Senin, 01 September 2014

Anak-anak Abdul Mutholib

Abdul-Muththalib mempunyai sepuluh anak laki-Iaki:
  • Al-Harits, 
  • Az-Zubair, 
  • Abu Thalib, 
  • Hamzah, 
  • Abu Lahb, 
  • Al-Ghaidaq, 
  • Al-Muqawwim, 
  • Shaffar, 
  • Al- Abbas. 
  • Abdullah,  
Ada yang berpendapat, anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam. Ada pula yang berpendapat, anaknya ada tiga belas. Mereka yang berpendapat seperti ini menambahkan Abdul-Ka’bah dan Hajla. 
Ada yang berpendapat, Abdul-Ka'bah adalah Al-Muqawwim. dan Hajla adalah Al-Ghaidaq. Sementara itu, tak seorang di antara anak-anaknya yang bernama Qatsam. 
Sedangkan anak putrinya ada enam: 
  • Ummul-Hakim atau Al-Baidha', 
  • Barrah, 
  • Atikah, 
  • Shafiyyah, 
  • Arwa dan 
  • Umaimah. (Talqihu Fuhumi Ahlil-Atsar, hal. 8-9; Rahmah Lit- 'alamin, 2/56-66) 
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam berasal dari keluarga terhormat bani Hasyim dari orang tua yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibunya Aminah bintu Wahb dari Bani Zuhrah. Demikian juga sekilas kisah Abdul Mutholib dan perannya dalam msyarakat Quraisy, khususnya dalam perang gajah. Maka pada kesempatan ini dipaparkan sekilas tentang keluarganya yang memiliki hubungan langsung dengan kelahiran nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.


Anak-anak Abdul Muthalib
Abdul Muthalib seorang tokoh terkemuka Quraisy dari bani Hasyim memiliki beberapa putra dan putri, diantaranya:
  1. Al Haarits bin Abdul Muthalib, anak tertua beliau dan wafat dimasa hidup Abdul Muthalib. Dari anak-anak Al Harits yang masuk Islam adalah Ubaidah terbunuh di parang badar, Rabi’ah, Abu Sufyaan dan Abdullah.
  2. Az Zubair bin Abdul Muthalib, saudara kandung Abdullah (ayahanda Rasulullah), ia adalah penglima bani Hasyim dan bani Al Muthalib dalam perang Fijaar, seorang terhormat dan penyair, namun tidak menjumpai masa-masa Islam. Diantara anaknya yang masuk Islam adalah Abdullah terbunuh dalam perang Ajnadain, Dhuba’ah, Majl, Shafiyah dan ‘Atikah.
  3. Hamzah bin Abdul Muthalib, paman sekaligus saudara sesusuan Rasulullah yang masuk Islam dan menjadi pahlawan islam di perang Badar dan Uhud. Beliau terbunuh syahid di perang Uhud.
  4. Al Abaas bin Abdul Muthalib, yang masuk islam dan menjadi pembela Rasulullah dalam memperjuangkan Islam. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum perang gajah dan meninggal tahun 32 H dalam usia 86 tahun.
  5. Abu Lahab bin Abdul Muthalib, musuh besar dan penentang keras dakwah Rasululloh, sampai Allah turunkan firmanNya: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. (QS. 111:1-4) Ia mati setelah perang Badar. Diantara putra-putranya ‘Utaibah yang mati diterkam binatang buas, Utbah dan Mu’tib keduanya masuk islam pada hari penaklukan kota Makkah.
  6. Abu Thalib Abdul Manaf bin Abdul Muthalib, paman Nabi yang memelihara dan membela beliau dalam penyebaran dakwah Islam, namun tidak mau masuk islam lantaran takut dicela kaumnya.
  7. Al Baidha’ Ummu Hakiem bintu Abdul Muthalib, yang menikah dengan Kurz bin Rabi’ah bin Habieb bin Abdus Syams. Ia memiliki dua anak yang bernma Amir dan Arwa’, lalu Arwa ini menikah dengan Affaan bin Abu Al ‘Ash dan melahirkan Utsman bin Affan khalifah Rasyidin yang ketiga. Arwa’ ibunya Utsman bin Affaan ini hidup sampai masa kekhilafahan anaknya.
  8. Barrah binti Abdul Muthalib, ibu sahabat Abu Salamah bin Abdul Aswad Al Makhzumi
  9. Shafiyah bintu Abdul Muthalib, ibu sahabat Al Zubair bin Al Awaam, beliau menikah pertama kali dengan Al Haarits bin Harb, lalu ditinggal mati dan menikah lagi dengan Al ‘Awam dan melahirkan Al Zubair. Beliau masuk islam dan ikut berhijrah. Beliau wafat tahun 20 H di Madinah dan dimakamkan di Baqi’
  10. Arwa’, ibu dari keluarga Jahsy yang memiliki anak-anak diantaranya: Abdullah, Abu Ahmad, Ubaidillah, Zainab dan Hamnah.
  11. Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Demikianlah anak-anak Abdul Muthalib yang disebutkan para ulama sejarah islam.

Pernikahan Abdullah dan Aminah
Sudah menjadi ketetapan sejarah, bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib menikahi Aminah bintu Wahb wanita Bani Zuhrah. Bani Zuhrah masih termasuk kerabat bani Hasyim, bahkan Abdul Muthalib juga menikahi salah seorang wanita Bani Zuhrah yaitu Haalah bintu Wuhaib dan Wuhaib paman Aminah pun dipelihara di rumah Abdul Muthalib. Tidak ada penukilan sejarah peroncian pernikahan Abdullah ini yang dapat dijadikan sandaran sejarah, sedangkan riwayat yang menjelaskan perincian kisah pernikahannya semuanya lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran sama sekali.[1]

Abdullah Wafat
Abdullah sakit dan wafat serta dikuburkan di kota Madinah ditempat keluarga neneknya Bani Adi bin Najaar, ketika melakukan perjalanan pulang berdagang dikota Madinah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits mursal dari Imam Al Zuhri yang menyatakan:
?????? ????? ?????????? ?????? ????? ???? ?????? ???????????? ????????? ??????? ???? ?????????? ?????????? ?????? ????? ????? ?? ???????? ??????? ???????? ????? ?????? ???? ?????? ?????? ????????????
Abdul Muthalib mengutus Abdullah membeli kurma di Yatsrieb (Madinah), lalu ia meninggal disana, lalu Aminah melahirkan Rasulullah lalu beliau dipelihara Abdul Muthalib.
Riwayat diatas lemah dari sisi sanad periwayatan karena riwayat mursal Az Zuhri, namun ini sama dengan hadits yang diriwayatkan Qais bin Makhramah seorang sahabat Nabi ketika mengisahkan kelahiran Rasulullah dalam pernyataan beliau:
????????? ???????? ?? ??????? ??????? ????
Bapak beliau meninggal dunia dalam keadaan ibunya mengandung beliau (Rasulullah).[2]

Demikianlah pendapat ulama yang dirajihkan Ibnu Ishaaq dan Ibnu Sa’ad dan inilah yang masyhur. Dengan demikian hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya):

  وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. (QS. Ad Dhuha: 6)
Semoga bermanfaat.
TAFSIR SURAT ADH-DHUHA

Oleh
ustadz Abu Abdillah Arief Budiman Lc


وَالضُّحَىٰ﴿١﴾وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ﴿٢﴾مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ﴿٣﴾وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ﴿٤﴾وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ﴿٥﴾أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰوَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ﴿٧﴾وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ﴿٨﴾فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ﴿٩﴾وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ﴿١٠﴾وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik.
2. Dan demi malam apabila telah sunyi.
3. Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
4. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
5. Dan kelak pasti Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk?
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan?
9. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang!
10. Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya!
11. Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Tentang ayat yang keenam, al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan: “Kemudian Allah menyebutkan beberapa kenikmatan yang telah Ia karuniakan kepada hamba dan RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

(Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?).

Hal itu, karena ayah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, sedangkan ia masih berada di dalam rahim ibunya. Ada yang mengatakan, (ayahnya meninggal) setelah beliau dilahirkan. Kemudian, ibunya (yang bernama) Aminah bintu Wahb meninggal, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berusia enam tahun. Kemudian beliau diasuh kakeknya Abdul Muththalib, dan akhirnya meninggal pula pada saat usia beliau delapan tahun. Lalu diasuh pamannya. Maka, paman beliaulah yang benar-benar melindunginya, membelanya, meninggikan derajatnya, menghormatinya, dan terus menolong dan melindunginya dari gangguan kaumnya, sampai akhirnya Allah mengutus beliau sebagai seorang Rasulullah, dan usia beliau ketika itu sudah empat puluh tahun. Demikianlah, namun Abu Thalib tetap memeluk agama kaumnya, (berupa) penyembahan berhala. Semuanya itu terjadi dengan taqdir Allah dan bimbinganNya. Hingga akhirnya Abu Thalib pun meninggal beberapa saat sebelum beliau hijrah. Pada saat itu, orang-orang kuffar Quraisy mulai berani mengganggu dan menyakiti beliau. Maka Allah memerintahkan RasulNya agar berhijrah dan pindah menuju sebuah tempat kaum al Anshar dari kalangan al Aus dan Al Khajraj. Maka terjadilah sunnatullah (ketentuan Allah) ini dengan sangat baik dan sempurna. Tatkala beliau sampai kepada mereka, mereka menyambutnya, membelanya, melindunginya, dan (bahkan) merekapun berperang bersamanya. Semoga Allah meridhai mereka seluruhnya. Semuanya ini terjadi dengan penjagaan Allah terhadapnya dan bimbinganNya selalu kepadanya”. [16]

Pada ayat ketujuh Allah berfirman:

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ

(Dan (bukankah) Dia (pula yang) mendapatimu sebagai seorang yang bingung (tersesat), lalu Dia memberikan petunjuk?).

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (ayat ini) seperti firman Allah :

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

(Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa al Kitab (al Qur`an), dan tidak pula mengetahui apa iman itu? Tetapi Kami menjadikan al Qur`an itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. – asy Syura ayat 52).[17]

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata,”(Maksud ayat ini adalah), Allah mendapati dirimu (wahai Muhammad) dalam keadaan kamu tidak mengetahui apa itu al Qur`an dan apa itu iman, lalu Allah mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum kamu ketahui, dan Dia pula yang mendidik dan membimbingmu agar amal perbuatan dan akhlakmu semakin baik.”[18]

Pada ayat yang kedelapan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ

(Dan (bukankan) Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?).

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”(Maksudnya adalah), bukankah dahulu kamu (wahai Muhammad) fakir dan miskin? Lalu Allah membuatmu cukup dari apa-apa selain Allah? Sehingga Allah menggabungkan dua sifat (terpuji). (Yaitu) seorang fakir yang bersabar dan seorang kaya (berkecukupan) yang bersyukur.”[19]

Ada sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرْضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kekayaan bukanlah kekayaan harta, akan tetapi kaya itu adalah kekayaan (kecukupan) jiwa”.[20]

Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافاً، وَقَنَعَهُ الله ُبِمَا آتاَهُ

Sesunguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh beruntung orang yang berserah diri, lalu diberi rezki dengan cukup, dan Allah telah membuatnya berkecukupan (menerima) dengan apa-apa yang Ia berikan”.[21]

Adapun tiga ayat terakhir dalam surat yang mulia ini adalah:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ﴿٩﴾وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ﴿١٠﴾وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

[Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang! Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya! Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)].

Makna ketiga ayat di atas adalah :
Sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) seorang yatim yang tidak memiliki ayah, lalu Allah melindungimu dengan penjagaanNya, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang atau menzhalimi anak yatim. Jangan pula kamu merasa sempit dadamu dengan kehadirannya. Dan jangan pula kamu menghardik atau membentaknya. Bahkan sudah seharusnya kamu memuliakannya. Berilah sesuatu yang mudah untuk kamu berikan kepadanya. Dan bermu’amalahlah kepadanya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana kamu bermu’amalah dengan anak-anakmu.[22]

Dan sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) tersesat dan tidak memahami apapun, lalu Allah menunjukkanmu, maka janganlah kamu menghardik dan menolak dengan keras orang yang meminta-minta. Bahkan berilah sesuatu yang mudah untuk kamu berikan kepadanya. Atau jika tidak, maka tolaklah dengan baik, lemah-lembut, dan dengan akhlak yang baik. Hal ini, mencakup orang yang meminta harta ataupun ilmu. Oleh karenanya, seorang guru dituntut untuk berperangai mulia dan berakhlak baik terhadap anak didiknya. Ia dituntut untuk memuliakan dan mengasihi muridnya.

Dan sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) fakir dan membutuhkan pertolongan orang lain, lalu Allah pun mencukupkanmu, maka bersyukurlah kepadaNya dengan menyebut-nyebut kenikmatan-kenikmatan Rabb-mu yang mencakup kenikmatan di dunia maupun kenikmatan di akhirat, yang telah Ia karuniakan kepadamu jika terdapat padanya kemaslahatan. Dan jika tidak ada maslahatnya, maka hendaknya kamu sebutkan kenikmatan-kenikmatan Rabb-mu secara mutlak. Karena menyebut-nyebut kenikmatan-kenikmatan Allah akan mengundang rasa syukur seorang mu’min, dan membuahkan bertambahnya rasa cinta dalam hatinya kepada Rabb-nya yang telah memberinya kenikmatan tersebut. Karena hati seseorang terfitrahkan mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.[23]

Berikut ini beberapa hadits shahih atau hasan yang berkaitan dengan ke tiga ayat di atas.

1. Hadits Sahl bin Sa’ad as Sa’idi Radhiyallahu anhu, beliau berkata :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا))، وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّـبَّابَةِ وَالْوُسْطَى.

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Aku dan orang yang menanggung (mengasuh) anak yatim seperti ini di surga”, dan beliau mengisyaratkan dengan ke dua jarinya, jari telunjuk dan jari tengahnya.[24]

2. Hadits Abu ad Darda’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ قَلْبِهِ، قَالَ: ((أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ وَتُدْرِكَ حَاجَتَكَ؟ اِرْحَمْ الْيَتِيْمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ)).

Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan tentang kekerasan hatinya. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu ingin agar hatimu lunak (lembut) dan mendapatkan kebutuhanmu? Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, berilah ia makan dari makananmu, (maka) hatimu akan lunak (lembut) dan kamu akan mendapatkan kebutuhanmu”[25].

3. Hadits Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu anhu yang cukup panjang, tentang diharamkannya berbicara ketika seseorang sedang shalat. Beliau berkata tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan dan membimbingnya :

...مَا رَأَيْتُ مُعَلِّماً قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيْماً مِنْهُ، فَوَاللهِ مَا كَهَرَنِيْ وَلاَ ضَرَبَنِيْ وَلاَ شَتَمَنِيْ، قَالَ: ((إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ))...

…Aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelumnya maupun setelahnya yang lebih baik darinya. Demi Allah, ia tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. (Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: “Sesungguhnya shalat ini tidak baik, (jika) di dalamnya terdapat pembicaraan orang. Akan tetapi shalat itu adalah tasbih, takbir, dan bacaan al Qur`an”[26]…

4. Hadits Abu HurairahRadhiyallahu anhu, beliau berkata:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((لاَ يَشْكُرُ الله َمَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia”.[27]

5. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma , beliau berkata :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((مَنْ أُبْلِيَ بَلاَءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa yang diberi kenikmatan (pemberian), kemudian dia menyebutnya, sungguh ia telah bersyukur. Dan jika ia menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya”.[28]

6. Juga hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma (dengan sedikit perbedaan lafazh dengan hadits di atas), beliau berkata :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: ((مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ، فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ)).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang diberi sebuah pemberian lalu ia dapatkan (apa yang ia inginkan), maka hendaknya ia membalasnya (dengan kebaikan pula). Apabila ia tidak mendapatkannya, maka hendaknya ia memujinya. (Karena) barangsiapa yang memujinya, sungguh ia telah bersyukur. Dan (barangsiapa) yang menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya”.[29]

Demikian tafsir singkat surat adh Dhuha ini. Mudah-mudahan kita senantiasa diberi taufikNya untuk menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tauladan, baik dari sisi aqidah, ibadah dan akhlak beliau yang mulia. Dan mudah-mudahan pula menambah iman, ilmu dan amal shalih kita.
Wallahu a’lam bish Shawab.

Maraji’ & Mashadir :
1. Al Qur`an dan terjemahnya, Cet Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2.Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Jami’ at Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa at Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.
6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy Syaibani (164-241), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. Al Mustadrak ‘ala ash Shahihain, Muhammad bin Abdillah al Hakim an Naisaburi (321-405 H), tahqiq Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Dar al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, Th. 1411 H/1990 M.
8. Fathul Bari, Ibnu Hajar al Asqalani (773-852 H), tahqiq Muhibbuddin al Khatib, Daar al Ma’rifah, Beirut.
9. Tafsir ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari (224-310 H), tahqiq Mahmud Syakir, Daar Ihya at Turats, Beirut, Cet. I, Th. 1421 H/ 2001 M.
10. Tafsir al Qurthubi (al Jami’ li Ahkamil Qur`an), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Daar al Kitab al ‘Arabi, Cet. II, Th. 1421 H/1999 M.
11. Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al Qur`an al ‘Azhim), Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayyibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/2002 M.
12. Ad Durr al Mantsur, Aburrahman bin al Kamal Jalaluddin as Suyuthi (911H), Daar al Fikr, Beirut, th 1993 M.
13. Adhwa’ al Bayan, Muhammad al Amin Asy Syinqithi (1393H), tahqiq Maktab ad Durus wa ad Dirasat, Daar al Fikr, Beirut, Th. 1415 H/ 1995M.
14. Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Daar as Salam, Cet. I, Th. 1422 H/2001 M.
15. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, al Imam Majd ad Diin Abi as Sa’adat al Mubarak bin Muhammad al Jazari Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001M.
16. Shahih Sunan abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
17. Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
18. Shahih Sunan Ibnu Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
19. Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami.
20. As Silsilah ash Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
21. Shahih at Targhib wa at Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.
22. Ash shahih al Musnad min Asbaab an Nuzul, Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi al Wadi’i, Maktabah Shan’a al Atsariyah, Yaman, Cet. II, Th. 1425 H/2004 M.
23. Al Isti’aab Fi Bayan al Asbaab, Salim bin ‘Id al Hilali dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, Daar Ibn al Jauzi, KSA, Cet I, Th. 1425 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[16]. Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/426). Lihat pula Tafsir ath Thabari (30/281), al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/87), Adhwa’ al Bayan (8/571), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/1177).
[17]. Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/426).
[18]. Taisir al Karim ar Rahman (2/1177).
Al Imam al Qurthubi di dalam tafsirnya, al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/87-90) membawakan kurang lebih sekitar lima belas perkataan ulama ketika menafsirkan makna ayat yang ketujuh surat adh Dhuha ini. Di antaranya :

Pertama : Kamu (wahai Muhammad) lalai dan belum memahami apa yang dialami olehmu tentang perkara kenabian, kemudian Allah memberimu petunjuk.
Kedua : Kamu (wahai Muhammad) belum mengetahui al Qur`an dan syariat-syariat, kemudian Allah menunjukkanmu kepada al Qur`an dan syariat-syariat Islam.
Ketiga : Kamu (wahai Muhammad) tidak memahami hijrah, lalu Allah menunjukkanmu kepadanya.
Keempat : Kamu (wahai Muhammad) lupa terhadap perkataan “insya Allah” tatkala kamu ditanya tentang perkara ashhabul kahfi (para penghuni gua) dan tentang Dzulqarnain dan roh, kemudian Allah mengingatkanmu tentang semua itu.
Kelima : Kamu (wahai Muhammad) meminta petunjuk arah kiblat, lalu Allah menunjukkanmu kepadanya.
Dan masih banyak lagi penafsiran ayat ini, yang tidak perlu dibawakan di sini seluruhnya, karena semuanya tidak berdasarkan dalil yang shahih, atau bahkan tidak berdasarkan dalil sama sekali.
Pentahqiq kitab al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Abdurrazzaq al Mahdi berkata: “Seluruh perkataan ini tidak shahih, dan hal ini adalah salah satu bid’ah dalam menafsirkan (ayat al Qur’an)”. Lihat al Jami’ li Ahkam Al Qur’an (20/89). Kecuali apa yang telah ditafsirkan oleh al Hafizh Ibnu Katsir t di atas, karena beliau menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya dalam surat asy Syura ayat 52. Demikian halnya penafsiran asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah di atas. Wallahu a’lam.
[19]. Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/427).
[20]. HR al Bukhari (5/2368 no 6081), Muslim (2/726 no 1051), dan lain-lain.
[21]. HR Muslim (2/730 no 1054), dan lain-lain.
[22]. Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/427) dan Taisir al Karim ar Rahman (2/1178).
[23]. Lihat footnote sebelumnya.
[24]. HR al Bukhari (5/2237 no 5659), dan Muslim (4/2287 no 2983) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan lain-lain.
[25]. Lihat Shahih at Targhib wa at Tarhib (2/676 no 2544). Dan asy Syaikh al Albani rahimahullah menghasankan hadits ini.
[26]. HR Muslim (1/381 no 537), dan lain-lain.
[27]. HR Abu Dawud (4/255 no 4811), at Tirmidzi (4/339 no 1954), Ahmad (2/295 no 7926), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih at Tirmidzi, Shahih al Jami’ (6601 dan 7719), as Silsilah ash Shahihah (1/776), dan kitab-kitab beliau lainnya.
[28]. HR Abu Dawud (4/256 no 4814) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih al Jami’ (5933), as Silsilah ash Shahihah (2/182), dan kitab-kitab beliau lainnya.
Berkaitan dengan hadits ini, al Imam Ibnu al Atsir berkata di dalam kitabnya an Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/159) : “(Makna) Al iblaa’ (الإِبْلاَءُ) yaitu al in’aam (الإِنْعاَمُ) pemberian nikmat, dan al ihsaan (الإِحْسَانُ), perbuatan baik”.
[29]. HR Abu Dawud (4/255 no 4813) dan lain-lain. Dan hadits ini dihasankan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih al Jami’ (6056), dan kitab-kitab beliau lainnya.

ANAK-ANAK ABDUL MUTHTHALIB BIN HASYIM 
Ibnu Hisyam berkata, “Abdul Muththalib bin Hasyim mempunyai sepuluh anak laki-laki dan enam anak wanita. Kesepuluh anak laki-lakinya adalah Al-Abbas, Harnzah, Abdullah, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf, Az-Zubair, Al-l-larts, Hajl, Al-Muqawwim, Dhirar, dan Abu Lahab yang nama aslinya adalah Abdul Uzza. Sedang keenam anak wanitanya adalah Shafiyyah, Ummu Hakim Al-Baidhaf Atikah, Umaimah, Arwa, dan Barrah.
Ibu Al-Abbas dan Dhirar adalah Nutailah binti Janab bin Kulaib bin Malik bin Amr bin Amir bin Zaid bin Manat bin Amir bin Sa’ad bin Al-Khazraj bin’l`aim A1-Lata bin An-Namir bin Qasith bin I-Iinbun bin Afsha bin Jadilah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar. Ada yang mengatakan Afsha adalah anak Du’miyyu bin Jadilah.
Ibu Hamzah, Al-Muqawwim, Hajl -yang digelari dengan gelas Al-Ghaidaq karena kebaikannya yang banyak, dan hartanya yang melimpah-, dan Shafiyyah adalah Halah binti Wuhaib bin Abdu Manat bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.
Ibu Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, semua anak wanitanya selain Shafiyyah adalah Fathimah binti Amr bin Aidz bin Imran bin Makhzum bin Yaqadhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Ah-Nahdr.
Ibu Fathimah adalah Shakhrah binti Abdun bin Imran bin Makhzum bfn Yaqadhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghaiib bin Fihr bin Malik bm An-Nadhr.
Ibu Shakhrah adalah Takhmur binti Abd bin Qushai bin Kilab bin Muwah bm Kaab bin Luai bin Ghaub bin Fihr bm Malik bin An-Nadhr.
Ibu Al-Hatrs bin Abdul Muththalib adalah Samra’ binti Jundab bin _UJa1r bin Ri’ab bin Habib bin Suwa’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah bm Bakr bin Hawazin bin Mansur bin lkrimah.
Ibu Abu Lahab adalah Lubna binti Hajir bin Abdu Manaf bin Dhathir 111 Hubsyiyyah bin Salul bin Ka’ab bin Amr Al-Khuza’i.”

Ayah, Ibu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Serta Ibu-ibunya
Ibnu Hisyam berkata, “Abdullah bin Abdul Muththalib mempunyai anak, yaitu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, anak keturunan Adam yang terbaik, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Semoga shalawat Allah, salam-Nya, rahmat-Nya, dan keberkahan-Nya terlimpahkan kepada beliau, dan keluaganya.
Ibu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, adalah Aminah binti Wahb bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah.
Ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul Uzza bin Utsman bin Abduddaar bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr.
Ibu Barrah adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr.
Ibu Ummu Habib adalah Barrah binti Auf bin Ubaid bin Uwaij bin Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr.”
lbnu Hisyam berkata, “Jadi Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam,adalah anak keturunan Adam yang paling mulia keturunannya dan nasabnya dari jalur ayah dan ibunya. Semoga Allah memberikan shalawat-Nya kepa-danya, memuliakannya, dan mengagungkannya.” (sy42—Ibn Hisyam 1:84-85)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar