Kaum Nasrani atau siapapun yang memperinti hari kelahiran seorang manusia tidaklah berdosa
Kaum Nasrani berdosa karena menjadikan "Isa putera Maryam" sebagai anak Tuhan
Peringatan Maulid Nabi adalah termasuk sebuah kebiasaan dan merupakan kebiasaan yang baik
Perkara kebiasaan maupun kebiasaan yang sering dilakukan atau tradisi atau adat istiadat berlaku kaidah ushul fiqih
“wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah”
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Peringatan
Maulid Nabi adalah perkara baru (bid’ah) yang tidak terkait dengan dosa
yakni perkara baru (bid’ah) yang tidak melanggar satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok. Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri.
Sedangkan peringatan
Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad
al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur'an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta'lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al
Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir,
ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-orang
yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja)
dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan
kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk
berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan
Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang
diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Janganlah karena kebiasaan maulid Nabi telah ditinggalkan oleh orang Arab yang merupakan pengikut ajaran ulama Muhammad bin Wahhab lalu kita mengharamkan atau melaranga peringatan Maulid Nabi karena mengharamkan (melarang) sesuatu yang tidak diharamkan (dilarang) oleh Allah Azza wa Jalla sama dengan menyekutukan Allah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para
rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu
menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi mereka yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya, telah bertasyabuh dengan kaum kafir yakni menjadikan ulama-ulama mereka “sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau sekte Wahabi lebih suka mengadakan “Pekan Memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” untuk memperingati dan mengenang ulama panutan atau teladan bagi mereka sebagaimana yang dapat kita ketahui dari http://kangaswad.wordpress.com/2011/02/28/antara-pekan-muhammad-bin-abdul-wahhab-dan-maulid-nabi/
Salah satu alasan perbedaannya sebagaimana yang disampaikan ulama Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah bahwa “Pekan Memorial Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimahullahu Ta’ala” tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza Wa Jalla“.
Dengan kata lain “Pekan Memorial Muhammad bin Abdil Wahhab” adalah perbuatan menjauhkan diri dari Allah Azza Wa Jalla”
Mereka dengan sengaja melakukan perbuatan menjauhkan diri dari Allah Azza Wa Jalla untuk menghindari bid’ah menurut pemahaman mereka seperti
Ibnu Taimiyyah mengatakan
“Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah
bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan
bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Maka, jika dalam hal
itu terdapat dalil syar’i, maka itu adalah disukai. Adapun apa-apa
yang tidak ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan,
baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti
syetan, dan jalannya adalah jalan syetan” (Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/40. Mawqi’ Al Islam)
Jadi menurut mereka, bid’ah adalah perbuatan yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan.
Padahal perbuatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah ta’ala adalah perbuatan mengikuti jalan syetan yakni perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menyalahi laranganNya atau perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Sedangkan kebiasaan peringatan Maulid Nabi adalah termasuk sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala sehingga dapat mencapai muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) yakni muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia
berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin
diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang
Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Muslim yang dekat dengan Allah ta’ala maka berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para Shiddiqin dan Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekirany