Zamzam adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada
di Masjidil-Haram di sebelah timur Ka’bah.
Adapun asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullah
dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma –
dari sebuah hadits yang panjang – bahwasannya Hajar ibu Isma’il rahimahumallah ketika merasa dahaga, ia
dan anaknya (Isma’il) mencari air. Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
فَلَمَّا
أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةَ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ : (صَهٍ) - تُرِيْدُ
نَفْسَهَا - ثُمَّ تَسَمَّعَتْ أَيْضًا فَقَالَتْ : قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ
عِنْدَكَ غِوَاثٌ، فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ
بِعَقِبِهِ - أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ - حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءَ، فَجَعَلَتْ
تَحُوْضُهُ وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ الْمَاءِ فِي
سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَ مَا تَغْرِفُ. قَالَ ابنُ عَبَّاس : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ
لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ - أَوْ قَالَ : لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ -
لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا. قَالَ : فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ
وَلَدَهَا.
“Maka ketika berada di Marwah, ia mendengar suara : ‘Diamlah’ – suara tersebut tertuju pada
dirinya - . Kemudian Hajar ingin mendengarkan lagi dengan seksama, dan akhirnya
ia pun mendengarnya. Hajar berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah memperdengarkan
kepadaku, adakah bantuan darimu ?’. Ternyata ia adalah malaikat[1] yang berada di tempat
zamzam. Maka malaikat itu mencari sumber air dengan tumitnya – atau : sayapnya
– hingga keluarlah air. Lalu Hajar membuat kolam[2], ia berkata dengan
tangannya begini, dan kemudian ia mulai menggayung air untuk meminumnya. Hal
tersebut dilakukan dengan cepat setelah menggayung”. Ibnu ‘Abbas berkata :
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Semoga Allah merahmati Isma’il,
seandainya saja ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka
air zamzam akan mengalir terus”.[3] “Maka ia meminum airnya
dan menyusui bayinya”.[4]
Air zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh
penduduk Makkah hingga kabilah Jurhum[5] meremehkan kehormatan
Ka’bah dan negeri Haram, sehingga tempat keluarnya air zamzam tersebut
menghilang. Ada yang berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur
sumber air zamzam tersebut ketika mereka pergi ke Makkah, dan ada juga yang
mengatakan bahwa sumber air zamzam terkubur oleh banjir. Hal ini terus
berlanjut masa demi masa hingga akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul-Muthallib
bin Hasyim – kakek Nabi shallllaahu
‘alaihi wa sallam – dengan mengetahui berbagai tanda hingga diketahui
tempatnya; yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat tidurnya, lalu
ia diperintahkan untuk menggalinya. Maka digalilah tempat yang ditunjukkan
tersebut hingga terpancarlah air zamzam tersebut.[6]
Sesungguhnya sejak masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum muslimin
sangat memperhatikan zamzam.[7] Para khalifah dan para
ulama serta para pemimpin kaum muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam,
merenovasi, dan memeliharanya dengan baik agar jama’ah haji dan para peziarah
negeri Haram mendapatkan pahala kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.
Adapun sebab air tersebut dinamakan dengan zamzam
adalah karena faktor banyak dan melimpahnya. Dan kata zamzam menurut orang
‘Arab bermakna melimpah dan mengumpul. Ada yang berpendapat lain, yaitu karena
Hajar – ibnu Isma’il – mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia
membuat semacam kolam. Ada juga yang berpendapat lain, yaitu karena suara
airnya yang bergemuruh dan meluap-luap ketika keluar. Dan pendapat-pendapat
yang lainnya.[8]
Air zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada
keagungan dan keutamaannya, diantaranya adalah : Maimuunah, Mubaarakah,
‘Aafiyyah, dan Maghdziyyah.[9]
Keistimewaan
Air Zamzam
Diantara keistimewaan zamzam dan keberkahannya adalah
bahwa Allah ta’ala telah
mengistimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting
adalah :
1.
Air
zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at agama
maupun kesehatan.
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia
berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ
زَمْزَمَ...
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam…”.[10]
Dan
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu – pada kisah Isra’ Mi’raj – bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَفَرَّجَ
صَدْرِيْ، ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمْزَمَ....
“Maka Jibril ‘alaihis-salaam turun dan membelah dadaku,
kemudian ia mencucinya dengan air zamzam….”.[11]
Al-‘Aini
rahimahullah berkata :
وهذا يدل قطعا على فضلها، حيث اختص غسل صدره عليه الصلاة
والسلام بمائها دون غيرها
“Hal
ini menunjukkan dengan pasti keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam
dikhususkan dengan air zamzam, tanpa selainnya”.[12]
Oleh
karena itu, Sirajjudin Al-Bulqini[13] berkata :
إن ماء زمزم أفضل من ماء الكوثر، معللا ذلك بكونه غسل
النبي صلى الله عليه وسلم، ولم ليغسل إلا بأفضل المياه.
“Sesungguhnya
air zamzam lebih baik dibandingkan air Al-Kautsar dengan dasar karena dipakai
untuk mencuci dada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah dada beliau dicuci kecuali dengan air yang
terbaik”.[14]
Secara
lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di
dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air (telaga)
Al-Kautsar termasuk yang menyangkut hari akhir. Oleh karena itu, tidak dapat
dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia.[15] Sebagaimana hadits yang
memuliakannya : “Sebaik-baik air di muka
bumi adalah air zamzam” ; menunjukkan hal tersebut. Wallaahu a’lam.
Al-Haafidh
Al-‘Iraqiy[16] rahimahullah menyebutkan bahwa hikmah di
balik pencucian dada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan air zamzam adalah agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dalam memandang
malaikat-malaikat langit dan bumi, surga dan neraka; karena dari keistimewaan
air zamzam bahwasannya ia dapat lebih meneguhkan hati dan menentramkan
perasaan.[17] Dan
akan lebih jelas – insya Allah – pada
apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi kedokteran (medis).[18]
2.
Mengeyangkan
peminumnya seperti makanan.
Telah
shahih sebuah riwayat pada Shahih Muslim dalam
kisah Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu
bahwasannya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk Islam, ia menetap di sana
selama 30 hari antara malam dan siang di dalam Masjidil-Haraam. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya : “Siapakah yang telah
memberimu makan ?”. Ia (Abu Dzarr) menjawab : “Aku tidak mempunyai makanan
kecuali air zamzam, lalu aku menjadi gemuk dan berlemak,[19] perutku berlipat-lipat,
aku tidak mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku”.[20] Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga)
merupakan makanan yang berselera”.[21]
Ibnul-Atsir
berkata :
أي يشبع الانسان إذا شرب ماءها كما يشبع من الطعام
“Sesuatu
yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari
makanan”.[22]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata tentang
kekhususan air zamzam ini :
شاهدت من يتغذا به الأيام ذوات العدد قريبا من نصف
الشهر، أو أكثر، ولا يجد جوعا، ويطوف مع الناس كأحدهم، وأخبرني أنه ربما بقي عليه
أربعين يوما، وكان له قوة يجامع بها أهله، ويصوم ويطوف مرارا.
“Aku
menyaksikan sebagian orang yang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir
setengah bulan atau lebih dari itu, ia tidak merasa kelaparan. Ia mengikuti
thawaf bersama orang-orang. Dikhabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap
seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan
jima’ dengan istrinya, puasa, dan thawaf berkali-kali”.[23]
3.
Berobat
dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan
hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ،
فِيْهِ طَعَامُ الطُّعْمِ، وَشِفَا الْسُّقْمِ.
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam. Di
dalamnya terdapat makanan yang diinginkan dan obat bagi penyakit”.[24]
Dan
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
زَمْزَمُ طَعَمُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Air zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari
penyakit”. [25]
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
إِنَّ الْحُمَى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَبْرِدُوْهَا
بِمَاءٍ زَمْزَمَ.
“Sesungguhnya sakit demam itu termasuk dari panasnya
api neraka Jahannam. Maka dinginkanlah dengan air zamzam”. [26]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah menjelaskan :
وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا
عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله
“Sesungguhnya
aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya; yaitu berobat dengan air zamzam
(sungguh) hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit
dengan ijin Allah ta’ala”.[27]
4.
Bahwasannya
air zamzam itu adalah menurut niat peminumnya.
Diriwayatkan
oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zamzam itu menurut apa yang diinginkan peminumnya”.[28]
Diriwayatkan
dari Mujaahid[29] rahimahullah, bahwasannya ia pernah
berkata :
ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن
شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam menurut niat peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah
akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan
memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan
mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril[30] dan pemberian (air minum)
Allah kepada Isma’il”.[31]
Sesungguhnya
ulama-ulama besar dan yang lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud yang
berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menghapal hadits,
karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu kegemaran
memanah, sebagai penangkal dahaga pada hari kiamat kelak, serta berbagai
manfaat dunia dan akhirat lainnya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka
minta sesuai dengan niat mereka – seperti yang telah dikhabarkan dari sebagian
mereka –[32]
dan kita berharap sampainya maksud bagi siapa yang meminta apa yang ada di
akhirat seperti meminumnya karena haus di akhirat nanti, tidak dapat dihitung
keshahihan khabar-khabar yang diriwayatkan ini – secara global – (menguatkan
shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat peminumnya – padahal ia sendiri
adalah hadits yang sanadnya shahih)[33] seperti yang telah kita
lewati, apa yang menguatkan hal tersebut pada dua keistimewaan yang terakhir
dari sifat air zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.
Dan memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya
adalah – tanpa ragu dan bimbang – dengan taufiq Allah, pertolongan dan
rahmat-Nya. Hal tersebut merupakan satu jaminan dari Allah ta’ala pada air zamzam bahwa ia memiliki keberkahan dan manfaat
terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang benar.
Telah dinukil dari Ibnul-‘Arabiy[34] rahimahullaahu ta’ala bahwa ia pernah
berkata tentang manfaat air zamzam :
وهذا موجود فيه إلى يوم القيامة لمن
صحة نيته، وسلمت طويته، ولم يكن به مكذبا، ولا يشربه مجربا، فإن الله مع
المتوكلين، وهو يفضح المجربين.
“(Manfaat) ini akan ada padanya hingga hari kiamat bagi siapa
saja yang benar niatnya, lurus hati nuraninya tidak berdusta padanya, dab tidak
pula meminumnya hanya untuk coba-coba; karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal,
dan Allah membuka aib orang yang hanya coba-coba”.[35]
5.
Dan
diantara keistimewaan lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Al-Imam
Az-Zarkasyi bahwasannya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar
yang menjadi pendorong dan motivatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah
Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan
mengungguli imannya dalam meminumnya.[36]
Maksudnya
adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama :
إنما لم يكن عذبا ليكون شربه تعبدا لا تلذذا
“Rasanya
tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan”.[37]
Sesungguhnya
Az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah ta’ala mengagungkan air zamzam pada musim haji,[38] dan memperbanyak hal-hal
ajaib di luar kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan
: “Kita dan orang lain telah menyaksikan itu semua”.[39]
Dan
yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh
hal-hal lain di setiap saat. Hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern.
Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil
dzat-dzat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut
tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi
kemurnian dzatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi kemaslahatannya
untuk diminum. Yang demikian ini dilihat dari segala bentuk ukuran yang
dilakukan padanya.[40]
Oleh
karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung
orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari
dzat-dzat klinis seperti yang diungkapkan dalam satu majalah.[41] Inilah
keistimewaan-keistimewaan penting air zamzam yang diberkahi. Sesungguhnya para
ulama telah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan lain[42] yang membutuhkan landasan
dalil yang shahih.
Saya
menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul-Qayyim tentang keutamaan air
zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya :
ماء زمزم : سيد المياه وأشرفها وأجلّها قدرا، وأحبّها
إلى انفوس، وأغلاها ثمنا، وأنفسها عند الناس، وهو هَزْمة جبريل، وسقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam : air yang terbaik, termulia, dan teragung kedudukannya, sangat dicintai
oleh jiwa, sangat mahal harganya, dan sangat berharga bagi manusia. Ia
merupakan hasil usaha Jibriil ‘alaihis-salaam
dan pemberian minum dari Allah untuk Isma’il”.[43]
Sifat
Tabarruk dengan Meminum Air Zamzam
Disunnahkan bagi orang yang melakukan ibadah haji dan
‘umrah untuk meminum air zamzam setelah usai melaksanakan thawaf dan shalat dua
raka’at di belakang maqam Ibrahim ‘alaihis-salaam.
Telah shahih dalam Shahih Muslim satu riwayat dari Jaabir
bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu mengenai
shifat haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, bahwasannya ketika usai melaksanakan thawaf, beliau mendatangi Bani
‘Abdul-Muthallib yang sedang memberi minum (jama’ah haji) air zamzam. Beliau
bersabda kepada mereka :
انْزِعُوا بَنِي عَبْدِ الْمُطَلِّبِ، فَلَوْ لَا أَنْ يَغْلَبُكُمُ النَّاسُ
عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ. فَنَاوَلُوهُ دَلْوًا فَشَرِبَ مِنْهُ.
“Terus,
(wahai) Bani ‘Abdil-Muthallib,[44] seandainya manusia
tidak berbondong-bondong dalam pemberian minum kalian tersebut, maka aku akan
ikut memberikan minum bersama kalian”.[45] Maka
mereka memberikan kepada beliau seember air zamzam lalu beliau meminumnya”.[46]
Dan dalam Ash-Shahihain dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, ia berkata :
سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ،
فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ.
“Aku pernah memberi minum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
air zamzam, dan beliau pun meminumnya dalam keadaan berdiri”.[47]
Telah diketahui bahwa ada
hadits-hadits shahih yang melarang minum dengan berdiri. Namun Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menjawabnya
dengan perkataannya :
النهي فيها محمول على كراهية التنزيه، وأما شربه صلى الله عليه وسلم قائما
فبيان للجواز، فلا إشكال ولا تعارض.
“Larangan dalam hadits tersebut dibawa
kepada hukum makruh tanziih. Adapun
minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan
tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada
pertentangan”.[48]
Dan dikatakan pula bahwa minum air
zamzam tanpa berdiri adalah sulit karena tingginya dinding yang
mengelilinginya.[49]
Kesimpulannya bahwa yang menjadi
sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam tidak dengan berdiri
berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarangannya, kecuali jika diperlukan.
Khususnya yang ditunjukkan dalam riwayat Al-Bukhari :
فَحَلَفَ عِكْرِمَةُ - وَهُوَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - مَا كَانَ يَوْمَئِذٍ
إِلَّا عَلَى الْبَعِيْرِ
“’Ikrimah – ia adalah maula Ibnu
‘Abbas – bersumpah bahwasannya ketika itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atas onta”.[50]
Hal itu bukanlah seperti yang
disebutkan oleh sebagian orang[51] bahwa
termasuk sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam dengan berdiri,
bersandar dengan hadits di atas.
Anjuran minum air zamzam tidak hanya
dibatasi pada orang yang melakukan ibadah haji dan ‘umrah saja[52], akan
tetapi hal itu umum bagi siapa saja – sesuai keumuman hadits-hadits yang
menyebutkan keutamaan air zamzam dan apa-apa yang terkandung di dalamnya dari
barakah, manfaat, dan obat.
Termasuk bagian dari sunnah dalam
meminum air zamzam adalah memperbanyak minum (tadlallu’)[53] seperti
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
إِنَّ آيَةً مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ، إِنَّهُمْ لَا
يَتَضَلَّعُوْنَ مِنْ زَمْزَمَ
“Sesungguhnya
tanda (pembeda) antara kami dan kaum munafiqin adalah bahwasannya mereka tidak
memperbanyak minum air zamzam”.[54]
Demikian juga bahwa memperbanyak minum
air zamzam walaupun di luar kebiasaan dengan maksud memperoleh keberkahan termasuk
dari hal-hal yang diperbolehkan seperti apa yang dilakukan oleh Jaabir bin
‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu[55] yang
memperbanyak minum air ketika muncul di antara jari-jari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam karena
barakah yang ada padanya.[56]
Termasuk diantara yang disunnahkan
juga adalah berdoa saat meminumnya dengan apa yang dia inginkan dari doa-doa
yang disyari’atkan, serta berniat sesuka hatinya dari kebaikan dunia dan
akhirat seperti berobat, mengambil manfaat, atau yang lainnya. “Air zamzam itu menurut apa yang diniatkan
oleh peminumnya” – sebagaimana penjelasan yang lalu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma apabila meminum
air zamzam, ia berdoa :
اَللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعَا، وَرِزْقًا وَاسِعًا، وَشِفَاءً
مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Ya
Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang lapang, dan
kesembuhan dari segala macam penyakit”.[57]
Di antara adab ketika meminum air
zamzam adalah sebagaimana dijelaskan pada sebuah riwayat dalam Sunan Ibni Majah dan selainnya :
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَقَالَ :
مِنْ أَيْنَ جِئْتَ ؟ قالَ : مِنْ زَمْزَمَ. قَالَ : فَشَرِبْتَ مِنْهَا كَمَا
يَنْبَغِي ؟ قَالَ : وَكَيْفَ ؟ قَالَ : إِذَا شَرِبْتَ مِنْهَا فَاسْتَقْبِلِ
الْقِبْلَةَ، وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ، فَتَنَفَّسْ ثَلَاثًا، وَتَضَلُّعْ مِنْهَا،
فَإِذَا فَرَغْتَ فَاحمدِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : إِنَّ آيَةًَ بَيْنَنَا...
“Bahwasannya seseorang datang kepada
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Ibnu ‘Abbas bertanya kepadanya : ‘Dari mana engkau datang ?’. Ia menjawab :
‘Dari sumur zamzam’. Ibnu ‘Abbas berkata : ‘Jika engkau minum air zamzam, maka
menghadaplah ke kiblat, sebutlah nama Allah ‘azza
wa jalla, bernafaslah tiga kali, dan perbanyaklah meminumnya. Apabila engkau
telah selesai, maka pujilah Allah ‘azza
wa jalla, karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Sesungguhnya tanda (pembeda) antara kami….”
[al-hadits].[58]
Ini semua merupakan hal-hal yang
menyangkut sifat tabarruk dengan
meminum air zamzam. Namun apakah tabarruk
dengannya ini dapat ditambah seperti membasuh anggota tubuh dengan air tersebut
?
Kita tidak mendapatkan keterangan
mengenai masalah ini kecuali apa yang diriwayatkan oleh sebagian mereka dari
‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahumallah
bahwasannya ia berkata :
رأيت أبي غير مرة يشرب من ماء زمزم، يستشفي به، ويمسح به يديه ووجهه
“Aku pernah melihat ayahku beberapa
kali meminum air zamzam, berobat dengannya, dan membasuh kedua tangan dan
wajahnya”.[59]
Wallaahu
a’lam.
Sekarang saya akan menguraikan dengan
ringkas mengenai masalah-masalah penting lainnya yang berkaitan dengan
pemakaian air yang diberkahi ini.
Hukum Wudlu dan Mandi Junub dengan Air Zamzam
Madzhab jumhur ulama adalah tidak
dibenci (makruh) berwudlu dan mandi menggunakan air zamzam.
Dalam satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullah disebutkan bahwa beliau
membencinya, karena telah ada satu atsar dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia
pernah berkata mengenai air zamzam :
لست أحلها لمغتسل، وهي لشارب حل وبل
“Aku tidak membolehkannya bagi orang
yang memakainya untuk mandi. Ia hanya boleh untuk orang yang meminumnya saja[60]”.[61]
Dan juga (alasannya adalah) karena ia
menghilangkan apa yang menghalangi (seeorang) dari shalat, maka ia seperti
menghilangkan najis dengannya (sehingga makruh mempergunakannya untuk wudlu dan
mandi).[62]
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh
jumhur adalah sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi rahimahullah :
النصوص الصحيحة الصريحة المطلقة في المياه بلا فرق، فأنه لم يزل المسلمون على
الوضوء منه بلا إنكار
“Nash-nash yang shahih, sharih (jelas), lagi muthlaq yang berkenaan dengan segala
macam air adalah tanpa pembedaan, bahwasannya kaum muslimin darinya tanpa
adanya pengingkaran”.
Kemudian ia berkata :
ولم يصح ما ذكروه عن العباس، بل حكي عن أبيه عبد المطلب، ولو ثبت عن العباس
لم يجز ترك النصوص به، وأجاب أصحابنا - الشافعية - أنه محمول على أنه قاله في وقت
ضيق الماء لكثرة الشاربين.
“Tidak shahih riwayat yang berasal
dari Al-‘Abbas, akan tetapi (yang benar) dihikayatkan riwayat tersebut dari
bapaknya, yaitu ‘Abdul-Muthallib.[63] Meskipun
seandainya riwayat itu shahih dari Al-‘Abbas, maka tetap tidak diperbolehkan
untuk meninggalkan nash-nash yang ada karenanya. Para shahabat kami – yaitu
Syafi’iyyah - menjawab bahwasannya riwayat tersebut dibawa pada pengertian
Al-‘Abbas mengatakannya pada saat sulitnya (mendapatkan) air akibat banyaknya
orang yang meminumnya[64]”.[65]
Dan dari perkataan Ibnu Qudamah[66] yang
menguatkan peniadaan hukum makruh adalah sebagai berikut :
وشرفه لا يوجب الكراهة لاستعماله، كالماء الذي وضع فيه النبي صلى الله عليه
وسلم كفه، أو اغتسل منه.
“Kemuliaannya tidaklah mengharuskan
kemakruhan untuk mempergunakannya, seperti air yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan telapak tangan di
dalamnya, atau mandi darinya”.[67]
Telah diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad,
dari ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu dalam kisah tentang haji Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminta seember[68] air
zamzam, yang kemudian meminumnya dan berwudlu dengannya.[69]
Adapun Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat makruhnya mandi
dengan air zamzam selain wudlu. Hal itu disebabkan hadats dari janabah itu
lebih berat. Maka, mandi janabah termasuk menghilangkan hadats besar di satu
sisi, sehingga kewajiban mandi janabah itu ekuivalen dengan kewajiban mandi
terkena najis. Oleh karena itu, larangan Al-’Abbas itu hanya untuk mandi, bukan
untuk wudlu’.[70]
Hukum Istinja’
(Cebok) dengan Air Zamzam
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum istinjaa’ dengan air zamzam
dalam tiga perkataan :
(1)
Haram dilakukan meskipun ia sebelumnya telah suci (tidak
berhadats) dikarenakan kehormatan dan kemuliaan air zamzam. Sebagian lain
beralasan bahwa ia termasuk bagian dari kebutuhan pokok seperti makanan, maka ia
menjadi haram karena kedudukannya sebagai makanan.
(2)
Makruh.
(3)
Menyelisihi pendapat pertama,[71] yaitu
tidak sepantasnya menghilangkan najis dengan air zamzam, apalagi istinjaa’, khususnya bila yang lainnya masih
ada.[72]
Termasuk dari cabang pembahasan
larangan bersuci dengan air zamzam : Larangan memandikan mayit dengannya,
sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama.[73]
Al-Faakihiy[74]
menyebutkan – seorang ulama generasi/abad ketiga – bahwasannya penduduk Makkah
memandikan jenazah mereka dengan air zamzam. Apabila telah selesai memandikan
mayit dan membersihkannya, maka yang lainnya juga mempergunakannya (air zamzam)
untuk mandi dalam rangka mencari barakah.[75]
Hukum Memindahkan Air Zamzam Keluar Negeri Haram
Diperbolehkan membawa air zamzam ke
seluruh negeri untuk ber-tabarruk
dengannya dengan kesepakatan para ulama.[76] Asal
pembolehan tersebut didasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi
dan selainnya dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa bahwasannya ia pernah membawa air zamzam, dan mengkhabarkan bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah membawanya juga.[77]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن حمل شيئا من ماء زمزم جاز، فقد كان السلف يحملونه
“Barangsiapa yang membawa sesuatu dari
air zamzam, maka diperbolehkan. Sungguh para salaf juga membawanya”.[78]
Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahullah telah berkata :
يجوز إخراج ماء زمزم وغيره من مياه الحرم، ونقله إلى جميع البلدان، لأن الماء
يُستخلف، بخلاف نقل التراب والحجر.
“Diperbolehkan membawa air zamzam dan
selainnya dari air-air yang berada di tanah haram, dan memindahkannya ke
seluruh negeri; karena air tersebut dapat terganti (mengalir lagi), berbeda
halnya dengan tanah dan batu”.[79]
Al-Imam As-Sakhawiy[80] rahimahullah berkata :
يذكر على بعض الألسنة أن فضيلته ما دام في محله، فإذا نقل يتغير، وهو شيء لا
أصل له
“Sering terdengar dari mulut ke mulut
bahwasannya keutamaan air zamzam adalah apabila masih di tempatnya, dan apabila
telah dipindahkan maka akan hilang. Perkataan ini tidak ada salnya sama
sekali”.
Kemudian ia menyebutkan beberapa dalil
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan sebagian shahabat radliyallaahu
‘anhum yang menerangkan tentang hal tersebut untuk ber-tabarruk dengannya.[81]
Wallaahu
a’lam.
[At-Tabarruk
: Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Al-Judai’, hal. 279-294; Maktabah
Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 – berikut terjemahannya : Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir, hal. 95-112;
Cet. 1/1425 H/2004 M].
[1] Ia adalah Jibril ‘alaihis-salaam, seperti yang disebutkan pada riwayat lain dari
Al-Bukhari rahimahullah.
[2] Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga)
agar air tidak terus-menerus mengalir [‘Umdatul-Qaariy,
15/257].
[3] Dengan mem-fath-hah-kan miim, yang
artinya : mengalir di atas bumi [‘Umdatul-Qaariy,
15/253].
[4] Shahih
Al-Bukhari 3/113, Kitaabu
Ahaadiitsil-Anbiyaa’, Baab :
Yazuffuuna An-Nasalaanu fil-Masyiy.
[5] Mereka
berasal dari Al-Qahthaniyyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah negeri
Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke Makkah dan
menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal [Mu’jamu Qabaailil-‘Arab Al-Qadiimah wal-Hadiitsah oleh ‘Umar Ridla
Kuhalah, 1/183].
[6] Dari kitab Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy
Al-Makkiy 1/247-248 dan Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 259; dengan sedikit perubahan.
[7] Bukan menjadi rahasia lagi pada masa
sekarang mengenai perhatian yang besar dari pemerintahan Saudi – semoga Allah
senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan – terhadap zamzam. Lihatlah – jika
perlu – mengenai usaha besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun
sumur zamzam dan menyediakan airnya bagi peziarah negeri haram, dalam ketetapan
Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tertanggal
13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial Wakaalatul-Anbaa’ hal. 47-51, Cet. Tahun 1408 H.
[8] Lihat Mu’jamul-Buldaan
oleh Al-Hamawiy 3/137, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/252, dan Tuhfatul-Raaki’i
wal-Masaajidi fii Ahkaamil-Masaajidi oleh Abu Bakr Al-Jaraa’iy hal. 57.
[9] Lihat Mu’jamul-Buldaan
oleh Al-Hamawiy 3/148, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/251-252, dan Tuhfatul-Raaki’i
wal-Masaajid hal. 58-60.
[10] Dikeluarkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jamul-Kabiir (11/98).
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir, dan para perawinya adalah tsiqah, dan juga Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya” [At-Targhiib wat-Tarhiib oleh Al-Mundziriy, 2/209]. Demikian juga
yang dikatakan oleh Al-Haitsamiy [lihat Majma’uz-Zawaaid, 3/286]. As-Suyuthiy mengatakan hadits
ini hasan [Al-Jaami’ush-Shaghiir,
2/10]. Al-Albani berkata : “Isnad hadits ini minimal berderajat hasan” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah,
3/45]. Dan saya tidak menemukannya hadits ini dalam Shahih Ibni Hibbaan.
[11] Shahih
Al-Bukhari 2/167, Kitaabul-Hajj, Baab Maa Jaa-a fii Zamzam.
[12] ‘Umdatul-Qaariy,
9/277.
[13] Beliau adalah ‘Umar bin Ruslaan bin Nashiir
Al-Kinaaniy Al-‘Asqalaniy Al-Bulqiiniy Al-Mishriy Asy-Syafi’iy, Abu Hafsh
Siraajuddin; haafidh, faqiih, dan mujtahid. Memiliki beberapa karya tulis, diantaranya : Mahaasinul-Ishthilaah fil-Hadiits dan Al-Ajwiibatul-Mardliyyah
‘alal-Masaailil-Makkiyyah. Wafat di Kairo tahun 805 H.
[14] Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy, 1/252.
[15] Lihat Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 268.
[16] Beliau adalah ‘Abdurrahiim bin Al-Husain bin
‘Abdurrahman Al-‘Iraqiy, Abu Fadhl Zainuddin, seorang imam yang dikenal dengan
nama : Al-Haafidh Al’Iraqiy. Ia seorang haafidh
di masanya. Beliau sibuk dengan ilmu hadits dan menguasainya. Mempunyai
beberapa karya tulis diantaranya : Al-Alfiyyah
fii Mushthalahil-Hadiits, Nidhaam Taqriibil-Qur’an,
dan Taqriibul-Asaaniid wa
Tartiibil-Masaanid. Wafat di Kairo pada tahun 806 H.
Lihat
Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy
hal 543, Syadzdzaraatudz-Dzahab 7/55,
Al-Badruth-Thaali’ 1/354, dan Al-A’laam 3/344.
[17] Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy, 1/252.
[18] Idem,
1/256.
[19] Al-‘Ukanu
dalam bentuk jamak dari ‘uknah.
Ia merupakan lipatan yang terdapat di perut karena kegemukan. Jika dikatakan,”Ta’akkanal-bathnu”, yaitu jika menjadi
berlipat-lipat. Diambil dari kitab Ash-Shihaah
oleh Al-Jauhariy, 6/2165.
[20] Yakni tipis dan kurus. Kata السَّخْفُ
dengan mem-fat-hah-kan siin, yaitu hidup yang ringan; dan
dengan men-dlammah-kannya (السُّخْفُ)
berarti akal yang lemah. Dikatakan bahwa ia adalah keringanan yang menyerang
manusia bila lapar. Di antara arti kata dari As-sakhfu yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun yang
lainnya [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir,
2/350].
[21] Shahih
Muslim 4/1922, Kitaabu
Fadlaailish-Shahaabah, Baab Min
Fadlaaili Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu.
[22] An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir, 3/125.
[23] Zaadul-Ma’aad
oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[24] Lihat catatan kaki no. 10.
[25] Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisiy dalam Musnad-nya [lihat Minhatul-Ma’buud fii Tartiibi Musnad Ath-Thayaalisiy Abi Dawud,
2/203]. Dikeluarkan juga oleh Al-Bazzaar [lihat Kasyful-Astaar ‘an Zawaaidil-Bazzaar, 2/47].
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dengan sanad shahih” [At-Targhiib wat-Tarhiib, 2/209].
Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir. Para perawi Al-Bazzaar
adalah para perawi Ash-Shahiih”
[lihat Majma’uz-Zawaaid wa
Manba’ul-Fawaaid oleh Al-Haitsami 3/286].
As-Suyuthi
menghukumi hadits tersebut shahih [Al-Jaami’suh-Shaghiir,
2/28].
Hadits
tersebut asalnya diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, sebagaimana yang telah
lewat.
[26] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/291 dan Ibnu Hibbaan dalam Shahiiih-nya (Al-Ihsaan bi-Tartiibi Shahiih Ibni Hibban 7/623), Kitaabuth-Thibb.
Dikeluarkan
pula oleh Al-Bukhari dalam Shahiih-nya
tanpa jazm (“maka dinginkanlah dengan air” atau : “dengan
air zamzam”). Hamaam (salah seorang perawi) telah ragu dalam membawakannya.
Telah
ada beberapa hadits dalam masalah ini (yaitu : “maka dinginkanlah dengan air”); sebagian ulama berkata :
“Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits ini “dengan air zamzam” bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi
mereka dan yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada
diri mereka”. Wallaahu a’lam [dari kitab
Fat-hur-Rabbaaniy li-Tartiibi Musnad
Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy, karangan Ahmad bin ‘Abdirrahman
Al-Bannaa, 17/159]. Lihat Ath-Thibbun-Nabawiy
oleh Ibnul-Qayyim hal. 22.
[27] Zaadul-Ma’ad
oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[28] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam; serta Al-Imam Ahmad
dalam Musnad-nya 3/357. Ad-Dimyaathiy
berkata : “Diriwayatkan oleh oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad hasan” [Al-Muttajar Ar-Raabih fii
Tsawaabil-‘Amalish-Shaalih oleh Ad-Dimyaathiy, hal. 318, Baab Tsawaabu Syurbi Maai Zamzam].
Ibnul-Qayyim
berkata : “Hadits hasan” [Zaadul-Ma’aad,
4/393]. Az-Zarkasyi berkata : “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan
yang shahih” [I’laamus-Saajid fii
Ahkaamil-Masaajid, hal. 206]. As-Suyuthiy berkata : “Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dengan sanad jayyid” [Al-Haawiy lil-Fataawaa, 2/81]. Al-Albani
berkata : “Shahih” [lihat Irwaaul-Ghaliil
fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320].
[29] Beliau adalah Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy,
Abul-Hajjaaj Al-Makhzuumiy Al-Muqri’; mufassir
dan haafid, maula Saaib bin Abu
As-Saaib. Ia seorang yang faqiih, wara’, dan ahli ibadah”. Mujaahid pernah
berkata : “Aku membaca di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku
berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun
dan bagaimana ia turun”. Wafat tahun 103 H.
Lihat
: Tadzkiratul-Huffadh 1/92, Tahdziibut-Tahdziib 10/42, dan Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy
hal. 42.
[30] Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya
lalu keluarlah air. Al-Hamzah adalah
lubang pada dada. Hazamtul-bi’r,
yaitu menggali sumur. Dari kitab An-Nihaayah
fii Ghariibil-Hadiits wal-Atsar oleh Ibnul-Atsir, 5/263.
[31] Dikeluarkan oleh Al-Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118 dan Al-Azraqiy dalam
kitabnya Akhbaaru Makkah wa Maa Jaa-a
Fiihaa minal-Aatsaar 2/50, dan ini adalah lafadh darinya.
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya
(2/289) secara marfu’ dari jalan
Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, akan tetapi sanadnya dla’if.
Al-Albani berkata : “Yang benar, mauquf pada
Mujaahid”. Kemudian ia berkata : “Dan apabila dikatakan bahwasannya ia tidaklah
berkata berdasarkan ra’yu-nya, maka
riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut dihukumi marfu’.
Itu dengan syarat jika riwayat tersebut selamat (dari cacat). Namun riwayat
tersebut adalah mursal, sehingga dla’if. Wallaahu a’lam”.
Silakan
periksa : Irwaaul-Ghaliil 4/329-332, Al-Maqaashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiir
minal-Ahaadiitsi Musytahirati ‘alal-Alsinah oleh As-Sakhaawiy hal. 375, dan
Kanzul-‘Ummal fii Sunanil-Aqwaal
wal-Af’aal oleh ‘Alauddin Al-Hindiy 12/224.
[32] Lihat Zaadul-Ma’aad
oleh Ibnul-Qayyim 4/393, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/255, Al-Maqaashidul-Hasanah
oleh As-Sakhaawiy hal. 357, dan Al-Jaamiul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah hal. 364-367.
[33] Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 267.
[34] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin
Muhammad Abu Bakr, yang dikenal dengan nama : Ibnul-‘Arabiy Al-Isybiliy
Al-Maalikiy; al-imam, al-‘allamah, al-haafidh, al-qaadli. Seorang ‘aalim,
faqiih, zuhud, dan ahli ibadah. Beliau mempunyai beberapa karya tulis, di
antaranya adalah kitab tafsir yang terkenal, ‘Aaridlatul-Ahwadziy fii Syarh Jaami’it-Tirmidziy, dan Al-Mahshuul fil-Ushuul. Wafat pada tahun
543 H.
Lihat
: Wifaayatl-A’yaan 4/296, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 20/197, Tadzkiratul-Huffadh 4/1294, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab 4/141.
[35] Lihat : Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubi, 9/370.
[36] I’laamus-Saajid
bi-Ahkaamil-Masaajid oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[37] Dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Hamiid
dalam kitab Hidaayatun-Naasik ilaa Ahammil-Manaasik,
hal. 51, dari Ibnu ‘Arafah.
[38] Yaitu pada musim haji.
[39] I’laamus-Saajid
oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[40] Dari keputusan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tahun 1406 H, khususnya zamzam;
didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul-Anbaa’
As-Su’uudiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang
zamzam, Tha’aamu Tu’m wa Syifaau Suqmin,
Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal. 109 dan setelahnya). Penulis menyebutkan beberapa
tabel untuk mengetahui kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap
semacamnya dari sumur-sumur yang ada di dekatnya.
[41] Lihat Majalah Al-‘Arabiyyah, edisi 127, hal. 98, bulan Sya’ban 1408 H.
[42] Lihat Akhbaaru
Makkah oleh Al-Azraqiy 2/59, I’laamus-Saajid
oleh Az-Zarkasyi hal. 206, dan Sufaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 2/256.
[43] Zaadul-Ma’aad
4/392.
[44] Inzi’uu
(انْزِعُوا) dengan meng-kasrah-kan zaa’, artinya : berikan minum dengan timba dan ambil terus dengan
menarik talinya. Dikatakan oleh An-Nawawi dalam penjelasannya atas Shahih Muslim 8/194.
[45] Maksudnya :
Jika bukan karena khawatiranku bahwa hal tersebut diyakini sebagai salah
satu bagian dari manasik haji oleh manusia dan akan berdesak-desakan menujunya,
dengan cara membuat kalian kepayahan dan menahan kalian untuk member minum, maka
aku akan turut memberi minum bersama kalian oleh sebab banyaknya keutamaan
member minum tersebut”. Dari kitab Syarhun-Nawawi
li-Shahiih Muslim 8/194.
[46] Bagian dari hadits panjang yang dikelaurkan
oleh Muslim 2/892, Kitaabul-Hajj, Baab
Hajjatin-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dikeluarkan juga oleh
Al-Bukhari secara ringkas dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma. Lihat Shahih Al-Bukhari
2/167.
[47] Shahih
Al-Bukahri 2/167 Kitaabul-Hajj, Maa
Jaa-a fii Zamzam; dan Shahih Muslim
3/1601 Kitaabul-Asyribah, Baab
fisy-Syurbi min Zamzama Qaaiman.
[48] Syarh
Shahih Muslim 13/195.
[49] ‘Umdatul-Qaariy
oleh Al-‘Ainiy, 9/278.
[50] Shahih
Al-Bukhari 2/167.
[51] Lihat kitab Adz-Dzikru wad-Du’aa wal-‘Allaaj bir-Ruqaa minal-Kitaabi was-Sunnati oleh
Sa’iid bin ‘Ali Al-Qahthaniy hal. 65.
[52] Sebagian ulama menyebutkan bahwa orang yang
berpuasa di Makkah dianjurkan berbuka puasa dengan air zamzam karena
keberkahannya. Lihat I’laamul-Masaajid oleh
Az-Zarkasyi hal. 216.
[53] Tadlallu’
adalah meminumnya dengan banyak hingga memenuhi lambungnya [Ani-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/97].
[54] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1017, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam, dan dalam hadits
tersebut terdapat satu kisah. Al-Bushairiy berkata : “Sanad hadits ini shahih,
para perawinya tsiqaat” [Mishbaahuz-Zujaajah, 3/34].
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya
2/288, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/472
Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq
dalam Al-Mushannaf 5/113.
*
Catatan : Hadits ini adalah dla’if. Lihat
Sunan Ibni Majah ‘alaa Hukmil-Albaniy
yang disusun oleh Masyhur Hasan Salmaan, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1.-
Abu Al-Jauzaa’.
[55] Lihat Fathul-Baariy
10/102.
[56] Silakan periksa : Shahih Al-Bukhari 6/253 Kitaabul-Asyribah,
Baab Syurbil-Barakah wal-Maail-Mubaarak.
[57] Dikeluarkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/228, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, Kitaabul-Manaasik, dan
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf
5/113.
[58] Telah lalu takhrij-nya (lihat : cacatan kaki no. 54).
[59] Siyaru
A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabiy 11/212 dan Al-Aadaabusy-Syar’iyyah wal-Manhul-Mar’iyyah oleh Ibnu Muflih
Al-Hanbaliy 3/110.
[60] Al-Hill
maknanya adalah halal, wabill artinya
mubah – diambil dari bahasa Humair [Syarus-Sunnah
oleh Al-Baghawiy 7/300]. Dikatakan juga artinya adalah asy-syifaa’ (obat), dari perkataan : balla man maridlahu wa aballa [An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir 1/154].
[61] Diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/114 dengan lafadh (وهي لشارب ومتوضء) “Dan ia (air zamzam) adalah untuk orang yang meminumnya dan
yang berwudlu dengannya”; dari Al-‘Abbas dan juga dari anaknya. Demikian pula
Al-Fakihiy dalam Akhbaaru Makkah 2/63
dan Al-Azraqiy dalam Akhbaaru Makkah
2/58.
[62] Al-Mughni
oleh Ibnu Qudamah 1/18 dan Al-Majmu’
Syarul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 1/91.
[63] Lihat Akhbaaru
Makkah oleh Al-Azraqiy 2/43. Ibnu Katsir me-rajih-kan riwayat tersebut berasal dari ‘Abdul-Muthallib, karena ia
merupakan orang yang memperbaharui penggalian sumur zamzam. Adapun Al-‘Abbas
dan anaknya, mereka berdua juga mengatakan hal tersebut pada masa mereka berdua
sebagai pemberitahuan dan informasi dengan apa yang disyaratkan oleh
‘Abdul-Muthallib saat menggali sumur zamzam tersebut. Wallaahu a’lam. Lihat Al-Bidaayah
wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 2/247.
[64] Telah datang satu riwayat yang dibawakan oleh
Al-Azraqiy bahwa sebab perkataan ini adalah bahwa Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu mendapatkan seorang
laki-laki yang sedang mandi di kolam zamzam dengan telanjang. Dan dalam riwayat
yang lain darinya disebutkan bahwa laki-laki tersebut mandi dengan air zamzam,
dan ketika itu Al-‘Abbas mendapatinya sehingga ia sangat marah akan hal itu.
Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy
2/58.
[65] Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab 1/91.
[66] Beliau adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad
bin Qudaamah Al-Maqdisiy, Ad-Dimasyqiy Ash-Shaalihiy Al-Hanbaliy Abu Muhammad
Muwaffaquddin. Al-imam, al-‘allamah, dan
al-mujtahid. Meskipun beliau adalah
lautan ilmu, namun beliau adalah pribadi yang wara’, zuhud, banyak
ibadah dan baik akhlaqnya. Mempunyai beberapa karya tulis yang banyak dan
bermanfaat diantaranya : Al-Mughni
fil-Fiqhi, Raudlatun-Naadhir fii
Ushuulil-Fiqh, Mas-alatul-‘Ulluw,
Dzammut-Ta’wiil, dan Fadlaailush-Shahaabah. Wafat pada tahun
620 H.
Lihat
Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 22/165, Al-Bidaayah wan-Nihaayah 13/99, Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah oleh
Ibnu Rajab 2/133, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab
5/88.
[67] Al-Mughni
1/18.
[68] As-Sajlu
: bejana yang penuh berisi air [An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir 2/344].
[69] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/76. Az-Zarkasyi berkata
tentang air zamzam : “Telah shahih bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya”. I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi hal.
136. Asal hadits ini adalah dalam Shahih
Muslim dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu – telah lewat isyarat mengenai hadits ini – namun di dalamnya tidak
terdapat perkataan bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya.
* Catatan : Syu’aib Al-Arna’uth menyatakan
sanad riwayat tersebut adalah hasan.- Abu Al-Jauzaa’.
[70] Majmu’
Fataawaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah 12/600. Lihat juga Badaai’ul-Fawaaid oleh Ibnul-Qayyim
4/48.
[71] I’laamus-Saajid
bi-Ahkaamil-Masaajid hal. 136-137 dengan perubahan dan peringkasan. Lihat Badaai’ul-Fawaaid 4/47.
[72] Syifaaul-Gharaam
bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy 1/258 dengan sedikit perubahan.
[73] Idem,
1/258.
[74] Beliau adalah Muhammad bin Ishaaq bin
Al-‘Abbaas Al-Faakihiy Abu ‘Abdillah Al-Makkiy Al-Muarrikh, pengarang kitab Akhbaaru Makkah Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih.
Wafat pada tahun 272 H.
Lihat
Kasyfudh-Dhunuun 1/306, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/20, Al-A’laam 6/28, dan muqaddimah juz pertama dari kitab Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy dengan muhaqqiq : ‘Abdul-Malik bin ‘Abdillah bin Duhaisy.
[75] Akhbaaru
Makkah fii Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih oleh Al-Faakihiy 2/48.
[76] Lihat Syarhus-Sunnah
oleh Al-Baghawiy 7/300, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/258, dan Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah hal. 277. Bahkan membawa air zamzam tersebut sangat disukai
(mustahab) di sisi ulama Malikiyyah
dan Syafi’iyyah. Lihat dua referensi terakhir.
[77] Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/295, Kitaabul-Hajj, dan ia berkata : “Hadits hasan gharib”; Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak 1/485 Kitaabul-Manaasik; dan Al-Faakihiy dalam
Akhbaaru Makkah 2/49.
[78] Majmu’atur-Rasaail
Al-Kubraa oleh Ibnu Taimiyyah 2/413. Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy 2/50.
[79] I’laamus-Saajid
hal. 137.
[80] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad Syamsuddin Abul-Khair As-Sakhaawiy Al-Mishriy Asy-Syaafi’iy; al-imam, al-haafidh, al-muarrikh (ahli
sejarah), dan al-adiib (sastrawan).
Beliau merupakan pendatang negeri Haramain, kemudian melakukan perjalanan ke
segala penjuru negeri dalam rangka menuntut ilmu. Menulis kitab dalam jumlah
yang sangat banyak, diantaranya : Fathul-Mughiits
bi-Syarhi Alfiyyatil-Hadiits, Adl-Dlau’ul-Laami’
li-Ahlil-Qarnit-Taasi’, Al-Qaulul-Badii’
fii Shalaati ‘alal-Habiibisy-Syafii’, dan An-Nukhbatul-Lathiifah fii Akhbaaril-Madiinah Asy-Syariifah. Wafat pada
tahun 902 H.
Lihat
Syadzdzaraatudz-Dzahab 8/16, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/219, dan Al-A’laam 6/194.
Zamzam adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada
di Masjidil-Haram di sebelah timur Ka’bah.
Adapun asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullah
dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma –
dari sebuah hadits yang panjang – bahwasannya Hajar ibu Isma’il rahimahumallah ketika merasa dahaga, ia
dan anaknya (Isma’il) mencari air. Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
فَلَمَّا
أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةَ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ : (صَهٍ) - تُرِيْدُ
نَفْسَهَا - ثُمَّ تَسَمَّعَتْ أَيْضًا فَقَالَتْ : قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ
عِنْدَكَ غِوَاثٌ، فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ
بِعَقِبِهِ - أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ - حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءَ، فَجَعَلَتْ
تَحُوْضُهُ وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ الْمَاءِ فِي
سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَ مَا تَغْرِفُ. قَالَ ابنُ عَبَّاس : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ
لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ - أَوْ قَالَ : لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ -
لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا. قَالَ : فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ
وَلَدَهَا.
“Maka ketika berada di Marwah, ia mendengar suara : ‘Diamlah’ – suara tersebut tertuju pada
dirinya - . Kemudian Hajar ingin mendengarkan lagi dengan seksama, dan akhirnya
ia pun mendengarnya. Hajar berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah memperdengarkan
kepadaku, adakah bantuan darimu ?’. Ternyata ia adalah malaikat[1] yang berada di tempat
zamzam. Maka malaikat itu mencari sumber air dengan tumitnya – atau : sayapnya
– hingga keluarlah air. Lalu Hajar membuat kolam[2], ia berkata dengan
tangannya begini, dan kemudian ia mulai menggayung air untuk meminumnya. Hal
tersebut dilakukan dengan cepat setelah menggayung”. Ibnu ‘Abbas berkata :
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Semoga Allah merahmati Isma’il,
seandainya saja ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka
air zamzam akan mengalir terus”.[3] “Maka ia meminum airnya
dan menyusui bayinya”.[4]
Air zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh
penduduk Makkah hingga kabilah Jurhum[5] meremehkan kehormatan
Ka’bah dan negeri Haram, sehingga tempat keluarnya air zamzam tersebut
menghilang. Ada yang berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur
sumber air zamzam tersebut ketika mereka pergi ke Makkah, dan ada juga yang
mengatakan bahwa sumber air zamzam terkubur oleh banjir. Hal ini terus
berlanjut masa demi masa hingga akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul-Muthallib
bin Hasyim – kakek Nabi shallllaahu
‘alaihi wa sallam – dengan mengetahui berbagai tanda hingga diketahui
tempatnya; yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat tidurnya, lalu
ia diperintahkan untuk menggalinya. Maka digalilah tempat yang ditunjukkan
tersebut hingga terpancarlah air zamzam tersebut.[6]
Sesungguhnya sejak masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum muslimin
sangat memperhatikan zamzam.[7] Para khalifah dan para
ulama serta para pemimpin kaum muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam,
merenovasi, dan memeliharanya dengan baik agar jama’ah haji dan para peziarah
negeri Haram mendapatkan pahala kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.
Adapun sebab air tersebut dinamakan dengan zamzam
adalah karena faktor banyak dan melimpahnya. Dan kata zamzam menurut orang
‘Arab bermakna melimpah dan mengumpul. Ada yang berpendapat lain, yaitu karena
Hajar – ibnu Isma’il – mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia
membuat semacam kolam. Ada juga yang berpendapat lain, yaitu karena suara
airnya yang bergemuruh dan meluap-luap ketika keluar. Dan pendapat-pendapat
yang lainnya.[8]
Air zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada
keagungan dan keutamaannya, diantaranya adalah : Maimuunah, Mubaarakah,
‘Aafiyyah, dan Maghdziyyah.[9]
Keistimewaan
Air Zamzam
Diantara keistimewaan zamzam dan keberkahannya adalah
bahwa Allah ta’ala telah
mengistimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting
adalah :
1.
Air
zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at agama
maupun kesehatan.
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia
berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ
زَمْزَمَ...
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam…”.[10]
Dan
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu – pada kisah Isra’ Mi’raj – bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَفَرَّجَ
صَدْرِيْ، ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمْزَمَ....
“Maka Jibril ‘alaihis-salaam turun dan membelah dadaku,
kemudian ia mencucinya dengan air zamzam….”.[11]
Al-‘Aini
rahimahullah berkata :
وهذا يدل قطعا على فضلها، حيث اختص غسل صدره عليه الصلاة
والسلام بمائها دون غيرها
“Hal
ini menunjukkan dengan pasti keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam
dikhususkan dengan air zamzam, tanpa selainnya”.[12]
Oleh
karena itu, Sirajjudin Al-Bulqini[13] berkata :
إن ماء زمزم أفضل من ماء الكوثر، معللا ذلك بكونه غسل
النبي صلى الله عليه وسلم، ولم ليغسل إلا بأفضل المياه.
“Sesungguhnya
air zamzam lebih baik dibandingkan air Al-Kautsar dengan dasar karena dipakai
untuk mencuci dada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah dada beliau dicuci kecuali dengan air yang
terbaik”.[14]
Secara
lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di
dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air (telaga)
Al-Kautsar termasuk yang menyangkut hari akhir. Oleh karena itu, tidak dapat
dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia.[15] Sebagaimana hadits yang
memuliakannya : “Sebaik-baik air di muka
bumi adalah air zamzam” ; menunjukkan hal tersebut. Wallaahu a’lam.
Al-Haafidh
Al-‘Iraqiy[16] rahimahullah menyebutkan bahwa hikmah di
balik pencucian dada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan air zamzam adalah agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dalam memandang
malaikat-malaikat langit dan bumi, surga dan neraka; karena dari keistimewaan
air zamzam bahwasannya ia dapat lebih meneguhkan hati dan menentramkan
perasaan.[17] Dan
akan lebih jelas – insya Allah – pada
apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi kedokteran (medis).[18]
2.
Mengeyangkan
peminumnya seperti makanan.
Telah
shahih sebuah riwayat pada Shahih Muslim dalam
kisah Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu
bahwasannya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk Islam, ia menetap di sana
selama 30 hari antara malam dan siang di dalam Masjidil-Haraam. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya : “Siapakah yang telah
memberimu makan ?”. Ia (Abu Dzarr) menjawab : “Aku tidak mempunyai makanan
kecuali air zamzam, lalu aku menjadi gemuk dan berlemak,[19] perutku berlipat-lipat,
aku tidak mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku”.[20] Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga)
merupakan makanan yang berselera”.[21]
Ibnul-Atsir
berkata :
أي يشبع الانسان إذا شرب ماءها كما يشبع من الطعام
“Sesuatu
yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari
makanan”.[22]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata tentang
kekhususan air zamzam ini :
شاهدت من يتغذا به الأيام ذوات العدد قريبا من نصف
الشهر، أو أكثر، ولا يجد جوعا، ويطوف مع الناس كأحدهم، وأخبرني أنه ربما بقي عليه
أربعين يوما، وكان له قوة يجامع بها أهله، ويصوم ويطوف مرارا.
“Aku
menyaksikan sebagian orang yang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir
setengah bulan atau lebih dari itu, ia tidak merasa kelaparan. Ia mengikuti
thawaf bersama orang-orang. Dikhabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap
seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan
jima’ dengan istrinya, puasa, dan thawaf berkali-kali”.[23]
3.
Berobat
dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan
hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ،
فِيْهِ طَعَامُ الطُّعْمِ، وَشِفَا الْسُّقْمِ.
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam. Di
dalamnya terdapat makanan yang diinginkan dan obat bagi penyakit”.[24]
Dan
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
زَمْزَمُ طَعَمُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Air zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari
penyakit”. [25]
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
إِنَّ الْحُمَى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَبْرِدُوْهَا
بِمَاءٍ زَمْزَمَ.
“Sesungguhnya sakit demam itu termasuk dari panasnya
api neraka Jahannam. Maka dinginkanlah dengan air zamzam”. [26]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah menjelaskan :
وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا
عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله
“Sesungguhnya
aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya; yaitu berobat dengan air zamzam
(sungguh) hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit
dengan ijin Allah ta’ala”.[27]
4.
Bahwasannya
air zamzam itu adalah menurut niat peminumnya.
Diriwayatkan
oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zamzam itu menurut apa yang diinginkan peminumnya”.[28]
Diriwayatkan
dari Mujaahid[29] rahimahullah, bahwasannya ia pernah
berkata :
ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن
شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam menurut niat peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah
akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan
memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan
mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril[30] dan pemberian (air minum)
Allah kepada Isma’il”.[31]
Sesungguhnya
ulama-ulama besar dan yang lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud yang
berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menghapal hadits,
karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu kegemaran
memanah, sebagai penangkal dahaga pada hari kiamat kelak, serta berbagai
manfaat dunia dan akhirat lainnya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka
minta sesuai dengan niat mereka – seperti yang telah dikhabarkan dari sebagian
mereka –[32]
dan kita berharap sampainya maksud bagi siapa yang meminta apa yang ada di
akhirat seperti meminumnya karena haus di akhirat nanti, tidak dapat dihitung
keshahihan khabar-khabar yang diriwayatkan ini – secara global – (menguatkan
shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat peminumnya – padahal ia sendiri
adalah hadits yang sanadnya shahih)[33] seperti yang telah kita
lewati, apa yang menguatkan hal tersebut pada dua keistimewaan yang terakhir
dari sifat air zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.
Dan memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya
adalah – tanpa ragu dan bimbang – dengan taufiq Allah, pertolongan dan
rahmat-Nya. Hal tersebut merupakan satu jaminan dari Allah ta’ala pada air zamzam bahwa ia memiliki keberkahan dan manfaat
terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang benar.
Telah dinukil dari Ibnul-‘Arabiy[34] rahimahullaahu ta’ala bahwa ia pernah
berkata tentang manfaat air zamzam :
وهذا موجود فيه إلى يوم القيامة لمن
صحة نيته، وسلمت طويته، ولم يكن به مكذبا، ولا يشربه مجربا، فإن الله مع
المتوكلين، وهو يفضح المجربين.
“(Manfaat) ini akan ada padanya hingga hari kiamat bagi siapa
saja yang benar niatnya, lurus hati nuraninya tidak berdusta padanya, dab tidak
pula meminumnya hanya untuk coba-coba; karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal,
dan Allah membuka aib orang yang hanya coba-coba”.[35]
5.
Dan
diantara keistimewaan lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Al-Imam
Az-Zarkasyi bahwasannya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar
yang menjadi pendorong dan motivatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah
Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan
mengungguli imannya dalam meminumnya.[36]
Maksudnya
adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama :
إنما لم يكن عذبا ليكون شربه تعبدا لا تلذذا
“Rasanya
tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan”.[37]
Sesungguhnya
Az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah ta’ala mengagungkan air zamzam pada musim haji,[38] dan memperbanyak hal-hal
ajaib di luar kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan
: “Kita dan orang lain telah menyaksikan itu semua”.[39]
Dan
yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh
hal-hal lain di setiap saat. Hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern.
Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil
dzat-dzat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut
tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi
kemurnian dzatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi kemaslahatannya
untuk diminum. Yang demikian ini dilihat dari segala bentuk ukuran yang
dilakukan padanya.[40]
Oleh
karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung
orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari
dzat-dzat klinis seperti yang diungkapkan dalam satu majalah.[41] Inilah
keistimewaan-keistimewaan penting air zamzam yang diberkahi. Sesungguhnya para
ulama telah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan lain[42] yang membutuhkan landasan
dalil yang shahih.
Saya
menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul-Qayyim tentang keutamaan air
zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya :
ماء زمزم : سيد المياه وأشرفها وأجلّها قدرا، وأحبّها
إلى انفوس، وأغلاها ثمنا، وأنفسها عند الناس، وهو هَزْمة جبريل، وسقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam : air yang terbaik, termulia, dan teragung kedudukannya, sangat dicintai
oleh jiwa, sangat mahal harganya, dan sangat berharga bagi manusia. Ia
merupakan hasil usaha Jibriil ‘alaihis-salaam
dan pemberian minum dari Allah untuk Isma’il”.[43]
Sifat
Tabarruk dengan Meminum Air Zamzam
Disunnahkan bagi orang yang melakukan ibadah haji dan
‘umrah untuk meminum air zamzam setelah usai melaksanakan thawaf dan shalat dua
raka’at di belakang maqam Ibrahim ‘alaihis-salaam.
Telah shahih dalam Shahih Muslim satu riwayat dari Jaabir
bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu mengenai
shifat haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, bahwasannya ketika usai melaksanakan thawaf, beliau mendatangi Bani
‘Abdul-Muthallib yang sedang memberi minum (jama’ah haji) air zamzam. Beliau
bersabda kepada mereka :
انْزِعُوا بَنِي عَبْدِ الْمُطَلِّبِ، فَلَوْ لَا أَنْ يَغْلَبُكُمُ النَّاسُ
عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ. فَنَاوَلُوهُ دَلْوًا فَشَرِبَ مِنْهُ.
“Terus,
(wahai) Bani ‘Abdil-Muthallib,[44] seandainya manusia
tidak berbondong-bondong dalam pemberian minum kalian tersebut, maka aku akan
ikut memberikan minum bersama kalian”.[45] Maka
mereka memberikan kepada beliau seember air zamzam lalu beliau meminumnya”.[46]
Dan dalam Ash-Shahihain dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, ia berkata :
سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ،
فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ.
“Aku pernah memberi minum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
air zamzam, dan beliau pun meminumnya dalam keadaan berdiri”.[47]
Telah diketahui bahwa ada
hadits-hadits shahih yang melarang minum dengan berdiri. Namun Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menjawabnya
dengan perkataannya :
النهي فيها محمول على كراهية التنزيه، وأما شربه صلى الله عليه وسلم قائما
فبيان للجواز، فلا إشكال ولا تعارض.
“Larangan dalam hadits tersebut dibawa
kepada hukum makruh tanziih. Adapun
minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan
tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada
pertentangan”.[48]
Dan dikatakan pula bahwa minum air
zamzam tanpa berdiri adalah sulit karena tingginya dinding yang
mengelilinginya.[49]
Kesimpulannya bahwa yang menjadi
sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam tidak dengan berdiri
berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarangannya, kecuali jika diperlukan.
Khususnya yang ditunjukkan dalam riwayat Al-Bukhari :
فَحَلَفَ عِكْرِمَةُ - وَهُوَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - مَا كَانَ يَوْمَئِذٍ
إِلَّا عَلَى الْبَعِيْرِ
“’Ikrimah – ia adalah maula Ibnu
‘Abbas – bersumpah bahwasannya ketika itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atas onta”.[50]
Hal itu bukanlah seperti yang
disebutkan oleh sebagian orang[51] bahwa
termasuk sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam dengan berdiri,
bersandar dengan hadits di atas.
Anjuran minum air zamzam tidak hanya
dibatasi pada orang yang melakukan ibadah haji dan ‘umrah saja[52], akan
tetapi hal itu umum bagi siapa saja – sesuai keumuman hadits-hadits yang
menyebutkan keutamaan air zamzam dan apa-apa yang terkandung di dalamnya dari
barakah, manfaat, dan obat.
Termasuk bagian dari sunnah dalam
meminum air zamzam adalah memperbanyak minum (tadlallu’)[53] seperti
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
إِنَّ آيَةً مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ، إِنَّهُمْ لَا
يَتَضَلَّعُوْنَ مِنْ زَمْزَمَ
“Sesungguhnya
tanda (pembeda) antara kami dan kaum munafiqin adalah bahwasannya mereka tidak
memperbanyak minum air zamzam”.[54]
Demikian juga bahwa memperbanyak minum
air zamzam walaupun di luar kebiasaan dengan maksud memperoleh keberkahan termasuk
dari hal-hal yang diperbolehkan seperti apa yang dilakukan oleh Jaabir bin
‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu[55] yang
memperbanyak minum air ketika muncul di antara jari-jari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam karena
barakah yang ada padanya.[56]
Termasuk diantara yang disunnahkan
juga adalah berdoa saat meminumnya dengan apa yang dia inginkan dari doa-doa
yang disyari’atkan, serta berniat sesuka hatinya dari kebaikan dunia dan
akhirat seperti berobat, mengambil manfaat, atau yang lainnya. “Air zamzam itu menurut apa yang diniatkan
oleh peminumnya” – sebagaimana penjelasan yang lalu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma apabila meminum
air zamzam, ia berdoa :
اَللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعَا، وَرِزْقًا وَاسِعًا، وَشِفَاءً
مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Ya
Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang lapang, dan
kesembuhan dari segala macam penyakit”.[57]
Di antara adab ketika meminum air
zamzam adalah sebagaimana dijelaskan pada sebuah riwayat dalam Sunan Ibni Majah dan selainnya :
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَقَالَ :
مِنْ أَيْنَ جِئْتَ ؟ قالَ : مِنْ زَمْزَمَ. قَالَ : فَشَرِبْتَ مِنْهَا كَمَا
يَنْبَغِي ؟ قَالَ : وَكَيْفَ ؟ قَالَ : إِذَا شَرِبْتَ مِنْهَا فَاسْتَقْبِلِ
الْقِبْلَةَ، وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ، فَتَنَفَّسْ ثَلَاثًا، وَتَضَلُّعْ مِنْهَا،
فَإِذَا فَرَغْتَ فَاحمدِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : إِنَّ آيَةًَ بَيْنَنَا...
“Bahwasannya seseorang datang kepada
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Ibnu ‘Abbas bertanya kepadanya : ‘Dari mana engkau datang ?’. Ia menjawab :
‘Dari sumur zamzam’. Ibnu ‘Abbas berkata : ‘Jika engkau minum air zamzam, maka
menghadaplah ke kiblat, sebutlah nama Allah ‘azza
wa jalla, bernafaslah tiga kali, dan perbanyaklah meminumnya. Apabila engkau
telah selesai, maka pujilah Allah ‘azza
wa jalla, karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Sesungguhnya tanda (pembeda) antara kami….”
[al-hadits].[58]
Ini semua merupakan hal-hal yang
menyangkut sifat tabarruk dengan
meminum air zamzam. Namun apakah tabarruk
dengannya ini dapat ditambah seperti membasuh anggota tubuh dengan air tersebut
?
Kita tidak mendapatkan keterangan
mengenai masalah ini kecuali apa yang diriwayatkan oleh sebagian mereka dari
‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahumallah
bahwasannya ia berkata :
رأيت أبي غير مرة يشرب من ماء زمزم، يستشفي به، ويمسح به يديه ووجهه
“Aku pernah melihat ayahku beberapa
kali meminum air zamzam, berobat dengannya, dan membasuh kedua tangan dan
wajahnya”.[59]
Wallaahu
a’lam.
Sekarang saya akan menguraikan dengan
ringkas mengenai masalah-masalah penting lainnya yang berkaitan dengan
pemakaian air yang diberkahi ini.
Hukum Wudlu dan Mandi Junub dengan Air Zamzam
Madzhab jumhur ulama adalah tidak
dibenci (makruh) berwudlu dan mandi menggunakan air zamzam.
Dalam satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullah disebutkan bahwa beliau
membencinya, karena telah ada satu atsar dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia
pernah berkata mengenai air zamzam :
لست أحلها لمغتسل، وهي لشارب حل وبل
“Aku tidak membolehkannya bagi orang
yang memakainya untuk mandi. Ia hanya boleh untuk orang yang meminumnya saja[60]”.[61]
Dan juga (alasannya adalah) karena ia
menghilangkan apa yang menghalangi (seeorang) dari shalat, maka ia seperti
menghilangkan najis dengannya (sehingga makruh mempergunakannya untuk wudlu dan
mandi).[62]
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh
jumhur adalah sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi rahimahullah :
النصوص الصحيحة الصريحة المطلقة في المياه بلا فرق، فأنه لم يزل المسلمون على
الوضوء منه بلا إنكار
“Nash-nash yang shahih, sharih (jelas), lagi muthlaq yang berkenaan dengan segala
macam air adalah tanpa pembedaan, bahwasannya kaum muslimin darinya tanpa
adanya pengingkaran”.
Kemudian ia berkata :
ولم يصح ما ذكروه عن العباس، بل حكي عن أبيه عبد المطلب، ولو ثبت عن العباس
لم يجز ترك النصوص به، وأجاب أصحابنا - الشافعية - أنه محمول على أنه قاله في وقت
ضيق الماء لكثرة الشاربين.
“Tidak shahih riwayat yang berasal
dari Al-‘Abbas, akan tetapi (yang benar) dihikayatkan riwayat tersebut dari
bapaknya, yaitu ‘Abdul-Muthallib.[63] Meskipun
seandainya riwayat itu shahih dari Al-‘Abbas, maka tetap tidak diperbolehkan
untuk meninggalkan nash-nash yang ada karenanya. Para shahabat kami – yaitu
Syafi’iyyah - menjawab bahwasannya riwayat tersebut dibawa pada pengertian
Al-‘Abbas mengatakannya pada saat sulitnya (mendapatkan) air akibat banyaknya
orang yang meminumnya[64]”.[65]
Dan dari perkataan Ibnu Qudamah[66] yang
menguatkan peniadaan hukum makruh adalah sebagai berikut :
وشرفه لا يوجب الكراهة لاستعماله، كالماء الذي وضع فيه النبي صلى الله عليه
وسلم كفه، أو اغتسل منه.
“Kemuliaannya tidaklah mengharuskan
kemakruhan untuk mempergunakannya, seperti air yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan telapak tangan di
dalamnya, atau mandi darinya”.[67]
Telah diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad,
dari ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu dalam kisah tentang haji Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminta seember[68] air
zamzam, yang kemudian meminumnya dan berwudlu dengannya.[69]
Adapun Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat makruhnya mandi
dengan air zamzam selain wudlu. Hal itu disebabkan hadats dari janabah itu
lebih berat. Maka, mandi janabah termasuk menghilangkan hadats besar di satu
sisi, sehingga kewajiban mandi janabah itu ekuivalen dengan kewajiban mandi
terkena najis. Oleh karena itu, larangan Al-’Abbas itu hanya untuk mandi, bukan
untuk wudlu’.[70]
Hukum Istinja’
(Cebok) dengan Air Zamzam
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum istinjaa’ dengan air zamzam
dalam tiga perkataan :
(1)
Haram dilakukan meskipun ia sebelumnya telah suci (tidak
berhadats) dikarenakan kehormatan dan kemuliaan air zamzam. Sebagian lain
beralasan bahwa ia termasuk bagian dari kebutuhan pokok seperti makanan, maka ia
menjadi haram karena kedudukannya sebagai makanan.
(2)
Makruh.
(3)
Menyelisihi pendapat pertama,[71] yaitu
tidak sepantasnya menghilangkan najis dengan air zamzam, apalagi istinjaa’, khususnya bila yang lainnya masih
ada.[72]
Termasuk dari cabang pembahasan
larangan bersuci dengan air zamzam : Larangan memandikan mayit dengannya,
sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama.[73]
Al-Faakihiy[74]
menyebutkan – seorang ulama generasi/abad ketiga – bahwasannya penduduk Makkah
memandikan jenazah mereka dengan air zamzam. Apabila telah selesai memandikan
mayit dan membersihkannya, maka yang lainnya juga mempergunakannya (air zamzam)
untuk mandi dalam rangka mencari barakah.[75]
Hukum Memindahkan Air Zamzam Keluar Negeri Haram
Diperbolehkan membawa air zamzam ke
seluruh negeri untuk ber-tabarruk
dengannya dengan kesepakatan para ulama.[76] Asal
pembolehan tersebut didasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi
dan selainnya dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa bahwasannya ia pernah membawa air zamzam, dan mengkhabarkan bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah membawanya juga.[77]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن حمل شيئا من ماء زمزم جاز، فقد كان السلف يحملونه
“Barangsiapa yang membawa sesuatu dari
air zamzam, maka diperbolehkan. Sungguh para salaf juga membawanya”.[78]
Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahullah telah berkata :
يجوز إخراج ماء زمزم وغيره من مياه الحرم، ونقله إلى جميع البلدان، لأن الماء
يُستخلف، بخلاف نقل التراب والحجر.
“Diperbolehkan membawa air zamzam dan
selainnya dari air-air yang berada di tanah haram, dan memindahkannya ke
seluruh negeri; karena air tersebut dapat terganti (mengalir lagi), berbeda
halnya dengan tanah dan batu”.[79]
Al-Imam As-Sakhawiy[80] rahimahullah berkata :
يذكر على بعض الألسنة أن فضيلته ما دام في محله، فإذا نقل يتغير، وهو شيء لا
أصل له
“Sering terdengar dari mulut ke mulut
bahwasannya keutamaan air zamzam adalah apabila masih di tempatnya, dan apabila
telah dipindahkan maka akan hilang. Perkataan ini tidak ada salnya sama
sekali”.
Kemudian ia menyebutkan beberapa dalil
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan sebagian shahabat radliyallaahu
‘anhum yang menerangkan tentang hal tersebut untuk ber-tabarruk dengannya.[81]
Wallaahu
a’lam.
[At-Tabarruk
: Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Al-Judai’, hal. 279-294; Maktabah
Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 – berikut terjemahannya : Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir, hal. 95-112;
Cet. 1/1425 H/2004 M].
[1] Ia adalah Jibril ‘alaihis-salaam, seperti yang disebutkan pada riwayat lain dari
Al-Bukhari rahimahullah.
[2] Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga)
agar air tidak terus-menerus mengalir [‘Umdatul-Qaariy,
15/257].
[3] Dengan mem-fath-hah-kan miim, yang
artinya : mengalir di atas bumi [‘Umdatul-Qaariy,
15/253].
[4] Shahih
Al-Bukhari 3/113, Kitaabu
Ahaadiitsil-Anbiyaa’, Baab :
Yazuffuuna An-Nasalaanu fil-Masyiy.
[5] Mereka
berasal dari Al-Qahthaniyyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah negeri
Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke Makkah dan
menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal [Mu’jamu Qabaailil-‘Arab Al-Qadiimah wal-Hadiitsah oleh ‘Umar Ridla
Kuhalah, 1/183].
[6] Dari kitab Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy
Al-Makkiy 1/247-248 dan Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 259; dengan sedikit perubahan.
[7] Bukan menjadi rahasia lagi pada masa
sekarang mengenai perhatian yang besar dari pemerintahan Saudi – semoga Allah
senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan – terhadap zamzam. Lihatlah – jika
perlu – mengenai usaha besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun
sumur zamzam dan menyediakan airnya bagi peziarah negeri haram, dalam ketetapan
Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tertanggal
13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial Wakaalatul-Anbaa’ hal. 47-51, Cet. Tahun 1408 H.
[8] Lihat Mu’jamul-Buldaan
oleh Al-Hamawiy 3/137, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/252, dan Tuhfatul-Raaki’i
wal-Masaajidi fii Ahkaamil-Masaajidi oleh Abu Bakr Al-Jaraa’iy hal. 57.
[9] Lihat Mu’jamul-Buldaan
oleh Al-Hamawiy 3/148, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/251-252, dan Tuhfatul-Raaki’i
wal-Masaajid hal. 58-60.
[10] Dikeluarkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jamul-Kabiir (11/98).
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir, dan para perawinya adalah tsiqah, dan juga Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya” [At-Targhiib wat-Tarhiib oleh Al-Mundziriy, 2/209]. Demikian juga
yang dikatakan oleh Al-Haitsamiy [lihat Majma’uz-Zawaaid, 3/286]. As-Suyuthiy mengatakan hadits
ini hasan [Al-Jaami’ush-Shaghiir,
2/10]. Al-Albani berkata : “Isnad hadits ini minimal berderajat hasan” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah,
3/45]. Dan saya tidak menemukannya hadits ini dalam Shahih Ibni Hibbaan.
[11] Shahih
Al-Bukhari 2/167, Kitaabul-Hajj, Baab Maa Jaa-a fii Zamzam.
[12] ‘Umdatul-Qaariy,
9/277.
[13] Beliau adalah ‘Umar bin Ruslaan bin Nashiir
Al-Kinaaniy Al-‘Asqalaniy Al-Bulqiiniy Al-Mishriy Asy-Syafi’iy, Abu Hafsh
Siraajuddin; haafidh, faqiih, dan mujtahid. Memiliki beberapa karya tulis, diantaranya : Mahaasinul-Ishthilaah fil-Hadiits dan Al-Ajwiibatul-Mardliyyah
‘alal-Masaailil-Makkiyyah. Wafat di Kairo tahun 805 H.
[14] Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy, 1/252.
[15] Lihat Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 268.
[16] Beliau adalah ‘Abdurrahiim bin Al-Husain bin
‘Abdurrahman Al-‘Iraqiy, Abu Fadhl Zainuddin, seorang imam yang dikenal dengan
nama : Al-Haafidh Al’Iraqiy. Ia seorang haafidh
di masanya. Beliau sibuk dengan ilmu hadits dan menguasainya. Mempunyai
beberapa karya tulis diantaranya : Al-Alfiyyah
fii Mushthalahil-Hadiits, Nidhaam Taqriibil-Qur’an,
dan Taqriibul-Asaaniid wa
Tartiibil-Masaanid. Wafat di Kairo pada tahun 806 H.
Lihat
Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy
hal 543, Syadzdzaraatudz-Dzahab 7/55,
Al-Badruth-Thaali’ 1/354, dan Al-A’laam 3/344.
[17] Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy, 1/252.
[18] Idem,
1/256.
[19] Al-‘Ukanu
dalam bentuk jamak dari ‘uknah.
Ia merupakan lipatan yang terdapat di perut karena kegemukan. Jika dikatakan,”Ta’akkanal-bathnu”, yaitu jika menjadi
berlipat-lipat. Diambil dari kitab Ash-Shihaah
oleh Al-Jauhariy, 6/2165.
[20] Yakni tipis dan kurus. Kata السَّخْفُ
dengan mem-fat-hah-kan siin, yaitu hidup yang ringan; dan
dengan men-dlammah-kannya (السُّخْفُ)
berarti akal yang lemah. Dikatakan bahwa ia adalah keringanan yang menyerang
manusia bila lapar. Di antara arti kata dari As-sakhfu yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun yang
lainnya [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir,
2/350].
[21] Shahih
Muslim 4/1922, Kitaabu
Fadlaailish-Shahaabah, Baab Min
Fadlaaili Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu.
[22] An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir, 3/125.
[23] Zaadul-Ma’aad
oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[24] Lihat catatan kaki no. 10.
[25] Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisiy dalam Musnad-nya [lihat Minhatul-Ma’buud fii Tartiibi Musnad Ath-Thayaalisiy Abi Dawud,
2/203]. Dikeluarkan juga oleh Al-Bazzaar [lihat Kasyful-Astaar ‘an Zawaaidil-Bazzaar, 2/47].
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dengan sanad shahih” [At-Targhiib wat-Tarhiib, 2/209].
Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir. Para perawi Al-Bazzaar
adalah para perawi Ash-Shahiih”
[lihat Majma’uz-Zawaaid wa
Manba’ul-Fawaaid oleh Al-Haitsami 3/286].
As-Suyuthi
menghukumi hadits tersebut shahih [Al-Jaami’suh-Shaghiir,
2/28].
Hadits
tersebut asalnya diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, sebagaimana yang telah
lewat.
[26] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/291 dan Ibnu Hibbaan dalam Shahiiih-nya (Al-Ihsaan bi-Tartiibi Shahiih Ibni Hibban 7/623), Kitaabuth-Thibb.
Dikeluarkan
pula oleh Al-Bukhari dalam Shahiih-nya
tanpa jazm (“maka dinginkanlah dengan air” atau : “dengan
air zamzam”). Hamaam (salah seorang perawi) telah ragu dalam membawakannya.
Telah
ada beberapa hadits dalam masalah ini (yaitu : “maka dinginkanlah dengan air”); sebagian ulama berkata :
“Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits ini “dengan air zamzam” bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi
mereka dan yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada
diri mereka”. Wallaahu a’lam [dari kitab
Fat-hur-Rabbaaniy li-Tartiibi Musnad
Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy, karangan Ahmad bin ‘Abdirrahman
Al-Bannaa, 17/159]. Lihat Ath-Thibbun-Nabawiy
oleh Ibnul-Qayyim hal. 22.
[27] Zaadul-Ma’ad
oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[28] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam; serta Al-Imam Ahmad
dalam Musnad-nya 3/357. Ad-Dimyaathiy
berkata : “Diriwayatkan oleh oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad hasan” [Al-Muttajar Ar-Raabih fii
Tsawaabil-‘Amalish-Shaalih oleh Ad-Dimyaathiy, hal. 318, Baab Tsawaabu Syurbi Maai Zamzam].
Ibnul-Qayyim
berkata : “Hadits hasan” [Zaadul-Ma’aad,
4/393]. Az-Zarkasyi berkata : “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan
yang shahih” [I’laamus-Saajid fii
Ahkaamil-Masaajid, hal. 206]. As-Suyuthiy berkata : “Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dengan sanad jayyid” [Al-Haawiy lil-Fataawaa, 2/81]. Al-Albani
berkata : “Shahih” [lihat Irwaaul-Ghaliil
fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320].
[29] Beliau adalah Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy,
Abul-Hajjaaj Al-Makhzuumiy Al-Muqri’; mufassir
dan haafid, maula Saaib bin Abu
As-Saaib. Ia seorang yang faqiih, wara’, dan ahli ibadah”. Mujaahid pernah
berkata : “Aku membaca di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku
berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun
dan bagaimana ia turun”. Wafat tahun 103 H.
Lihat
: Tadzkiratul-Huffadh 1/92, Tahdziibut-Tahdziib 10/42, dan Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy
hal. 42.
[30] Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya
lalu keluarlah air. Al-Hamzah adalah
lubang pada dada. Hazamtul-bi’r,
yaitu menggali sumur. Dari kitab An-Nihaayah
fii Ghariibil-Hadiits wal-Atsar oleh Ibnul-Atsir, 5/263.
[31] Dikeluarkan oleh Al-Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118 dan Al-Azraqiy dalam
kitabnya Akhbaaru Makkah wa Maa Jaa-a
Fiihaa minal-Aatsaar 2/50, dan ini adalah lafadh darinya.
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya
(2/289) secara marfu’ dari jalan
Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, akan tetapi sanadnya dla’if.
Al-Albani berkata : “Yang benar, mauquf pada
Mujaahid”. Kemudian ia berkata : “Dan apabila dikatakan bahwasannya ia tidaklah
berkata berdasarkan ra’yu-nya, maka
riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut dihukumi marfu’.
Itu dengan syarat jika riwayat tersebut selamat (dari cacat). Namun riwayat
tersebut adalah mursal, sehingga dla’if. Wallaahu a’lam”.
Silakan
periksa : Irwaaul-Ghaliil 4/329-332, Al-Maqaashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiir
minal-Ahaadiitsi Musytahirati ‘alal-Alsinah oleh As-Sakhaawiy hal. 375, dan
Kanzul-‘Ummal fii Sunanil-Aqwaal
wal-Af’aal oleh ‘Alauddin Al-Hindiy 12/224.
[32] Lihat Zaadul-Ma’aad
oleh Ibnul-Qayyim 4/393, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/255, Al-Maqaashidul-Hasanah
oleh As-Sakhaawiy hal. 357, dan Al-Jaamiul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah hal. 364-367.
[33] Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 267.
[34] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin
Muhammad Abu Bakr, yang dikenal dengan nama : Ibnul-‘Arabiy Al-Isybiliy
Al-Maalikiy; al-imam, al-‘allamah, al-haafidh, al-qaadli. Seorang ‘aalim,
faqiih, zuhud, dan ahli ibadah. Beliau mempunyai beberapa karya tulis, di
antaranya adalah kitab tafsir yang terkenal, ‘Aaridlatul-Ahwadziy fii Syarh Jaami’it-Tirmidziy, dan Al-Mahshuul fil-Ushuul. Wafat pada tahun
543 H.
Lihat
: Wifaayatl-A’yaan 4/296, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 20/197, Tadzkiratul-Huffadh 4/1294, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab 4/141.
[35] Lihat : Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubi, 9/370.
[36] I’laamus-Saajid
bi-Ahkaamil-Masaajid oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[37] Dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Hamiid
dalam kitab Hidaayatun-Naasik ilaa Ahammil-Manaasik,
hal. 51, dari Ibnu ‘Arafah.
[38] Yaitu pada musim haji.
[39] I’laamus-Saajid
oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[40] Dari keputusan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tahun 1406 H, khususnya zamzam;
didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul-Anbaa’
As-Su’uudiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang
zamzam, Tha’aamu Tu’m wa Syifaau Suqmin,
Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal. 109 dan setelahnya). Penulis menyebutkan beberapa
tabel untuk mengetahui kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap
semacamnya dari sumur-sumur yang ada di dekatnya.
[41] Lihat Majalah Al-‘Arabiyyah, edisi 127, hal. 98, bulan Sya’ban 1408 H.
[42] Lihat Akhbaaru
Makkah oleh Al-Azraqiy 2/59, I’laamus-Saajid
oleh Az-Zarkasyi hal. 206, dan Sufaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 2/256.
[43] Zaadul-Ma’aad
4/392.
[44] Inzi’uu
(انْزِعُوا) dengan meng-kasrah-kan zaa’, artinya : berikan minum dengan timba dan ambil terus dengan
menarik talinya. Dikatakan oleh An-Nawawi dalam penjelasannya atas Shahih Muslim 8/194.
[45] Maksudnya :
Jika bukan karena khawatiranku bahwa hal tersebut diyakini sebagai salah
satu bagian dari manasik haji oleh manusia dan akan berdesak-desakan menujunya,
dengan cara membuat kalian kepayahan dan menahan kalian untuk member minum, maka
aku akan turut memberi minum bersama kalian oleh sebab banyaknya keutamaan
member minum tersebut”. Dari kitab Syarhun-Nawawi
li-Shahiih Muslim 8/194.
[46] Bagian dari hadits panjang yang dikelaurkan
oleh Muslim 2/892, Kitaabul-Hajj, Baab
Hajjatin-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dikeluarkan juga oleh
Al-Bukhari secara ringkas dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma. Lihat Shahih Al-Bukhari
2/167.
[47] Shahih
Al-Bukahri 2/167 Kitaabul-Hajj, Maa
Jaa-a fii Zamzam; dan Shahih Muslim
3/1601 Kitaabul-Asyribah, Baab
fisy-Syurbi min Zamzama Qaaiman.
[48] Syarh
Shahih Muslim 13/195.
[49] ‘Umdatul-Qaariy
oleh Al-‘Ainiy, 9/278.
[50] Shahih
Al-Bukhari 2/167.
[51] Lihat kitab Adz-Dzikru wad-Du’aa wal-‘Allaaj bir-Ruqaa minal-Kitaabi was-Sunnati oleh
Sa’iid bin ‘Ali Al-Qahthaniy hal. 65.
[52] Sebagian ulama menyebutkan bahwa orang yang
berpuasa di Makkah dianjurkan berbuka puasa dengan air zamzam karena
keberkahannya. Lihat I’laamul-Masaajid oleh
Az-Zarkasyi hal. 216.
[53] Tadlallu’
adalah meminumnya dengan banyak hingga memenuhi lambungnya [Ani-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/97].
[54] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1017, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam, dan dalam hadits
tersebut terdapat satu kisah. Al-Bushairiy berkata : “Sanad hadits ini shahih,
para perawinya tsiqaat” [Mishbaahuz-Zujaajah, 3/34].
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya
2/288, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/472
Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq
dalam Al-Mushannaf 5/113.
*
Catatan : Hadits ini adalah dla’if. Lihat
Sunan Ibni Majah ‘alaa Hukmil-Albaniy
yang disusun oleh Masyhur Hasan Salmaan, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1.-
Abu Al-Jauzaa’.
[55] Lihat Fathul-Baariy
10/102.
[56] Silakan periksa : Shahih Al-Bukhari 6/253 Kitaabul-Asyribah,
Baab Syurbil-Barakah wal-Maail-Mubaarak.
[57] Dikeluarkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/228, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, Kitaabul-Manaasik, dan
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf
5/113.
[58] Telah lalu takhrij-nya (lihat : cacatan kaki no. 54).
[59] Siyaru
A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabiy 11/212 dan Al-Aadaabusy-Syar’iyyah wal-Manhul-Mar’iyyah oleh Ibnu Muflih
Al-Hanbaliy 3/110.
[60] Al-Hill
maknanya adalah halal, wabill artinya
mubah – diambil dari bahasa Humair [Syarus-Sunnah
oleh Al-Baghawiy 7/300]. Dikatakan juga artinya adalah asy-syifaa’ (obat), dari perkataan : balla man maridlahu wa aballa [An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir 1/154].
[61] Diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/114 dengan lafadh (وهي لشارب ومتوضء) “Dan ia (air zamzam) adalah untuk orang yang meminumnya dan
yang berwudlu dengannya”; dari Al-‘Abbas dan juga dari anaknya. Demikian pula
Al-Fakihiy dalam Akhbaaru Makkah 2/63
dan Al-Azraqiy dalam Akhbaaru Makkah
2/58.
[62] Al-Mughni
oleh Ibnu Qudamah 1/18 dan Al-Majmu’
Syarul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 1/91.
[63] Lihat Akhbaaru
Makkah oleh Al-Azraqiy 2/43. Ibnu Katsir me-rajih-kan riwayat tersebut berasal dari ‘Abdul-Muthallib, karena ia
merupakan orang yang memperbaharui penggalian sumur zamzam. Adapun Al-‘Abbas
dan anaknya, mereka berdua juga mengatakan hal tersebut pada masa mereka berdua
sebagai pemberitahuan dan informasi dengan apa yang disyaratkan oleh
‘Abdul-Muthallib saat menggali sumur zamzam tersebut. Wallaahu a’lam. Lihat Al-Bidaayah
wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 2/247.
[64] Telah datang satu riwayat yang dibawakan oleh
Al-Azraqiy bahwa sebab perkataan ini adalah bahwa Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu mendapatkan seorang
laki-laki yang sedang mandi di kolam zamzam dengan telanjang. Dan dalam riwayat
yang lain darinya disebutkan bahwa laki-laki tersebut mandi dengan air zamzam,
dan ketika itu Al-‘Abbas mendapatinya sehingga ia sangat marah akan hal itu.
Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy
2/58.
[65] Al-Majmu’
Syarhul-Muhadzdzab 1/91.
[66] Beliau adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad
bin Qudaamah Al-Maqdisiy, Ad-Dimasyqiy Ash-Shaalihiy Al-Hanbaliy Abu Muhammad
Muwaffaquddin. Al-imam, al-‘allamah, dan
al-mujtahid. Meskipun beliau adalah
lautan ilmu, namun beliau adalah pribadi yang wara’, zuhud, banyak
ibadah dan baik akhlaqnya. Mempunyai beberapa karya tulis yang banyak dan
bermanfaat diantaranya : Al-Mughni
fil-Fiqhi, Raudlatun-Naadhir fii
Ushuulil-Fiqh, Mas-alatul-‘Ulluw,
Dzammut-Ta’wiil, dan Fadlaailush-Shahaabah. Wafat pada tahun
620 H.
Lihat
Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 22/165, Al-Bidaayah wan-Nihaayah 13/99, Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah oleh
Ibnu Rajab 2/133, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab
5/88.
[67] Al-Mughni
1/18.
[68] As-Sajlu
: bejana yang penuh berisi air [An-Nihaayah
oleh Ibnul-Atsir 2/344].
[69] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/76. Az-Zarkasyi berkata
tentang air zamzam : “Telah shahih bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya”. I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi hal.
136. Asal hadits ini adalah dalam Shahih
Muslim dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu – telah lewat isyarat mengenai hadits ini – namun di dalamnya tidak
terdapat perkataan bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya.
* Catatan : Syu’aib Al-Arna’uth menyatakan
sanad riwayat tersebut adalah hasan.- Abu Al-Jauzaa’.
[70] Majmu’
Fataawaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah 12/600. Lihat juga Badaai’ul-Fawaaid oleh Ibnul-Qayyim
4/48.
[71] I’laamus-Saajid
bi-Ahkaamil-Masaajid hal. 136-137 dengan perubahan dan peringkasan. Lihat Badaai’ul-Fawaaid 4/47.
[72] Syifaaul-Gharaam
bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy 1/258 dengan sedikit perubahan.
[73] Idem,
1/258.
[74] Beliau adalah Muhammad bin Ishaaq bin
Al-‘Abbaas Al-Faakihiy Abu ‘Abdillah Al-Makkiy Al-Muarrikh, pengarang kitab Akhbaaru Makkah Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih.
Wafat pada tahun 272 H.
Lihat
Kasyfudh-Dhunuun 1/306, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/20, Al-A’laam 6/28, dan muqaddimah juz pertama dari kitab Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy dengan muhaqqiq : ‘Abdul-Malik bin ‘Abdillah bin Duhaisy.
[75] Akhbaaru
Makkah fii Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih oleh Al-Faakihiy 2/48.
[76] Lihat Syarhus-Sunnah
oleh Al-Baghawiy 7/300, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/258, dan Al-Jaami’ul-Lathiif
oleh Ibnu Dhahiirah hal. 277. Bahkan membawa air zamzam tersebut sangat disukai
(mustahab) di sisi ulama Malikiyyah
dan Syafi’iyyah. Lihat dua referensi terakhir.
[77] Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/295, Kitaabul-Hajj, dan ia berkata : “Hadits hasan gharib”; Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak 1/485 Kitaabul-Manaasik; dan Al-Faakihiy dalam
Akhbaaru Makkah 2/49.
[78] Majmu’atur-Rasaail
Al-Kubraa oleh Ibnu Taimiyyah 2/413. Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy 2/50.
[79] I’laamus-Saajid
hal. 137.
[80] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad Syamsuddin Abul-Khair As-Sakhaawiy Al-Mishriy Asy-Syaafi’iy; al-imam, al-haafidh, al-muarrikh (ahli
sejarah), dan al-adiib (sastrawan).
Beliau merupakan pendatang negeri Haramain, kemudian melakukan perjalanan ke
segala penjuru negeri dalam rangka menuntut ilmu. Menulis kitab dalam jumlah
yang sangat banyak, diantaranya : Fathul-Mughiits
bi-Syarhi Alfiyyatil-Hadiits, Adl-Dlau’ul-Laami’
li-Ahlil-Qarnit-Taasi’, Al-Qaulul-Badii’
fii Shalaati ‘alal-Habiibisy-Syafii’, dan An-Nukhbatul-Lathiifah fii Akhbaaril-Madiinah Asy-Syariifah. Wafat pada
tahun 902 H.
Lihat
Syadzdzaraatudz-Dzahab 8/16, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/219, dan Al-A’laam 6/194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar