan ilmu-Mu yang tersembunyi, saksi-Mu di hari kiamat, utusan-Mu yang membawa nikmat, rasul-Mu yang membawa rahmat dengan kebenaran. Ya Alloh, luaskanlah surga-Mu baginya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat ganda dari anugerah-Mu baginya, yaitu kelipatan yang mudah dan bersih, dari pahala-Mu yang dpat diraih dan anugerah-Mu yang agung dan tidak pernah terputus . Ya Alloh, berilah ia derajat tertinggi diantara manusia, muliakanlah tempat tinggal dan jamuannya di surga-Mu, sempurnakanlah cahayanya, balaslah jasanya sebagai utusan-Mu dengan kesaksian yang diterima, ucapan yang diridhai, pemilik ucapan yang lurus, jalan pemisah antara yang benar dan yang bathil dan hujjah yang kuat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibn Jarir (224- 310 H/839-923 M) dalam Tahdzib alAtsar, Ibn Abi Ashim, Ya’qub bin Syaibah dalam Akhbar ‘Ali, Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (29520), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath (9089) dan lain-lain. Hadits ini juga dikutip oleh ahli hadits sesudah mereka seperti al-Hafizh al- Qadhi Iyadh dalam al-Syifa, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al- Badi’, Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Durr al-Mandhud, al-Hafizh al- Ghummari dalam Itqan alShan’ah dan lain-lain. Menunit al-Hafizh Ibn Katsir, redaksi shalawat ini popular dari Ali bin Abi Thalib.
4. Hadits Abdullah bin Abbas
Lebih dari itu, ada beberapa shahabat yang membuat shalawat tersendiri untuk Rasululloh SAW. Diantaranya adalah shahabat Abdullah bin Abbas seperti yang disebutkan pada hadits berikut ini:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ كَانَ اِذَا صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ : اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤَلَهُ فِى اْلاَخِرَةِ وَاْلاُوْلَى كَمَا اَتَيْتَ اِبْرَاهَيْمَ وَمُوْسَى
“ Ibn Abas r.a apabila membaca shalawat kepada Nabi SAW beliau berkata,” Ya Alloh kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur, dan berilah permohonanya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa” Hadits ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dalam al-Musnad, Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (3104) dan Ismail al-Qadhi dalam Fahdl al-Shalat ‘Ala al-Nabiy (hal 52). Hadits ini juga disebutkan oleh Ibn al-Qayyim dalam Jala’ alAfham (hal 76). Al-Hafizh al- Sakhawi mengatakan dalam alQaul al-Badi’ (hal. 46), sanad hadits ini jayyid, ku at dan shahih.
5. Shalawat al-Hasan al-Bashri
Al-Hasan al-Bashri, ulama generasi tabi’in terkemuka mengatakan: “Barangsiapa berkeinginan minum dengan gelas yang sempuma dari telaga Nabi maka bacalah:
“Ya Allah curahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sahabatnya, anak-anaknya, istri-istrinya, keturunannya, ahli baitnya, keluarga istri-istrinya, para penolongnya, pendukungnya, kekasihnya dan umatnya dan kepada kami bersama mereka semuanya ya arhamarrahimin.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dalam al Syifa dan al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 47).
6. Shalawat al-Imam al-Syafi’i
Abdullah bin al-Hakam berkata: “Aku bermimpi bertemu al-Imam al- Syafi’i setelah beliau meninggal. Aku bertanya: “Bagaimana perlakuan Allah kepadamu?” Beliau menjawab: “Allah mengasihiku dan mengampuniku. Lalu aku bertanya kepada Allah: “Dengan apa aku memperoleh derajat ini?” Lalu ada orang yang menjawab: “Dengan shalawat yang kamu tulis dalam kitab al-Risalah:
sholawat imam syafi'i
“Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Muhammad sejumlah ingatan orang-orang yang berdzikir kepada-Nya dan sejumlah kelalaian orang-orang yang lalai kepada-Nya”.
Abdullah bin al-Hakam berkata: “Pagi harinya aku lihat kitab al Risalah, ternyata shalawat di dalamnya sama dengan yang aku lihat dalam mimpiku.”
Kisah ini diriwayatkan oleh banyak ulama seperti Ibn al-Qayyim dalam Jala’ alAjham (hal. 230), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (haL 254) dan lain-lain.
Hadits-hadits di atas, dan ratusan riwayat lain dari ulama salaf dan ahli hadits yang tidak disebutkan di sini, dapat mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan di antaranya:
Pertama, dalam Islam tidak ada ajaran yang mengajak meninggalkan shalawat-shalawat atau doa-doa yang disusun oleh para ulama dan auliya.
Seperti Dalail al-Khairat, Shalawat al-Fatih, Munjiyat, Nariyah, Thibbul Qulub, Badar dan lain-kin. Bahkan sebaliknya, ajaran Islam menganjurkan untuk mengamalkan shalawat-shalawat dan doa-doa yang disusun oleh para ulama dan auliya. Sejak generasi sahabat Nabi SAW kita dianjurkan untuk menyusun shalawat yang baik kepada Nabi SAW, sebagai tanda kecintaan dan ekspresi keta’zhiman kita kepada beliau. Mereka juga mengajarkan kita cara menyusun shalawat yang baik kepada Nabi SAW, seperti shalawat yang disusun oleh Sayidina Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan ulama-ulama sesudahnya. Dari sekian banyak shalawat yang disusun oleh mereka, lahirlah karya-karya khusus dalam shalawat vang ditulis oleh para hafizh dari kalangan ahli hadits seperti Fadhl al-Shalat ‘aha. al-Nabi karya al-Imam Ismail bin Ishaq al- Qadhi, Jala’ al-Ajham karya Ibn al-Qayyim, al-Qahl al-Badi’ karya al-Hafizh al-Sakhawi dan ratusan karya shalawat lainnya.
Dengan demikian, ajakan Wahhabi agar meninggalkan shalawat dan doa yang disusun oleh para ulama dan auliya, termasuk bid’ah madzmumah yang berangkat dari paradigma Wahhabi yang anti bid’ad hasanah, serta bertentangan dengan Sunnah Rasul yang membolehkan dan memuji doa-doa yang disusun oleh para sahabatnya.
Kedua, di antara susunan shalawat yang baik adalah bacaan shalawat yang disertai dengan pujian kepada Nabi SAW.
Seperti yang dicontohkan dalam shalawat Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan menyertakan nama-nama dan sifat-sifat Nabi yang terpuji seperti, ‘alfatih lima ughliq, aldafi’ lijaysyat alabathil, al-khatim lima sabaq’ dan lain-lain. Oleh karena itu, Shalawat al-Fatih dan lain-lain yang mengandung pujian kepada Nabi SAW dengan kalimat ‘alfatih lima ughliq, al-khatim lima sabaq, thibbil qulub wa dawaiha’ dan lain-lain termasuk mengikuti Sunnah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang diakui sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin oleh kaum Muslimin. Rasulullah sendiri memerintahkan kita agar mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin sebagaimana juga diakui oleh al-’Utsaimin (Ulama Wahabi) dalam Syarh al-’Aqidah al- Wasithiyyah (hal. 639).
Ketiga, hadits-hadits di atas, dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para sahabat telah terbiasa menyusun doa-doa dan bacaan shalawat kepada Nabi.
Hal ini kemudian diteladani oleh para ulama salaf yang saleh dari kalangan ahli hadits hingga dewasa ini. Lalu bagaimana dengan pernyataan Ustadz Mahrus Ali dalam bukunya Mantan Kiai NU Menggugat Sholaunt & Dzikir Syirik (hal. 91) berikut ini:
“Para sahabat yang fasih berbahasa Arab, lihai berbicara bahasa Arab dan ahli sastra bahasa Arab pun tidak mau membuat dan mereka-reka sendiri kalimat atau bacaan sholawat untuk Rasulullah Padahal bila mereka mau, tentunya mereka akan dengan mudah sekali membuat bacaan tersebut”
Tentu saja pernyataan Ustadz Mahrus Ali ini merupakan bentuk kebohongan dan ketidaktahuan. Hal ini menjadi bukti yang sangat kuat bahwa ia dan Ustadz Mu’ammal Hamidy serta guru-guru mereka seperti Ibn Baz, al-’Utsaimin, al-Albani dan Arrabi’, bukan pengikut ahli hadits dan bukan golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, karena kitab- kitab hadits seperti Kitab Standar Hadits yang Enam (al-Kutub al-Sittah) dan lain-lain telah meriwayatkan bahwa tidak sedikit di antara sahabat yang menyusun dan mereka-reka sendiri doa-doa yang mereka baca dalam ibadah shalat, haji dan lain-lain.
Di antara mereka ada pula yang mereka-reka sendiri bacaan shalawat kepada Nabi SAW seperti shalawat yang disusun oleh Sayidina Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas yang kemudian diikuti oleh para ulama salaf yang saleh dan generasi penerus mereka hingga dewasa ini. Sebagian bacaan shalawat para sahabat dan ulama salaf yang saleh juga diriwayatkan oleh Ibn al-Qayyim-ideolog kedua ajaran Wahabi – dalam kitabnya Jala’ al-Afham.
Sesatkah Kita Karena Sholawatan ?
Ada yang berkata “kalaulah Anda tidak suka dengan kegiatan yang saya laksanakan, silahkan !, asalkan jangan ganggu kami, jangan usik ketenangan kami dalam menjalankan ritual ibadah yang kami yakini sebagaimana yang diajarkan Rosululloh SAW dan diteruskan oleh salafuna as sholihun….
Akan tetapi, karena Anda telah mengoyak ketenangan kaum muslimin, maka sangat perlu kiranya untuk kita klarifikasi bersama, lewat media apapun itu. Mari kita diskusikan bersama, tentunya dengan tanpa maksud apapun kecuali hanya satu, yaitu mengukuhkan sebuah kebenaran.
Tidak banyak masalah yang akan saya sampaikan kali ini, berikut beberapa masalah seputar sholawatan yang perlu kita cermati bersama.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Nur Muhammad SAW merupakan sebuah karunia besar Allah SWT yang diciptakan dan kemudian diutus sebagai Rosulnya, Firman Allah SWT
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107) [الأنبياء/107]
Artinya : dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Karena diutusnya Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat yang agung bagi orang mu’min, maka kita diperintah oleh Allah untuk bergembira atas kedatangannya, Firman Allah :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ 58) [يونس/58]
Artinya : Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Rahmat Allah akan meliputi dunia dan akhirat bagi orang mu’min dan hanya meliputi di dunia saja bagi orang non-mu’min. Buktinya, selama di dunia, orang yang tidak beriman tetap mendapat ni’mat Allah, ini karena rahmat Allah,dan juga karena Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rohmatun lil ’alamin, sedangkan bagi orang mu’min.Namun bagi orang mu’min, rahmat Allah akan meliputi mereka di dunia dan akhirat, dan sudah tentu hal itu juga lewat rahmat karena Nabi Muhammad.
Karena rahmat Allah, Nabi Muhammad menjamin semua umatnya untuk masuk surga kelak di hari kiamat, sabda Nabi :
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى) فتح الباري لابن حجر – (ج 20 / ص 332(
Artinya : Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang tidak mau, para sahabat bertanya Hai Rosululloh, Siapakah orang yang tidak mau? Rosul menjawab Orang yang taat kepadaku masuk surga dan orang yang durhaka kepadaku maka sungguh ia tidak mau (HR. Bukhori)
Jadi bukan tanpa alasan jika kita bergembira sebagai bagian dari manifestasi rasa syukur kita karena diutusnya Rosul, pembawa rahmat dan pemberi jaminan surga yang kemudian kita sanjungkan sholawat kepadanya setiap saat, firman Allah SWT
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [الأحزاب/56]
Artinya : Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Ayat di atas jelas menyuruh kita untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sampai disini , mari kita cermati bahwa Allah SWT hanya satu kali ini saja menyuruh hambanya sembari memberikan contoh konkrit bahwa Allah juga melaksanakan hal tersebut.
Mari kita lihat firman Allah tentang perintah sholat :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43) [البقرة/43]
Seperti perintah-perintah pada ayat lain, Allah SWT tidak pernah satu kali pun memberikan contoh, hingga sholat yang notabene adalah salah satu hal paling pokok dalam islam.
Ini bukan berarti ibadah sholat, zakat dan lain sebagainya tidak begitu penting bagi Allah, tapi ayat ini menunjukkan kemulian Rosululloh di akui oleh Allah SWT sehingga orang yang sholatpun jika tidak bersholawat kepada Nabi niscaya sholatnya tidak sah.
Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa sholawat memang disunahkan, yang bid’ah (sesat) adalah sholawatan atau pembacaan maulid secara bersama-sama atau peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan dengan mengadakan maulid-maulid secara berjama’ah di berbagai tempat secara meriah.
Berikut ulasannya :
Tentunya, ada beberapa dasar bagi mereka yang merayakan maulid Nabi SAW dengan berbagai seremoni dalam bentuk kemeriahan dan sebagian lain dalam bentuk kekhusyu’an yang bertepatan dengan hari ataupun bulan kelahiran sang Baginda.
Padahal, semua bentuk perayaan ini dilaksanakan hanya semata-mata karena ungkapan gembira dan tentunya juga sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada Nabi Muhammad SAW serta dalam rangka mengikuti jejak yang pernah dilaksanakan oleh Rosul sendiri. Sebagaimana dalah hadis-Nya :
و حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ شرح النووي على مسلم – (ج 4 / ص 119)
Hadis di atas menerangkan saat Nabi datang ke Madinah, Beliau mendapati orang yahudi sedang berpuasa hari ‘asyuro’ (tanggal 10 Muharram).
Mengetahui hal tersebut, Rosululloh menanyakannya pada orang-orang yahudi tersebut,’’ Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa?’’
Mereka menjawab “hari ini adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya serta hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada hari itu, sebagai bentuk rasa syukur beliau kepada Allah. Maka dari itu, kami berpuasa pada hari itu juga ” jawab yahudi
Rosululloh menyahut “Maka aku lebih berhak dan lebih utama dengan Musa daripada kamu sekalian”
Kemudian Rosululloh berpuasa (pada hari asyuro’) serta menyuruh kaum muslimin untuk berpuasa pada hari itu.
Menurut Al Hafidz Ibn Hajar , Hadis ini menjadi dasar atas perayaan maulid Nabi SAW sehingga asumsinya adalah jika Nabi Muhammad saja melakukan puasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan Nabi Musa yang saat itu sudah tiada lagi jasadnya di dunia ini, bagaimana dengan Nabi Muhammad sebagai sayyidul mursalin? apakah tidak lebih berhak bagi kita untuk mensyukurinya dengan sholawat yang jelas-jelas diperintahkan Allah SWT?
Perayaan Maulid kolektif
Ada yang mengatakan ‘’bahwa membaca sholawat itu memang sunnah, tetapi jika pembacaan sholawat itu dilakukan secara berjama’ah, maka itu adalah bid’ah yang sesat, karena Rosululloh tidak pernah melakukannya’’.
Pertanyaanya adalah, dengan dasar apakah kelompok ini sampai berani-berani mengatakan bahwa hal tersebut (sholawatan berjama’ah) adalah sebuah bid’ah yang sesat?
Ini hanya sebuah alasan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiyah.
Kalau dzatiyah sholawat sendiri sunnah, kenapa kalau jama’ah justru menjadi sesat ?
Hal tersebut tidak lepas dari upaya para pemuka salafi wahabi yang telah disetir oleh agen yahudi untuk melemahkan serta menghancurkan umat Islam dari dalam.
Mereka takut jika kaum muslimin berkumpul bersama yang di situ terdapat ajaran-ajaran yang mengandung pemupukan rasa cinta dan penguatan iman akan menjadikan umat islam semakin kuat, sehingga agenda penghancuran terhadap Islam akan semakin sulit karena pribadi mereka yang semakin kuat yang dipupuk setiap saat.
Hadis Riwayat Abu Hurairoh RA, Rosululloh bersabda :
“ما قعد قوم مقعداً لم يذكروا الله سبحانه وتعالى فيه ولم يصلوا على النبي صلى الله عليه وسلم إلا كان عليهم حسرة يوم القيامة “
Artinya : Tiada kaum yang duduk dalam suatu majlis dengan tanpa menyebut nama Allah SWT di dalamnya dan tidak bersholawat atas nabi SAW kecuali mereka akan menyesal di hari kiamat
Yang perlu digarisbawahi pada hadis di atas adalah pada lafadz qoumun,lafadz qoumun pada hadis diatas berma’na jama’ bukan individu. Inilah yang menjadi dasar diperbolehkannya sholawat dan sholawatan (secara berjama’ah), dan tentunya tidak termasuk bid’ah.
Jika masih ada yang menganggap bahwa hal itu tidak ada dasarnya karena dilakukan dengan suara yang keras, maka yang perlu saya tanyakan adalah, “apakah pada hadis tersebut disebutkan bahwa bersholawat harus tidak bersuara, sehingga orang lain dilarang mendengarkannya?”
Apakah haram memperdengarkan bacaan sholawat, dimana memang sejak semula majlis itu disediakan bagi orang yang datang untuk bersholawat sehingga mereka juga tidak ada yang merasa terganggu sedikitpun, karena memang dari rumah ia berniat untuk mendatangi majlis sholawat?
Ada satu hal lagi yang masih menjadi perbincangan sampai saat ini, yaitu tentang mahallul qiyam, saat dimana orang-orang berdiri untuk menghormati kedatangan Nabi Muhammad, banyak dari mereka yang tidak yakin atau bahkan tidak percaya Nabi Muhammad bisa datang menghadiri majlis sholawat.
Berikut adalah hal yang sangat perlu kita perhatikan bahwa saat semua orang islam (muslim) mendirikan sholat baik wajib ataupun sunnah, dalam tasyahhud pasti akan membaca
السلام عليك ايها النبى ورحمة الله وبركاته
Dalam ilmu fiqh, kalimat tersebut tidak menggunakan dlomir ghoib, tetapi memakai dlomir khitob. Bahkan bagi yang tidak membacanya,sholatnya pasti akan batal.
Kalau saja dlomir khitob pada kalimat tersebut hanya sebuah ucapan yang tiada artinya, apakah syariat Allah berlaku seperti ini ?
Jelas bukan, itu jawabnya.
Ini merupakan sebuah dalil bahwa Nabi Muhammad dapat hadir dihadapan kita saat kita melantunkan sholawat atas-Nya.
Jika saja Nabi Muhammad hadir dalam setiap majlis sholawat kita, apakah kita dilarang menghormatinya ?
Sebuah contoh kecil, yaitu pada saat kita mengikuti penyambutan tamu agung yang dihormati di sebuah bandara. Saat tamu datang, apakah kita akan tetap duduk di ruang tunggu saja ? ataukah kita sambut ia dengan sambutan hangat ?
Kemudian apa yang layak kita lakukan saat kita menerima tamu yang tidak hanya sekedar manusia biasa? yaitu sosok manusia yang mana Allah saja menghormatinya ?
Berdiri hanyalah sebagian bentuk wujud dzohir sikap memperlihatkan bentuk gembira kita kepada Allah karena telah diberi rahmat agung berupa datangnya Nabi Muhammad SAW.
Apakah hal ini juga sesat ?
Tidak ada dari kita yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah tuhan.
Barang siapa yang menuduh bahwa orang yang sholawatan ialah syirik karena menyembah Nabi Muhammad, maka hal ini juga sangat tidak berdasar.
Barang siapa yang mengatakan saudaranya kafir, padahal sebenarnya tidak, maka justru orang itulah yang kafir dan setan-lah yang bangga sebagai ‘’dalang kondang’’ di belakangnya.
Wallohu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar