Tujuh Kata Sila Pertama Piagam Jakarta dan Perjanjian Hudaibiyah
Makassar, (Antara) - Tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari yang sangat
bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut bangsa yang
baru sehari memproklamasikan kemerdekaanya ini telah memiliki konstitusi
guna mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penyusunan
konstitusi tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang dan rumit.
Latar belakang bangsa Indonesia yang terdiri atas bermacam suku, budaya,
dan agama telah memberikan corak tersendiri bagi lahirnya konstitusi
tersebut.
Dengan semangat kuat untuk segera menjadi bangsa yang
merdeka, semua perselisihan dapat diselesaikan dengan baik. Semangat
persatuan dan kesatuan mendapatkan posisi yang istimewa dalam menyikapi
setiap perbedaan yang ada.
Masalah yang muncul terakhir menjelang
disahkannya UUD 1945 adalah adanya rasa keberatan dari sebagian elemen
bangsa apabila dasar negara (Pancasila) yang tertuang di dalam Pembukaan
UUD 1945 menyebutkan "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya".
Sebagian umat Islam masih mempermasalahkan
hilangnya tujuh kata tersebut. Namun, sebagian besar umat Islam
Indonesia telah dapat memakluminya dan menerima Pancasila sebagai dasar
negara hingga dewasa ini.
Rumusan awal dari dasar negara yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sesuai dengan Piagam Jakarta
yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan. Secara keseluruhan sila-sila yang
terdapat dalam Piagam Jakarta adalah:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan Pancasila yang berlaku hingga dewasa ini,
perbedaannya terletak pada sila pertama. Sila pertama tersebut berubah
menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", tujuh kata setelah kata "Ketuhanan"
pada Piagam Jakarta dihapuskan.
Hapusnya tujuh kata tersebut
berawal dari adanya keberatan dari elemen bangsa yang berasal dari
kawasan timur Indonesia pada petang hari tanggal 17 Agustus 1945.
Keberatan tersebut disampaikan kepada PPKI. Esok harinya, menjelang
sidang PPKI, masalah tersebut dapat diselesaikan oleh lima orang anggota
PPKI, yakni: Drs. Moh. Hatta, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo,
Mr. Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan.
Para founding father
tersebut akhinya memutuskan untuk menghilangkan tujuh kata terakhir sila
pertama Piagam Jakarta dan menggantikannya dengan kata "Yang Maha Esa."
Dengan demikian, sila pertama dalam Pancasila menjadi "Ketuhanan Yang
Maha Esa".
Sebagian umat Islam masih menyayangkan hilangnya tujuh
kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut. Hal ini mereka anggap
sebagai ketidakberhasilan dalam mewarnai dasar negara dengan syariat
Islam. Moh. Hatta dan keempat anggota PPKI lainnya dianggap
bertanggungjawab terhadap hilangnya tujuh kata tersebut.
Perjanjian Hudaibiyah
Di masa Rasulullah SAW pernah ada kejadian yang mirip dengan hilangnya
tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut. Kejadian tersebut
adalah Perjanjian Hudaibiyah pada Maret 628M. Perjanjian ini berawal
dari keinginan kaum muslimin (Madinah) untuk menunaikan ibadah haji di
Baitullah, Ka'bah di Makkah.
Kaum Quraisy Makkah yang pada waktu
itu belum menganut agama Rasulullah SAW merasa keberatan dengan
keinginan kaum muslimin dari Madinah tersebut. Bahkan mereka menyangka
kaum muslimin akan melakukan penyerangan terhadap mereka.
Kedua
kelompok besar masyarakat ini akhirnya melakukan perundingan yang cukup
alot. Penduduk Makkah yang diwakili oleh Suhail bin Amr yang begitu
keras dalam mempertahankan pendapatnya. Bahkan sebelum perundingan,
Suhail bersama penduduk Makkah sudah berkeputusan agar Muhammad SAW dan
kaum muslimin kembali ke Madinah dan tidak menunaikan ibadah haji tahun
tersebut.
Di sisi yang lain, Rasulullah SAW dirasakan oleh kaum
muslimin begitu longgar dalam melakukan perundingan. Umar bin Khattab
pun geram dan kesal hingga sempat berkeluh kesah mengenai hal ini kepada
Abu Bakar.
Umar juga menyampaikan kegalauan hatinya tersebut
kepada Rasulullah SAW. Di akhir pembicaraannya dengan Umar, Rasulullah
SAW mengatakan: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan
melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya." Tidak ada
pilihan lain bagi Umar dan umat Islam lainnya kecuali mengikuti
keputusan Rasulullah SAW.
Pada saat menuangkan hasil perundingan
dalam naskah perjanjian, Umar dan kaum muslimin lainnya lebih dibuat
kesal lagi oleh Suhail bin Amr karena sikapnya yang ingin menang
sendiri. Dalam menulis perjanjian tersebut Rasulullah SAW memerintahkan
Ali bin Abi Thalib sebagai juru tulisnya. Rasulullah SAW pun
memerintahkan kepada Ali:
"Tulis Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).
Suhail pun menyela: "Stop! nama rahman dan rahim tidak saya kenal. Tetapi tulislah bismikallahumma (dengan nama-Mu ya Allah).
Kata Rasulullah selanjutnya pada Ali: "Tulislah bismikallahumma."
Rasulullah pun melanjutkan: Tulis: inilah yang sudah disetujui oleh
Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr."
Suhail pun segera
menyela: "Stop! Kalau saya sudah mengakui Anda sebagai rasulullah, tentu
saya tidak akan memerangimu. Tetapi, tulislah namamu dan nama
bapakmu."Kata Rasulullah SAW selanjutnya: "Tulis: inilah yang sudah
disetujui oleh Muhammad bin Abdullah."
Sikap Rasulullah SAW dalam
menghadapi para penentangnya yang diwakili oleh Suhail ternyata di luar
dugaan para sahabat. Beliau begitu longgar dan bahkan kelihatan
mengalah dalam perundingan dan penulisan perjanjian.
Sikap ini
beliau maksudkan untuk tetap menjaga perdamaian di antara kaum muslimin
dan masyarakat Arab yang belum menganut Islam. Beliau lebih
mengedepankan perdamaian daripada peperangan dan perpecahan walaupun
beliau bersama para sahabat mampu untuk melaksanakan peperangan.
Kendatipun seolah-olah Rasulullah SAW mengalami mengalami kekalahan
dalam perjanjian tersebut, tetapi hikmah dan manfaat besar diperoleh
umat Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah disepakati. Umat Islam tidak
lagi mendapatkan gangguan dari kafir Quraisy pada waktu itu.
Hal
ini merupakan kesempatan bagi Rasulullah dan para sahabat untuk
memperluas dakwah ke pelosok arab lainnya. Syiar Islam pun segera
tersebar luas setelah perjanjian itu.
Hikmah berikutnya, dengan
adanya perjanjian tersebut berarti kedudukan umat Islam di kalangan Arab
telah diakui eksistensinya. Kaum muslimin tidak lagi dianggap sebagai
pemberontak yang harus dilenyapkan.
Hal ini merupakan kemenangan
secara politik yang tidak diperkirakan sebelumnya oleh para sahabat
Rasulullah. Dengan perjanjian tersebut, kaum muslimin sudah
diperkenankan untuk menunaikan ibadah haji tanpa gangguan sedikitpun.
Dengan sedikit kesabaran, banyak hikmah dan kemenangan umat Islam di
balik Perjanjian Hudaibiyah.
Penutup
Kisah perundingan dan
perjanjian hudaibiyah di atas mirip yang dialami oleh PPKI tatkala
menerima keberatan dari elemen bangsa Indonesia yang dari kawasan timur.
Suhail bin Amr yang tidak mau menggunakan kata
"bismillahir-rahmanir-rahim" menunjukkan bahwa dia tidak mau kata yang
bernuansa Islam tersebut muncul dalam dokumen perjanjian.
Demikian juga dengan keberatan Suhail bin Amr terhadap kata
"rasulullah". Hal ini dapat dianalogkan dengan keberatan elemen bangsa
Indonesia yang tidak berasal dari umat Islam terhadap tujuh kata sila
pertama Piagam Jakarta.
Dengan adanya tujuh kata tersebut mereka
menganggap seolah-olah negara hanya memperhatikan sebagian elemen
bangsa, yakni umat Islam. Kata "syariat Islam" tertuang di dalam dasar
negara dan konstitusi yang berarti negara hanya memedulikan kehidupan
beragama bagi umat Islam saja.
Di sisi yang lain dapat
dibayangkan betapa beratnya kehidupan umat Islam Indonesia apabila tujuh
kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut tidak dihilangkan. Negara
memberlakukan hukuman kepada kaum muslimin yang melanggar syariat Islam.
Umat Islam yang tidak menunaikan shalat harus dihukum dan
dimasukkan dalam penjara. Umat Islam yang mencuri harus dipotong
tangannya. Umat Islam yang tidak berpuasa juga harus dimasukkan penjara.
Demikian juga dengan umat Islam yang kaya, tetapi tidak
mennunaikan zakat. Apabila hal ini diterapkan, bisa jadi penjara yang
ada tidak akan mampu menampung karena begitu banyaknya pelanggaran yang
dilakukan oleh umat Islam.
Contoh kecil dari hal ini, masih
banyak umat Islam yang tidak menunaikan shalat lima waktu secara tertib,
masih banyak umat Islam yang seharusnya berpuasa di bulan Ramadhan
tetapi mereka meninggalkannya, serta masih banyak orang Islam yang wajib
berzakat tetapi enggan untuk membayarnya.
Bagi umat Islam
kebanyakan, mungkin saja mereka merasa diperlakukan dengan tidak adil
(tidak sama) dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Pemeluk agama lain
yang tidak melaksanakan kegiatan ibadah pada hari yang ditentukan dan di
rumah ibadah yang ditentukan, tidak dapat dihukum dan dipenjarakan oleh
negara karena konstitusi/dasar negara memang tidak mewajibkannya.
Jujur harus diakui, umat Islam merupakan umat yang mayoritas di
Indonesia, tetapi yang taat menjalankan syariat Islam belum tentu
mencapai angka lima puluh persennya. Masih banyak umat Islam yang lemah
imannya.
Apabila mereka dikenakan kewajiban menjalankan syariat
Islam secara ketat oleh negara, bukan tidak mungkin mereka justru akan
ramai-ramai keluar dari Islam. Hal ini tentu akan sangat disayangkan
oleh kaum muslimin secara keseluruhan.
Apabila Perjanjian
Hudaibiyah telah mendatangkan hikmah yang besar bagi perjuangan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya, maka umat Islam Indonesia juga harus
dapat memetik hikmah di balik hilangnya tujuh kata sila pertama Piagam
Jakarta tersebut.
Hal ini merupakan tantangan bagi umat Islam
untuk mewujudkannya. Umat Islam harus bisa membuktikan berkembangnya
pelaksanaan syariat Islam di kalangan kaum muslimin walaupun tanpa peran
negara dan legalitas formal dalam konstitusi/dasar negara.
Umat
Islam harus bisa membuktikan bahwa Islam memang menjadi rahmatal-lil
alamin, rahmat bagi sekalian alam. Sekalian alam diartikan bukan hanya
umat Islam, tetapi juga umat beragama lainnya, bahkan sekalian makhluk
yang ada di muka bumi.
Semoga bangsa Indonesia yang sudah berusia
lebih dari setengah abad ini akan semakin bijak dalam menyikapi setiap
persoalan. Kehidupan berbangsa dan bernegara semoga juga semakin membawa
bangsa ini ke arah kesejahteraan dan keberkahan.
Umat Islam
yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini juga dapat mengayomi
penduduk yang lainnya. Demikian juga dengan penganut agama lainnya akan
semakin bersinergi menggalang kebersamaan guna mewujudkan masyarakat
adil, makmur, sejahtera, baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar