MUKADIMAH
Dalam tinjauan bahasa, kata سَيِّدٌ berasal dari سَيْوِدٌ (wazan فَيْعِلٌ )
dengan fi’il madhi سَادَ . Huruf واوdiganti dengan huruf ياء (1) lalu diidghamkan.
Kata Sayyid memiliki beberapa pengertian yang antara lain; (I) orang yang memiliki banyak
pengikut, (II) orang yang paling unggul diantara kaumnya, (III) orang yang
menjadi rujukan dalam urusan-urusan penting masyarakat dan (IV) orang yang memiliki pribadi luhur dan
bijak.(2) Selain itu dalam
tradisi arab Sayyid merupakan panggilan seorang budak pada
majikannya.
Rasulullah SAW adalah
seseorang memiliki kepribadian
luhur dan bijaksana. Beliau
menjadi tempat curahan hati para umatnya, beliau melebihi raja bagi mereka. Maka
tidak berlebihan bila gelar
Sayyidina (tuan kami) dilekatkan
pada nama Rasulullah SAW. Justru
sangat aneh bila ada orang yang berasumsi bahwa menyematkan gelar Sayyidina adalah haram. Apalagi
menganggap-nya sebagai bid’ah
yang dapat menyebabkan kekufuran
seperti asumsi sebagian pihak dewasa ini, dengan dalih bahwa Nabi SAW sendiri
melarang para sahabat memanggil-nya
dengan sebutan Sayyid.(3)
TINJAUAN HUKUM PENYEMATAN GELAR SAYYID BAGI NABI SAW
1.Penyematan Gelar Sayyid
Bagi Nabi Muhammad SAW
Para ulama telah sepakat (ijma’) atas keabsahan
penyematan gelar Sayyid bagi
Nabi Muhammad SAW. Bahkan menurut asy-Syarqawi kata Sayyid telah menjadi nama bagi Nabi
Muhammad SAW.(4) Beliau sendiri telah berulang kali menyebutkan gelar Sayyid di hadapan para
sahabatnya. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin)
manusia di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ اْلقَبْرُ وَأَوَّلُ
شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ أَنَا
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat, orang pertama
yang kuburannya terbuka, orang
pertama yang memberi syafa’atnya
diterima.’ (HR.
Muslim)
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلَافَخْرَ وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلَافَخْرَ وَمَامِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ أَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَاءِيْ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat dan bukan
bangga diri dariku, dan tiada sorang nabi pun di hari itu, Adam dan
selainnya, melainkan di bawah
benderaku.” (HR.
at-Turmudzi)
Maksud sabda Nabi SAW di atas adalah mengisahkan nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya
dan agar umat Islam mengetahui
derajat beliau disisiNya. Tidak
ada seorang pun makhluk yang menyamai atau mengungguli keagungan derajat Nabi Muhammad SAW setelah
derajat Allah Yang Maha Agung. Selain Allah SWT, semuanya dibawah
kepemimpinan
Rasulullah SAW, baik didunia
mau-pun diakhirat.
Meskipun dalam Hadits-hadits di
atas hanya disebutkan
kepemimpinan Nabi SAW pada hari
kiamat saja, bukan berarti bahwa diselain hari kiamat ada yang
mengunggulinya. Namun lebih
disebabkan pada hari kiamat
kepemimpinan beliau sangat
dibutuhkan oleh seluruh manusia.
Tidakkah Allah SWT sendiri menyebut Nabi Yahya dengan gelar Sayyid?
فَنَادَتْهُ
اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ
يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ
أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ
بِيَحْيَىْ
مُصَدِّقًا
بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ
وَسَيِّدًا
وَحَصُوْرًا
وَنَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang
berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu)
Yahya, yang membenarkan kalimat
(yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan
seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
2. Menambah Lafadz Sayyidina dalam Shalat
Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya, penambahan dzikir ghair al-ma’tsur (bukan anjuran langsung dari Nabi SAW) dalam
shalat di perbolehkan, selama
tidak bertentagan dengan dzikir
al-ma’tsur. Begitu pula di
perbolehkan
menambahkan gelar Sayyidina
sebelum nama akhir. Yaitu saat membaca shalawat ibrahimiyyah. Bahkan penambahan itu lebih utama, sebagaimana hemat para ulama semisal Syaikh Izzuddin bin
Abdissalam, Imam ar-Ramli, Imam
al-Qulyubi, Imam
asy-Syarqawi dari madzhab
Syafi-’iyah, Imam
al-Hashkafi dan Imam Ibn ‘Abidin
dari kalangan Hanafiyah, serta
Imam an-Nafrawi dari
Malikiyah, meskipun
penambahan Sayyidina tersebut
memang tidak ma’tsur dari Nabi SAW.(5) Sebab, dengan demikian berarti seseorang
telah melaksanakan perintah
membaca shalawat sekaligus mengikrarkan pengakuannya atas keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan
Nabi Ibrahim AS. Penambahan
tersebut tidak pula bertentangan
dengan penghormatan kepada
beliau yang merupakan tujuan pembacaan shalawat. Dalam Nihayah al-Muhtaj Imam
ar-Ramli menerangkan:
وَاْلأَفْضَلُ
اْلإتْيَانِ بِلَفْظِ
السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ
إِبْنُ ظَهِيْرَةِ وَصَرَّحَ بِهِ
جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَىْ الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ أَلْإِتْيَانُ بِمَا أَمَرَنَا بِهِ
وَزِيَادَةُ
اْلأَخْبَارِ
بِاْلوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ
فَهُوَ أَفْضَلْ مِنْ تَرْكِهِ
“Dan lebih utama membaca (shalawat ibrahimiyah saat shalat) dengan lafadz Sayyid, seperti hemat
Ibn Dhahir dan dijelaskan (pula)
oleh segolongan ulama serta
difatwakan oleh
asy-Syarih
(Jalaluddin
al-Mahalli). Sebab dengan
menambahkannya berarti telah
melaksanakan hal yang
diperintahkan kepada kita dan
menambah pengungkapan
(pengakuan keagungan derajat
Nabi Muhammad SAW dan Nabi Iibrahim AS) yang merupakan suatu etika. Maka
menambah gelar Sayyidina lebih utama dari pada meninggalkannya.” (6)
Andaikan memang Nabi SAW memerintahkan pembacaan shalawat tersebut tampa
penambahan, bukan berarti kita
tidak boleh menambahkannya.
Sebab, selama perintah tersebut bukan perintah wajib, maka etika mesti
diprioritaskan. Para ulama
menyebutkan:
إِعَارَةُ اْلأَدَبِ خَيْرٌ مِنْ امْتِثَالِ اْلأَمْرِ
“Menjaga etika lebih baik dari pada mengikuti perintah.”
Terbukti, jauh-jauh hari para sahabat lbih mementingkan etika kepada Nabi Muhammad SAW dari pada
mengikuti perintahnaya. Seperti
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang tidak mau menghapus tulisan
Rasulullah SAW dalam naskah
Perdamaian
Hudaibiyah, meskipun
diperintahkan. Saat itu Nabi SAW
memerintahkan Ali:
امْحُ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ لَا وَاللهِ لَا أَمْحُوْكَ أَبَدًا
“Hapuslah (nama) Rasulullah. “Ali menjawab: “Demi Allah SWT saya tidak akan
menghapusmu
selamanya.” (HR.
Bukhari)
Dalam kesempatan lain
Sayyidina Abu Bakar memilih mundur dan mempersilahkan Nabi SAW mengimami shalat, meskipun telah
diperintah
meneruskan oleh beliau.
Rasulullah SAW bersabda:
يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ
أَمَرْتُكَ فَقَالَ
أَبُوْبَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ
قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Wahai Abu Bakar! Apakah yang mencegahmu untuk tetap (menjadi imam shalat) saat aku
perintahkan?,” Lalu Abu Bakar
menjawab: “Tidaklah bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar) berhak mengimami shalat di
hadapan Rasulullah SAW.”
(HR. Bukhari)
Begitu pula penambahan
gelar Sayyidina di dalam shalat. Kendati Nabi SAW tidak
mengajarkannya secara langsung, namun
lebih utama dilakukan.
Meskipun begitu, sering muncul pertanyaan apakah penambahan tersebut tidak membatalkan shalat? Bagai mana dengan Hadits Nabi SAW yang
menyatakan larangan beliau agar
tidak menyebutnya Sayyid di
dalam shalat? Maka jawabannya
adalah penambahan Sayyidina
tidak membatalkan shalat dan
Hadits tersbut adalah Hadits yang tidak berdasar alias palsu. Imam ar-Ramli
menegaskan:
وَأَمَّا حَدِيْثُ لَاتُسَيِّدُوْنِيْ فِى الصَّلَاةِ فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَا لَهُ بَعْضُ
مُتَأَخِّرِيِّ
اْلحُفَّاظِ وَقَوْلُ
الطُّوْسِيِّ إِنَّهَا
مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ
“Dan sementara Hadits : “Jangan kalian sebut Sayyid diriku di dalam
shalat!” adalah Hadits batil yang tidak mempunyai dasar, seperti yang di
utarakan oleh sebagian ahli Hadits mutaakhirin. Dan asumsi ath-Thusi: “Niscaya tambahan Sayyidina itu
membatalkan shalat.” adalah
salah (7)
3. Pemahaman Hadits السَّيِّدُ اللهُ
Argumen pokok yang sering dijadikan dalil larangan
penyebutan Sayyid bagi Nabi Muhammad
SAW adalah Hadits riwayat Abu Dawud berikut ini:
عَنْ مُطَرَّفٍ قَالَ أَبِيْ انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طُوْلًا فَقَالَ قُوْلُوْا
بِقَوْلِكُمْ
أَوْبَعْضِ
قَوْلِكُمْ
وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
“Dari Mutharrif ia berkata: “Ayahku pernah berkata: “Aku pergi
bersama utusan Bani Amir menuju ke (kediaman) Rasulullah SAW, kami berkata: “Engkau adalah Sayyid kami.
Lalu beliau bersabda: “Yang Sayyid hanayalah Allah SWT yang memiliki
keberkahan lagi luhur.” Kami
barkata: “Dan kami hanya mengutamakan derajatmu dan mengagungkan anugrahmu.” Beliau berkata: “Berkatalah kalian dengan apa yang kalian katakan atau
sebagiannya dan jangan sampai
syaitan menjerumuskan
kalian.” (HR. Abu Dawud)
Dalam memahami Hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak melarang beliau dipanggil
dengan sebutan Sayyidina dengan larangan tahrim (pengharaman). Hal ini ditinjau dari dua kajian.
Pertama, kata السَّيِّدُ اللهُ pada Hadits tersebut hanyalah
penjelasan Nabi SAW tentang
siapa yang berhak menyandang
sebutan Sayyid secara hakiki dan mutlak tanpa batas. Yang mengatur segala urusan
mahluknya.(8) Hadits tersebut
tidak menafikan makna Sayyid yang lainnya seperti yang telah
disebutkan di awal bab yang bisa
pula disandang oleh Nabi SAW. Artinya, gelar ini layak disandang oleh Allah SWT
atau pun mahlukNya, seperti kata
الرَّبُّ (yang memiliki kekuasaan).
Allah SWT berfirman:
وَقَالَ لِلَّذِيْ ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا
اذْكُرْنِيْ عِنْدَ رَبِّكَ
فَأَنْسَىهُ
الشَيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ
فِى السِّجْنِ بِضْعَ سِنِيْنَ
“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinay akan selamat diantara mereka berdua:
“Terangkanlah keadaanku kepada
tuan-mu!” Maka syaitan manjadikan dia lupa menarangkan (kadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah
Yusuf dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf:
42)
وَقَالَ اْلَملِكُ ائْتٌوْنِيْ بِهِ فَلَمَّاجَاءَهُ الرَّسُوْلُ ق ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ
فَسْئَلْهُ مَابَالُ
النِّسْوَةِ الَّتِىْ قَطَّعْنَ
أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي
بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ
“Dan Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepeda Yusuf,
berkatalah Yusuf:
“Kembalilah kepada Tuanmu dan
tanyakanlah kepadanya bagaimana
halnya wanita-wanita yang telah
melukai tangannya.
Sesungguhnya Tuhanku maha
mengetahui tipu daya
mereka.” (QS. Yusuf:50)
Yang dikehendaki oleh
Nabi Yusuf AS dengan mengatakan
rabb jelaslah bukan rabb yang berarti “Tuhan”, akan tetapi
rabb yang berarti tuan, sebagaimana dikatakan رَبُّ الدَّارِyang berarti tuan rumah. Demikian pula sebutan
Sayyid. Dalam surat Ali Imran Allah SWT menghormati Nabi Yahya AS dengan sebutan Sayyid, ia berfirman:
فَنَادَتْهُ
اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ
يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ
أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ
بِيَحْيَىْ
مُصَدِّقًا
بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ
وَسَيِّدًا
وَحَصُوْرًا
وَنَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdir
melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu)
Yahya, yang membenarkan kalimat
(yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan
seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
Meskipun muatan maknanya hampir sama, sebutan Sayyid disandang oleh
Rasulullah SAW jelas tidak sepadan
dengan sebutan Sayyid yang disandang Allah SWT. Gelar Sayyid
bagi Nabi SAW disematkan atas kepemimpinannya bagi umat dengan derajat kenabian dan
kerasulannya, sementara bagi
Allah SWT atas penguasaannya dijagat
raya.(9)
Kedua, kalau pun ada kesan larangan Rasulullah SAW dalam Hadits diatas, yang tersurat dalam
teks
(berkatalah dengan ucapan kalian atau sebagai ucapan kalian
dan jangan biarkan setan menjerumuskan kalian),
itu pun disebabkan beliau tidak ingin dipuji secara
berlebihan alias muncul dari
ketawadlu’an yang beliau miliki dan disebabkan pula oleh kekhawatiaran beliau atas kesalah pahaman Bani Amir dalam memahami
arti Sayyid. Sebab, mereka masih mu’allaf yang belum lama masuk
Islam. Beliau khawatir mereka memahami makna Sayyid yang beliau sandang atas
kemuliaan derajat Nabi dan Rasul sederajat dengan Sayyid yang ada dalam kultur
mereka sebelumnya. Yakni
kesayyidan yang diperoleh karena
sebab-sebab duniawi yang selalu
mereka agung-agungkan. Lebih
jelasnay, dengan ucapan tersebut seakan-akan beliau bersabda: “Bertutur katalah dengan bahasa
yang dipakai orang-orang yang
seagama dengan kalian (agama Islam) dan panggilah aku Nabi dan Rasul
sebagaimana Allah SWT
menyebutku dalam kitabNya.
Jangan kalian menyebutku sebagai
Sayyid sebagaiman kalian
menyebut para pembesar kalian (sebelum masuk Islam). Jangan kalian samakan aku
dengan mereka karena aku tidak sama dengan seorangpun di antara mereka. Sebab, mereka tidak lebih
rendah dari kalian dalam hal-hal duniawi, dan sesungguhnya aku menjadi Sayyid kalian atas kenabian dan
kerasulan. Maka sebutkan aku
sebagai Nabi dan Rasul, atau hindari ebagian perkataan kalian (itu) dan
bersikaplah sederhana
didalamnya tanpa
berlebihan atau
hindarilah panggilan Sayyid dan
katakanlah Nabi dan
Rasul...”demikian
penafsiran
as-Suyuthi.(10)
Kendati begitu, mengingat larangan tersebut disebabkan ketawadlu’an beliau dan
kekhawatiran atas kesalah
pahaman para sahabatnay, maka
pada hakikatnya beliau tidak
melarang penyebutan gelar Sayyid
pada dirinya. Terbukti beliau sendiri memberi suri tauladan dalam
penghormatan pada
orang-orang
terpandang dengan
penyebutan gelar Sayyid,
sebagaimana sanjungan beliau beliau
pada cucunya, Hasan bin ‘Ali:
إِنَّ ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ
فِئَتَيْنِ
عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ
اْلمُسْلِمِيْنَ
“Sungguh anakku ini adalah Sayyid, semoga Allah
mendamaikan di antara dua
golongan besar dari orang-orang
Islam dengannya.” (HR.
Bukhari)
Begitu pula pengakuan beliau pada Sa’d bin Mu’adz: قُوْمُوْا إِلَى
سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah pada Sayyid
kalian.” (HR. Bukhari)
Tidak ketinggalan para
sahabat pun mencontohnya,
semisal do’a shalawat Ibn Mas’ud, pelayan setia Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ
صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ
وَبَرَكَاتِكَ عَلَى
سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin
para utusan, pemimpin orang-orang yang
bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR. Ibnu Majjah)
Bahkan Sahl bin Hunaif memanggil Nabi SAW dengan berseru يَا سَيِّدِيْ
“Wahai tuanku!”(HR. Abu Dawud)
Begitu pula pujian Sayyidina ‘Umar kepada Sayyidina Abu Bakar dan
Bilal: أَبُوْ بَكْرٍ سَيِّدُنَا
وَأَعْتَقَ
سَيِّدَنَا يَعْنِىْ بِلَالًا
“Abu Bakar adalah tuanku dan memerdekakan tuanku (Bilal).” `
Perlu kita renungkan,
apakah layak kita memanggil ayah dan ibu kita langsung dengan namanya? Apakah
pantas kita menyebut guru-guru kita dengan namanya secara langsung, tanpa
mencerminkan
penghormatan kepada mereka?
Tidakkah Alla SWT berfirman:
لَاتَجْعَلُوْا دُعَاءَ
الرَّسُوْلِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ
بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan
panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian
yang lain.” (QS. An-Nur: 63)
Tidakkah dalam al-Qur’an Allah SWT selalu menghormati beliau dengan gelar kenabian dan
kerasulannya tanpa menyebut langsung
namanya?
Oleh sebab itu, Hadits diatas tidak bisa dipahami sebagai larangan
penyebutan Sayyid kepada beliau.
Pengakuan langsung Nabi SAW atas kesayyidannya, persetujuan kepada para sahabat atas panggilan Sayyid kepadanya
dan ijma’ para ulama merupakan dasar yang kokoh atas keabsahan
penyematan gelar Sayyid baginya.
Wallahu a’lam.
(1)Dalam gramatika arab, sangat dihindari peletakan wawu dengan ya’
dalam satu kata, sehingga wawu harus diganti dengan ya’.
(2) Sulaiman al-Bujairami,
op. Cit., Juz I, hlm. 36.
(3) Shalih bin Fauzan, “I’anah al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid”, Juz IV, hlm. 51. CD al-Maktabah as-Syamilah.
(4) Saulaiman al-Bujairami, loc. Cit. Dan Wuzarah al-Auqaf wa
asy-Syu’un
al-Islamiyah bi
al-Kuwait,
“al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah”, Juz XI, hlm. 347. CD
al-Fiqh al-Islami.
(5) Wuzarah al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, loc. Cit.
(6)Ar-Ramli, Nihayatul
al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm.
530.
(7)Ar-Ramli, Nihayatul
al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm.
530
(8)Muhammad al-Qari, op.
Cit., Juz IX hlm. 115 – 116.
(9)Muhammad al-Qari,
op. Cit., Juz IX hlm. 115 – 116, al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz IV, hlm.
152.
(10)Al-‘Adzim Abbadi, ‘Aun
al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Juz XIII, hlm.
162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar