Duka Rasullulah belumlah habis setelah kepergian paman tercinta Abu
Thalib yang senantiasa melindunginya, duka berikutnya disusul oleh
kepergian istri tercinta menghadap Illahi. Wafatnya Khadijah Al-Kubra
radhiyallahu ' anha yang selalu mendampingi beliau dalam suka dan duka.
Khadijah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hisyam, adalah menteri kebenaran untuk Islam. Pada saat-saat Rasullullah Shallalahu Alaihi wa Sallam menghadapi masalah-masalah berat, beliaulah yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya. Sebagaimana halnya Abu Thalib, dia telah memberikan dukungan kepada Rasullulah Shallalahu Alaihi wa Sallam dalam mengadapi kaumnya.
Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu thalib meninggal dunia, Ummul-Mukminin Khadijah Al-Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari nubuwah, wafat pada usia enam puluh lima tahun, usia nabi saati itu lima puluh tahun.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau dikala resah, melindungi selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat kritis, menolong beliau menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau. Rasullulah bersabda tentang dirinya, “Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya.” Diriwayatkan Ahmad didalam Musnadnya.
Didalam Shahih Al-Bukhary, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dia berkata: “Jibril mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata. “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang didalamnya tidak ada suara hiruik pikuk dan keletihan.”
DUKA YANG BERTUMPUK-TUMPUK
Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau. Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk. Sehingga beliau hampir putus asa menghadapi mereka. Untuk itu beliau pergi ke Tha’if, dengan setitik harapan mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat seseorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.
Apa yang beliau alami di Makkah juga dialami para sahabat hingga sahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughunnah.
Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasullullah daripada saat dia masih hidup. Menurut Ibnu Hisyam, “sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran keatas kepala beliau sehingga beliau pulang kerumah dengan berlumuran tanah dan debu-debu memenuhi kepala. Lalu salah seorang putri beliau bangkit untuk membersihkan kepalanya sambil menangis. Beliau bersabda kepadanya, “Janganlah engkau menangis, wahai anakku. Sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.”
Karena penderitaan yang bertumpuk-tumpuk pada tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai “Amul-huzni” (tahun duka cita), sehingga julukan inipun terkenal dalam sejarah.
BEBERAPA ‘IBRAH
Perhatikanlah apa yang sebenarnya hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Khadijah r.a.? Padahal Rasulullah saw masih sangat memerlukan orang yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya, atau meringankan beban-beban penderitaannya ?
Sudah menjadi ketentuan Ilahi bahwa Rasulullah saw harus kehilangan orang yang secara lahiriah melindungi dan mendampinginya. Abu Thalib dan Khadijah. Ini antara lain untuk menampakkan dua hakekat penting.
Betapapun penghinaan dan penyiksaan yang dilancarkan manusia kepada mereka, tak akan pernah melemahkan semangat perjuangannya. Bukankah Rasulullah saw sendiri, sebagai kekasih Allah pernah dianiaya dan dilempari kotoran pada kepalanya sehingga terpaksa harus pulang ke rumah dengan kepala kotor? Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan dan penyiksaan yang pernah ditemui Rasulullah saw ketika berhijrah di Thaif.
Hal lain yang berkaitan dengan bagian Sirah Rasulullah saw ini ialah, munculnya anggapan dari sementara pihak bahwa Rasulullah saw menamakan tahun ini sebagai tahun duka cita semata-mata karena kehilangan pamannya, Abu Thalib dan istrinya, Khadija binti Khuwailid. Dengan dalih ini, mungkin mereka lalu mengadakan acara berkabung atas kematian seseorang selama beberapa hari dengan memasang bendera berkabung dan lain sebagainya.
Sebenarnya pemahaman dan penilaian ini keliru. Sebab Nabi saw tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istrinya. Rasulullah saw juga tidak menyebut tahun ini dengan tahun duka cita, semata-mata karena kehilangan sebagian keluarganya. Tetapi karena bayangan akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini..
Bahkan kesedihan karena keberpalingan manusia dari kebenaran yang dibawanya ini telah sedemikian rupa mempengaruhi dirinya, sehingga untuk mengurangi kesedihan ini Allah menurunkan beberapa ayat yang menghibur dan mengingatkannya, bahwa ia hanya dibebani tugas untuk menyampaikan, tidak perlu menyesali diri sedemikian rupa, jika mereka tidak mau beriman dan menyambut seruannya.
Perhatikan ayat-ayat berikut ini :
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita Rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga di langit lalu kamu daapt mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang jahil.“
QS al-An’am : 33-35
Dari buku Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfurry dan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar