Dalam kitab sirah Nabawiyyah terdapat kisah masuk Islamnya mantan gembong musyrikin Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu. Ternyata sebelum beliau memperoleh hidayah iman dan Islam Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pernah memohon kepada Allah ta’aala agar salah seorang dari dua gembong musyrikin kota Makkah memperoleh hidayah. Doanya diabadikan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ
بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu
’alaih wa sallam berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan sebab
kecintaan dua lelaki kepadaMu, yaitu dengan sebab ‘Amr bin Hisyam (Abu
Jahl) atau dengan sebab ‘Umar bin Khattab.” (Sunan At-Tirmidzi 12/141)
’Amr bin Hisyam atau Abu Jahal dan Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu keduanya merupakan pimpinan musyrikin Quraisy di Makkah. Saat kaum muslimin masih lemah dan berjumlah sedikit di Makkah kedua tokoh ini terkenal sering menganiaya para pengikut da’wah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Sebab mereka sangat fanatik membela agama nenek moyang Abdul Muthallib, yaitu agama menyembah berhala alias kemusyrikan. Dan keduanya sangat resah dan marah melihat kian hari kian banyak orang di Makkah yang meninggalkan kemusyrikan dan memeluk agama tauhid Al-Islam.
Menghadapi keadaan ini Nabi shollallahu ’alaih wa sallam malah mendoakan agar Allah ta’aala membalikkan hati salah seorang di antara mereka berdua. Dengan harapan jika salah satunya masuk Islam tentu mereka justru akan menjadi pembela dan pejuang Islam di baris terdepan. Mengingat bagaimana aktif dan semangatnya mereka membela kemusyrikan, alangkah baiknya seandainya semangat itu diarahkan untuk menguatkan barisan Islam. Maka Nabi-pun mengajukan permintaan itu kepada Allah ta’aala. Dan ternyata dikabulkan. Panah doa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam melesat dan menghunjam ke dada Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu. Dan selanjutnya kitapun tahu bahwa sejak keIslaman beliau ummat Islam untuk pertama kalinya berani menyatakan keIslaman mereka secara terbuka. Sebelum itu mereka senantiasa menyembunyikan keimanan dan keIslaman mereka. Subhanallah, alangkah besarnya jasa dan peranan Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu…!
Pelajaran penting yang bisa kita petik dari kejadian ini ialah bahwa ternyata Islam tidak melarang secara mutlak seorang muslim mendoakan kaum kafir non-muslim. Namun sudah tentu ada syaratnya. Syaratnya ada dua: pertama, hendaknya isi doa seorang muslim untuk orang kafir hanya berisi satu permohonan saja kepada Allah ta’aala. Yaitu permohonan agar si kafir mendapat hidayah iman dan Islam. Dan kedua, hendaknya seorang muslim mendoakan orang kafir hanya ketika mereka masih hidup. Jangan berfikir untuk mendoakan seorang manusia yang telah meninggal dalam kekafiran.
Bagi seorang yang kafir satu-satunya perkara yang ia perlukan ialah mendapat hidayah iman dan Islam. Sebab bila ia hidup tanpa iman dan Islam maka apapun yang ia lakukan di dunia menjadi sia-sia saja. Allah ta’aala tidak akan memberi penilaian apapun atas kebaikan apapun yang dilakukan seorang manusia jika ia melakukannya tanpa iman. Maka jika seorang muslim mendoakan teman kerjanya atau tetangganya atau saudaranya non-muslim hendaknya hanya satu yang ia doakan: agar si non-muslim memperoleh hidayah sehingga masuk Islam.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ
وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
”Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS Al-Kahfi ayat 103-105)
Adapun syarat kedua, doakanlah orang kafir selagi mereka masih hidup. Jangan terlambat mendoakan mereka ketika mereka telah mati dalam kekafiran. Sedangkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam saja dilarang Allah ta’aala mendoakan pamannya yang sangat ia cintai, Abu Thalib, agar memperoleh ampunan Allah ta’aala. Hal ini terjadi sesudah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berusaha mengajak Abu Thalib masuk Islam saat menghadapi sakaratul-maut.
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ
Ketika menjelang kematian Abu Thalib, datanglah Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dan didapati di samping Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda kepada Abu Thalib: “Pamanku, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah, suatu kalimat yang aku akan bersaksi di hadapan Allah ta’aala untuk melindungimu”. Maka Abu Jahal dan Abi Ummayyah berkata: “Hai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka dengan agama nenek-moyang kita Abdul Muthallib?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam terus mengajak Abu Thalib mengucapkan kalimat tauhid. Dan kedua orang itupun terus mengucapkan kalimat mereka. Sehingga akhir ucapan Abu Thalib adalah ucapan mereka bahwa ia tetap mengikuti agama Abdul Muthallib (menyembah berhala/agama kemusyrikan) dan ia enggan mengucapkan Laa ilaha illa Allah. Maka bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Demi Allah ta’aala, akan kumintakan ampunan Allah ta’aala atasmu selagi Allah ta’aala tidak melarangnya… lalu Allah ta’aala turunkan surah At-Taubah ayat 113.” (HR Bukhary 5/146)
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah ta’aala) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS At-Taubah ayat 113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar