Malam nisfu Sya'ban adalah hari ke-15 bulan sya'ban. Pada
malam ini tradisi yang belaku, masyarakat berduyun-duyun ke masjid atau
mushalla untuk melakukan shalat sesudah shalat maghrib dilanjutkan dengan
membaca yasin sebanyak tiga kali yang dilakukan secara bersama-sama. Bacaan
surat yasin yang pertama diniatkan sebagai sarana untuk menperoleh panjangnya
umur dan diberi kemampuan beribadah selama umur yang diberikan. Kedua memohon
kepada Allah agar diberi rizki yang banyak halal dan barokah. Dan bacaan ketiga
diniati untuk memohon ketetapan iman hingga ajal datang.
Malam nisfu Sya'ban mempunyai banyak nama. Syaikh
Syihabuddin Al-Fasyani menyebutkan, diantaranya: Lailatul Baro'ah (malam
pembebasan), Lailatud Du'a (malam doa), Lailatul Qismah (malam pembagian
nasib), Lailatul Ijabah (malam yang dikabulkan), Lailatul Mubarokah (malam yang
diberkahi), Lailatus Syafa'ah (malam yang disyafaati), dan lailatul ghufron wal
itq minan niran (malam pengampunan dan kemerdekaan dari neraka. (Tuhfatul
Ikhwan fi Qiraah al-Miad fi Rajab, wa Sya'ban wa Ramadhan; 86-88)
Ada beberapa permasalahan seputar malam nisfu sya'ban ini.
Permasalah ini perlu diperjelas agar tidak terjadi kerancauan pemahaman di
kalangan masyarakat dan sebagai upaya memperkuat apa yang menjadi keyakinan
selama ini dari rongrongan orang-orang yang senang mengklaim kebenarannya
sendiri. Berikut adalah permaslahan seputar nishfu sya'ban
1. Istimewakah malam nisfu Sya'ban?
Malam nisfu Sya'ban adalah salah satu malam yang istimewa
dan penuh barokah. Keistimewaan malam nishfu Sya'ban dapat dibuktikan dengan
sabda Rasulullah SAW riwayat Ad-Daruquthni dan At-Thabrani:
طَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh
rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua
makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyachin (orang munafik yang menebar
kebencian antar sesama umat Islam)”. (HR. Thabrani dan Ad-Daruqutni)
Hadits ini shahih, dimana menurut penilaian Al-Haitsami
dalam Majma' al-Zawaid, para rawinya adalah orang-orang yang terpecaya
(tsiqah).
Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِي ذَلِكَ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Aisyah berkata “Pada suatu malam, saya kehilangan
Rasulullah. Setelah saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’ seraya
menengadahkan kepalanya ke langit, beliau berkata “Apakah kamu takut Allah dan
Rasulnya mengabaikanmu?”. Aisyah berkata “Saya tidak memiliki ketakutan itu, saya
mengira engkau mengunjungi sebagian di antara istri-istri engkau”. Nabi berkata
“Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam
Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu
kambing milik suku Kalb”. (HR Tirmudzi dan Ibnu Majah)
Hadits tersebut di atas merupakan sebuah hujjah untuk
membantah anggapan sebagian orang yang mengatakan bawa tidak ada dalil kuat
tentang keutamaan malam nishfu Sya'ban. (Tuhfatul Ahwadzi; II/277)
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menurut Imam As-Syafi'i, malam
nisfu sya'ban adalah malam yang mustajabah selain malam jumat, dua hari hara
dan awal bulan rajab. (Faidhul Qadir; VI/50)
Beliau juga mengatakan bahwa malam nisfu Sya'ban
diperlakukan khusus oleh para tabi'in dari penduduk Syam, seperti Khalid bin
Ma'dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lain. Di mala mini mereka berijtihad
dalam beribadah. Dari mereka inilah masyarakat muslim mengetahui keutamaan
malam nisfu sya'ban dan mengagungkannya.
Yasar bin Atho' –salah satu tabi'in-- berkata: "Tidak
ada malam yang lebih utama setelah lailatul qadar dari pada malam nisfu
Sya'ban. Ia adalah salah satu malam yang mustajabah". (Nuzhah al-Majalis;
II/158)
Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (الدخان: 3-4)
Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud Lailah Al Mubarakah
dalam ayat tersebut adalah malam nishfu sya’ban. Di malam itu Allah menentukan
semua urusan dalam peristiwa setahun, menghapus nama-nama orang dari daftar
calon orang meninggal dan mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan haji
tanpa ditambah atau dikurangi.
Utsman bin Mughirah meriwayatkan hadis, Rasulullah SAW
bersabda:
تُقْطَعُ اْلأَجَالُ مِنْ شَعْبَانَ إلَى شَعْبَانَ حَتَّى أَنَّ الرَّجُلَ لَيَنْكِحُ وَيُوْلَدُ لَهُ وَقَدْ خُرِجَ اسْمُهُ فِى الْمَوْتَى
“Ajal ditentukan dari satu Sya’ban ke bulan Sya’ban
berikutnya, hingga seseorang menikah, dikaruniai anak dan namanya dikeluarkan
dari orang-orang yang akan meninggal” (HR Ibnu Abi Dunya dan Al Dailami).
Qadli Abu Bakar bin Al Araby berkata – dan ini adalah
pendapat yang shahih-- bahwa para Ulama mengatakan bahwa malam tersebut adalah
Lailatul Qadar. (Tafsir al-Qurtúbi; XVI/85)
Dalam Hasyiah al-Jamal disebutkan bahwa pada malam nisfu
sya'ban dan lailatul qadar semua amal manusia diperlihatkan kepada Allah SWT.
Kalau senin sampai kamis adalah laporan mingguan, maka malam nisfu sya'ban dan
lailatul qadar merupakan laporan tahunan. (Hasyiah al-Jamal; VIII/323)
Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha' as-Shirat al-Muataqim
mengatakan bahwa malam nisfu sya'ban telah diriwayatkan keutamaannya dari
hadits-hasits marfu' dan atsar sahabat. Sebagian kaum salaf ada yang
mengkhususkan malam ini dengan shalat. Begitu pula dengan puasa di bulan
Sya'ban.
2. Menghidupkan Malam Nisfu Sya'ban
Karena malam nisfu Sya'ban adalah malam yang mubarokah dan
mustajabah, maka menghidupkannya dan melakukan qiyamullail di dalamnya
merupakan perbuatan yang sangat baik dan akan mendapatkan pahala yang besar.
Rasulullah SAW bersabda:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلَها وصوموا نهارها (رواه ابن ماجه)
"Jika datang malam nisfu Sya'ban, maka lakukanlah
qiamul lail dan berpuasalah di siang harinya". (HR. Ibnu Majah).
Pensyariatan untuk menghidupkan malam nisfu sya'ban juga
masuk dalam keumuman firman Allah:
قم الليل إلا قليلا نصفه أو انقص منه قليلا أو زد عليه ورتل القرآن ترتيلا
Qiyamul lail bagi Rasulullah adalah wajib. Sedang bagi umat
beliau, qiyamul lail adalah sunat, sebagaimana telah diterangkan oleh para
ulama.
Syaikh Muhyiddin Husain Al-Isnawi salah satu masyayikh
Al-Azhar mengatakan bahwa menghidupkan malam nisfu Sya'ban adalah perbuatan
yang disyariatkan. Dianjurkan pada malam itu untuk melakukan dzikir, doa,
istighfar, muhasabah, shalat hajat dan shalat tasbih. Beliau juga menjelaskan
bahwa ibadah-ibadah tersebut jelas mempunyai dalil-dalil syar'i dari al-Quran,
sunnah dan Ijma'. Walaupun dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang
umum dan kesunnahannya tidak terikat waktu, namun jika dilakukan pada malam
yang mubarokah akan mempunyai keutamaan lebih, karena telah menyatukan dua
keutamaan, yakni keutamaan amal-amal tersebut dan keutamaan malam nisfu sya'ban
itu sendiri.
3. Shalat Nisfu Sya'ban
Tidak ada dalil khusus mengenai shalat nishfu Sya'ban. Oleh
sebab itu jika shalat diniati shalat nisfu Sya'abn maka hukumnya haram. Namun
yang shalat nisfu Sya'ban yang dimaksud di sini adalah shalat sunat mutlak,
shalat hajat, shalat Tasbih atau shalat apapun yang telah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Shalat sunat mutlak di malam nisfu Sya'ban ini pernah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dari 'Ala' bin Harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah
bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama,
sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya
gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari
sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah,
apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak,
wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul
bersabda “Tahukah kamu malam apa sekarang ini?” Saya menjawab “Allah dan
Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “Ini adalah malam Nishfu Sya’ban,
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam
Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan,
mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan
memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR. Al-Baihaqi)
Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai shalat nisfu Sya'ban
ini. Beliau menjawab: "Jika seorang manusia melakukan shalat pada malam
nisfu Sya'ban, sendirian atau berjamaah, seperti yang pernah dilakukan
segolongan kaum salaf, maka itu adalah sesuatu yang baik". (Majmu' Fatawa
Ibnu Taimiyah: II/469)
4. Membaca Yasin Tiga Kali
Membaca al-Quran adalah sebaik-baik ibadah yang mampu
mendekatkan seseorang kepada Allah SWT. Diantara bacaan al-Quran yang mempunyai
keutamaan tersendiri adalah surat Yasin. Salah satu hadits yang menjelaskan
keutamaan surat Yasin adalah:
إن لكل شيء قلبا وقلب القرآن يس ، من قرأ يس كتب الله بقرائتها قراءة القرآن عشر مرات (رواه الترمذي)
"Sesungguhnya setiap sesuatu mempunyai hati, dan
hatinya al-Quran adalah surat Yasin. Barang siapa membaca surat Yasin, maka
Allah akan menulis pahala dengan bacaan tersebut sebanyak sepuluh kali bacaan
al-Quran". (HR. At-Tirmidzi)
Ada hadits yang berbunyi:
يس لما قرئت له
"Yasin disesuaikan dengan niat apa yasin
dibacakan".
Hadits ini tidak ada dasar, tetapi tidak ada yang mengatakan
bahwa hadits ini maudlu'. Saya meyakini bahwa boleh meriwayatkan hadis tersebut
dengan redaksi riwayat yang tidak tegas, seperti telah sampai pada kami
sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Syeikh Ismail Al Jabraty dari
Yaman.” (Talkhísh Fatáwá Ibnu Ziyád, 301)
Pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban, macam-macam
niatnya serta doa yang masyhur di dalamnya merupakan hasil ijtihad sebagian
ulama. Dikatakan ulama itu adalah Syaikh Al-Buni.
Menurut sebagian ulama, diantara tata cara membaca surat
yasin ialah dibaca pada malam nisfu Sya'ban sebanyak tiga kali, yang pertama
niat meminta panjang umur, kedua niat terhindar dari musibah dan ketiga niat
agar tidak bergantung kepada orang lain. (Fathul Malikul Majid; 19)
5. Doa Khusus Malam Nisfu Sya'ban
Berdoa adalah bagian dari ibadah, dan mempunyai kedudukan
yang tinggi di dalamnya. Berdoa di malam nishfu Sya'ban sangat dianjurkan dan
termasuk bagian dari upaya menghidupkannya. Menurut Imam Syafi'i berdoa di
dalamnya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Namun demikian, tidak ada doa khusus
pada malam nisfu Sya'ban yang warid dari Rasulullah SAW.
Sayidina Umar bin Khathab mempunyai doa khusus pada malam
nisfu Sya'ban ini. Begitu pula Abdullah bin Mas'ud. Doa yang diriwayatkan
At-Thabrani ini adalah:
اللهم إن كنت كتبت علي شقوة أو ذنبا فاحه فإنك تمحو ما تشاء وتثبت وعندك أم الكتاب فاجعله سعادة ومغفرة
Dalam Kanzun Najah Was Surur; 57, disebutkan bahwa para
ulama telah menyusun doa-doa yang sesuai dengan keadaan, khususnya pada malam
nisfu Sya'ban. Doa ini sangat masyhur di kalangan muslimin yang selalu dibaca
pada malam nisfu Sya'ban baik secara sendirian atau secara berjamaah di masjid
dan lain-lain. Doa tersebut adalah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. وَصَلّى اللهُ عَلَى سَيِّدنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. اَللَّهُمَّ يَا ذَا المَنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذّا الجَلاَلِ وَ الإِكْرَامِ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالإنْعَامِ لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ، ظَهْرُ اللاَّجِئِينَ وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ وَأَمَانُ الْخَائِفِينَ، اَللَّهُمَّ إنْ كَتَبْتنِي عِنْدَك فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِىْ الرِزْقِ فَامْحُ اَللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِيْ وَحِرْمَانِيْ وَطَرْدِيْ وَاقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَك فِي اُمِّ الكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّك قُلْتَ وَقَوْلُكَ الحَقُّ فِي كِتَابِكَ المُنَزَّلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ {يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ}. إِلَهِيْ بِالتَجَلِّى الأَعْظَمِ فِيْ لَيْلَةِ النِصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ المُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ، وَيُبْرَمُ أَنْ تَكْشِفَ عَنَّا مِنَ البَلاَءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لاَ نَعْلَمُ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الأَعَزُّ الأَكْرَمُ. وَصَلّى اللهُ عَلَى سَيِّدنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلىَ آلهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ.
Doa yang masyhur ini merupakan pengembangan dari doa khusus
Abdullah bin Mas'ud. Meskipun riwayat doa ini dla'if, tetapi layak untuk
diamalkan karena riwayat ini memperjelas riwayat lain yang shahih. Dan riwayat
ini adalah bagian dari fadhail a'mal. Allah berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya Dia maha mendengar doa".
Dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin syarh Ihya' (3/427) dijelaskan
bahwa para ulama khalaf mewarisi amalan dalam menghidupkan malam nisfu Sya'ban
dari ulama salaf, yaitu dengan melakukan shalat enam rakaat sesudah shalat
maghrib, dua rakaat salam. Setiap dua rakaat membaca surat yasin, lalu berdoa
dengan doa yang masyhur tersebut dilanjutkan dengan berdoa kepada Allah agar
diberi barokah dalam umur. Setelah doa rakaat berikutnya disambung membaca
yasin dan doa masyhur, berdoa kepada Allah agar diberi barokah rizki. Dua
rakaat terakhir disambung dengan yasin, doa masyhur lalu berdoa agar diberi
husnul khatimah. Menurut ulama amalan dengan tata cara ini akan akan memberikan
seseorang apa yang ia minta.
6. Puasa Nisfu Sya'ban
Seperti amalan-amalan lain dalam nishfu Sya'ban yang
diingkari oleh sebagian orang, puasa siang hari nisfu sya'ban juga demikian.
Rasulullah SAW bersabda:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلَها وصوموا نهارها (رواه ابن ماجه)
"Jika datang malam nisfu Sya'ban, maka lakukanlah
qiamul lail dan berpuasalah di siang harinya". (HR. Ibnu Majah).
Walaupun hadits ini dhaif, namun tentang puasa nisfu sya'ban
ini mempunyai dalil lain yang shahih baik secara khusus atau umum. Dalil yang
umum adalah kesunnahan puasa pada pertengahan setiap bulan, yaitu:
عن ابن عباس رضي الله عنهما: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفطر أيام البيش في حضر وسفر
"Dari Ibnu Abbas, Rasulullah tidak pernah tidak
berpuasan di dalam ayyamil bidh dalam keadaan hadir atau dalam perjalanan"
(HR. An-Nasa'i)
Ayyamul Bidh adalah tiga hari tanggal 13, 14, dan 15 setiap
bulan. Dan masih banyak hadits-hadits lain yang shahih.
Dalil khusus puasa nisfu Sya'ban ialah hadits riwayat Imam
Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada sebagian sahabatnya:
أصمت من سرر شعبان؟ قال: لا، قال: فإذا أفطر فصم يومين مكانه (رواه مسلم)
"Apakah kami berpuasa dari surur bukan sya'ban?"
Sahabat itu menjawab: "tidak". Rasulullah bersabda: "Kalau kamu
tidak berpuasa, maka berpuasalah dua hari di tempatnya". (HR. Muslim)
Yang dimaksud surur bulan Sya'ban ialah tengah-tengah bulan
sya'ban. Di tempat lain Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz "Surrah
Hadzas Syahr". Yang dimaksud surrah di sini adalah tengah-tengah.
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa puasa nisfu Sya'ban
tidak dilarang dan termasuk bagian dari puasa ayyamil bidh yang disunahkan.
Kemuliaan Bulan Sya’ban
Disebut Sya’ban karena berjalan darinya beberapa kebaikan
yang sangat banyak. Kata Sya’ban diambil dari kata Asy-Syibi yaitu jalan di
gunung. Jadi dia adalah jalan kebaikan.
Diriwayatkan dari Abi Umamah Al-Bahili ra. dia berkata,
“Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Apabila datang bulan Sya ‘ban maka
bersihkanlah dirimu dan perbaikilah niatmu di dalamnya”.
Aisyah ra., dia berkata, “Rasulullah Saw. telah berpuasa
sehingga kami mengatakan beliau tidak hendak berbuka (tidak berpuasa) dan
beliau selalu berbuka sehingga kami mengatakan beliau tidak berpuasa. Dan
kebanyakan puasanya adalah dalam bulan Sya’ban”.
Di dalam An-Nasa’i dari hadits Usamah ra. aku berkata, “Ya
Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam bulan Sya’ban”. Beliau
berkata,”Itu adalah bulan yang biasanya manusia lengah darinya antara bulan
Rajab dan Ramadlan. Dia adalah sebuah bulan yang didalamnya diangkat amal-amal
ini kepada Tuhan seru sekalian alam, maka aku suka kalau amalku diangkat
(dilaporkan) sedang aku dalam keadaan puasa?.”
Di dalam shahihain dari Aisyah ra., dia berkata, “Aku tidak
pernah melihat Rasulullah Saw. menyempurnakan puasa sebulan sama sekali kecuali
bulan Ramadhan, dan akupun tidak pernah melihatnya dalam sebulan yang lebih
banyak dan dia berpuasa daripada bulan Sya’ban”
Di dalam sebuah riwayat, “Beliau telah berpuasa bulan
Sya’ban seluruhnya”. Bagi Imam Muslim, “Beliau telah berpuasa bulan Sya’ban
kecuali sedikit”. Riwayat ini menjelaskan riwayat pertama. Jadi yang dimaksud
dengan seluruhnya adalah bagiannya yang terbesar.
Dikatakan bahwa sesungguhnya malaikat-malaikat di langit
memiliki dua buah hari raya, yaitu :
1. Malam bara’ah yaitu malam Nisfu Sya’ban;
2. Malam Lailatul Qadar
Beberapa nama lain dari malam Nisfu Sya’ban
1. Malam Tafsir (menutup)
As-Subki menuturkan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya malam
nisfu Sya’ban menutup dosa-dosamu setahun, sedang malam Jum’at menutup
dosa-dosa sehingga, dan malam laillatul qadar menutup dosa-dosa seumur hidup”.
Artinya menghidupkan malam-malam ini (dengan ibadah) menjadi sebab ditutup
(dihapus) dosanya.
2. Malam Kehidupan
Diriwayatkan Al-Mundziri dengan marfu, “Barang siapa yang
menghidupkan dua malam hari raya dan malam nisfu Sya’ban tidaklah akan mati
hatinya pada harinya hati-hati ini mati”,
3. Malam Syafa’at
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. minta
kepada Allah SWT pada malam ketiga belas akan syafa’at kepada umatnya lalu
Allah memberinya sepertiga, beliau minta itu kepada-Nya pada malam keempat
belas lalu Allah memberinya dua pertiga dan beliau minta itu pada malam kelima
belas lalu Allah memberiny a seluruhnya kecuali orang yang lari melepaskan diri
dari Allah seperti larinya unta. Yakni lari dan menjauh dari Allah dengan
melanggengkan perbuatan durhaka.
4. Malam Maghrifah
Diriwayatkan Imam Ahmad, sesungguhnya Muhammad Saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah nampak pada malam setengah Sya’ban kepada
hamba-hamba-Nya, lalu mengampuni kepada penghuni bumi kecuali dua orang
laki-laki, yaitu orang musyrik dan orang yang mendendam “.
5. Malam Kemerdekaan
Diriwayatkan Ibnu Ishaq, dia berkata, “Rasulullah Saw.
pernah mengutuskan ke rumah Aisyah ra. dalam sebuah keperluan. Berkatalah aku
pada Aisyah, “Cepatlah karena aku telah meninggalkan Rasulullah Saw., sedang
menceritakan pada mereka tentang malam nisfu Sya’ban”. Aisyah berkata, “Ya
Unais, duduklah sehingga aku menceritakan padamu tentang hadits malam nisfu
Sya’ban. Malam itu adalah malam bagianku dari Rasulullah Saw. Datanglah beliau
dan masuk bersamaku dalam selimutku. Aku terbangun pada tengah malam dan aku
tidak menemukannya lagi”. Berkatalah aku, “Mungkin beliau pergi kepada
perempuan mudanya Al-Qibthinya”. Maka keluarlah aku dan lewat di masjid lalu
kak iku menyentuhnya sedang beliau bersabda, “Telah sujud kepada-Mu tubuh dan
diriku dan berciuman kepada-Mu hatiku. Ini tanganku dan apa yang aku petik
dengannya atas diriku. Wahai Tuhan yang Maha Agung yang diharapkan untuk setiap
urusan-urusan besar, ampunilah dosa yang besar. Wajahku sujud kepada Tuhan yang
telah menciptakannya, membuat rupanya, membelah pendengaran dan
penglihatannya”. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bersabda, “Ya Allah,
berilah aku rizqi hati yang taqwa, bersih dari syirik, dan suci, tidak kafir
dan tidak pula celaka”. Kemudian kembali sujud lagi dan aku mendengarnya
bersabda, “Aku berlindung dengan ridla-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan
ampunan-Mu dari siksa- Mu dan dengan Engkau dari Engkau aku tidak dapat
menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau seperti Engkau memuji pada Dzat-Mu
sendiri”. Aku berkata sebagaimana yang dikatakan saudaraku Dawud, “Aku
membenamkan wajahku dalam debu untuk Tuan-Ku dan memang seharusnya dia
dibenamkan dalam debu untuk Dzat Tuannya”. Kemudian beliau mengangkat kepalanya
dan berkatalah aku, “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusan engkau, engkau dalam
sebuah lembah dan akupun dalam sebuah lembah yang lain”.
Bersabdalah beliau, “Ya Humaira’, bukanlah engkau mengetahui
bahwa sesungguhnya malam hari ini adalah malam nisfu Sya’ban Sesungguhnya Allah
SWT. memiliki orang-orang yang dimerdekakan dari neraka pada malam ini sebanyak
bilangan kambing suku Kalbin, kecuali enam golongan, yaitu :
Bukan peminum
arak;
Bukan orang yang
berani kepada kedua orang tua;
Bukan orang yang
melangsungkan zinah;
Bukan orang yang
memutus hubungan famili;
Bukan pengadu
domba; dan
Bukan mudharrib.
Dalam sebuah riwayat mushawwir (menggambar) sebagi ganti
mudharrib (mendorong permusuhan).
6. Malam Pembagian dan Penentuan
Diriwayatkan Atha bin Yasar, dia berkata, “Apabila datang
malam nisfu Sya’ban disalinlah bagi malaikat maut setiap orang yang akan mati
dari Sya’ban kepada Sya’ban berikutnya. Dan sesungguhnya seorang hamba
benar-benar sedang menanam tanaman, mengawini beberapa istri dan membangun bangunan,
padahal namanya telah disalin dalam deretan orang-orang mati. Dan tidaklah
malaikat maut menunggu kecuali untuk diperintahkan dengan hamba itu lalu dia
akan mencabutnya.
(Disadur dari Muhtashar Ihya Ulumuddin al-Imam al-Ghozali
Bab 55)
Keutamaan Puasa
Sya’ban
Keutamaan Puasa Bulan Sya’ban
Rasulullah Saw pernah
ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ: شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ، قِيلَ: فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ (وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ غَرِيبٌ)
“Puasa apakah
yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau menjawab: “Puasa Sya’ban, karena
mengagungkan Ramadhan.” Beliau ditanya: “Sedekah (di bulan) apakah yang paling
utama?” Beliau menjawab: “Sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. At-Tirmidzi, ia
berkata: “Ini hadits gharib.”)
Bahkan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Rasulullah Saw
pernah berpuasa sehingga kami katakan: “Beliau tidak akan berbuka. Dan pernah
tidak berpuasa sehingga kami katakan: “Beliau tidak akan berpuasa.” Saya tidak
pernah melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali
bulan Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau dalam suatu bulan lebih banyak
berpuasa dari pada bulan Sya’ban. (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa`i,
at-Tirmidzi, dan selainnya)
Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata pula:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ[1]
Saya tidak pernah
melihat Nabi Saw (melewati) suatu bulan yang puasanya lebih banyak dari pada bulan
Sya’ban. Beliau memuasainya, kecuali sedikit, bahkan beliau memuasai semuanya.”
Dalam riwayat Abu Dawud ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
berkata:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
Bulan yang paling
menyenangkan Rasulullah Saw untuk beliau puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian
beliau menyambungnya dengan (puasa) bulan Ramadhan.
Dalam riwayat an-Nasa`i ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
berkata:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ لِشَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ أَوْ عَامَّتَهُ
Rasulullah Saw tidak pernah puasa untuk suatu bulan yang
lebih banyak dari pada Sya’ban. Beliau memuasainya, atau sebagian besarnya.
Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَ إِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
Nabi Saw tidak
pernah berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban.
Maka sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya. Beliau bersabda:
“Lakukanlah amal sekuat kalian. Sebab,
sungguh Allah tidak akan bosan[2] sehingga kalian bosan.” Shalat yang paling
menyenangkan Nabi Saw adalah shalat yang dilakukan secara kontinyu, meskipun
sedikit. Dan bila beliau melaksanakan shalat, maka beliau melaksanakannya
secara kontinyu.”
Kebenaran Pendapat Tentang Puasa Sya’ban
Dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
لَمْ يكن النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Nabi Saw tidak
pernah berpuasa dalam suatu bulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban.
Maka sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya. (HR. Al-Bukhari)
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Sayyidah ‘Aisyah
-radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
كَانَ يَصُومُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ. كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
Nabi Saw pernah
berpuasa sehingga kami katakan: “Sungguh beliau berpuasa.” Dan beliau pernah
tidak berpuasa sehingga kami katakan: “Sungguh beliau tidak berpuasa.” Saya
tidak melihatnya berpuasa pada suatu bulan sama sekali yang lebih banyak
puasanya daripada bulan Sya’ban. Beliau memuasai bulan Sya’ban, semuanya,
kecuali sedikit.
Dalam riwayat an-Nasa`i dan at-Tirmidzi disebutkan:
كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ
Beliau memuasai bulan Sya’ban, kecuali sedikit, bahkan beliau
pernah memuasai semuanya.
Syaikh Mula Ali al-Qari menjelaskan:
Ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Nabi Saw
memuasai seluruh bulan Sya’ban”, bermakna bahwa sungguh hari bulan Sya’ban yang
tidak beliau puasai sangatlah sedikit, sehingga beliau disangka memuasai
semuanya. Maka kata بَلْ
menunjukkan makna peningkatan (dari memuasainya kecuali sedikit pada memuasai
semuanya). Bila demikian, maka hadits tersebut tidak menafikan ucapan Sayyidah
‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berupa: “Kecuali sedikit.” Tidak pula menafikan hadits yang menyatakan:
“Sungguh beliau Saw tidak pernah puasa satu bulan penuh sejak datang di Madinah
kecuali Ramadhan.” Kata كُلَّهُ(semua
bulan sya’ban) di sini mungkin pula dipahami secara hakikatnya. Yakni peristiwa
ini (baca: Nabi Saw memuasai seluruh bulan Sya’ban) terjadi sebelum beliau tiba
di Madinah. Dengan pemaknaan semacam ini, maka kata بَلْ menunjukkan makna idhrab[3] dari ucapan
Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” Hikmah redaksi idhrab
tersebut adalah terkadang kata sedikit dalam ucapan Sayyidah ‘Aisyah
-radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” diasumsikan pada makna sepertiga
bulan, lalu dengan kata: “Semua bulan
Sya’ban.” beliau memperjelas bahwa yang
dimaksud sedikit adalah sangat sedikit, sehingga Nabi Saw diasumsikan berpuasa
penuh selama satu bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim disebutkan,
dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
وَمَا رَأَيْتُهُ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw menyempurnakan
puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali bulan Ramadhan. Saya tidak pernah
melihat beliau dalam suatu bulan lebih banyak berpuasa dari pada bulan
Sya’ban.”
Dalam riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang
lain disebutkan:
لَمْ يَكُنْ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ كُلَّهُ
“Nabi Saw tidak
pernah berpuasa dalam sebulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka
sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya.”
Dalam riwayat lain dari Abu Dawud disebutkan:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling menyenangkan Rasulullah Saw untuk beliau
puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambungnya dengan (puasa) bulan
Ramadhan.”
Dalam riwayat an-Nasa`i disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ أَوْ عَامَّةَ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban atau sebagian besar
bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat an-Nasa`i yang lain disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya.”
Makna lahiriyah hadits-hadits tersebut menunjukkan, bahwa
puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan
mulia lainnya. Namun kesimpulan ini dimusykilkan dengan hadits marfu’ riwayat
Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra:
أفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ: شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa
bulan Allah Muharram.”
Meski begitu, kemusykilan tersebut dapat dijawab dengan
beberapa alternatif jawaban:
Pertama, mungkin saja beliau Saw belum mengetahui keutamaan
puasa bulan Muharram kecuali di akhir hidupnya sebelum sempat melaksanakannya.
Atau beliau Saw mempunyai udzur, baik berupa bepergian atau sakit yang
mencegahnya untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, seperti pendapat Imam
an-Nawawi.
Mirak[4] berpendapat:“Kedua kemungkinan tersebut sama-sama
mempunyai kelemahan.” Begitu kata Mirak.
Kedua, dijawab dengan hadits riwayat ath-Thabarani, dari
Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ، فَرُبَّمَا أَخَّرَ ذَلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُومُ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw pernah berpuasa tiga hari setiap bulan. Lalu
terkadang beliau menundanya sehingga sampai terkumpul puasa setahun baginya.
Terkadang (pula) puasa itu beliau tunda sampai beliau puasai di bulan Sya’ban.”
Ketiga, beliau mengkhususkan bulan Sya’ban dengan berpuasa
karena mengagungkan bulan Ramadhan. Maka hal ini seperti halnya mendahulukan
shalat sunah rawatib sebelum shalat fardhu. Kesimpulan ini diperkuat dengan
hadits gharib riwayat penyusun (at-Tirmidzi), meskipun dalam sanadnya terdapat
Shadaqah yang menurut para pakar hadits bukanlah termasuk perawi hadits yang
kuat. Rasulullah Saw pernah ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ: شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ
“Puasa apakah yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau
menjawab: “Puasa Sya’ban, karena mengagungkan Ramadhan.”
Keempat, puasa Sya’ban seolah merupakan pelatihan bagi puasa
Ramadhan, dan larangan puasa di paruh kedua bulan Sya’ban diarahkan bagi orang
yang tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya dan ia tidak mempunyai
kebiasaan berpuasa, qadha’ atau nadzar puasa, serta puasa Sya’ban membuatnya
lemah atau malas melaksanakan puasa, sehingga ia berpuasa Ramadhan tanpa
gairah.
Kelima, kemusykilan di atas dapat terjawab dengan hadits
shahih sesuai riwayat an-Nasa`i dan Abu Dawud, serta disahihkan oleh Ibnu
Huzaiah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Saya tidak melihat anda
berpuasa pada suatu bulan dari beberapa bulan seperti hanya puasa anda di bulan
Sya’ban.” Beliau bersabda: “Sya’ban adalah bulan yang dilupakan orang-orang di
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan
kepada Tuhan semesta Alam, dan aku senang amalku dilaporkan dalam kondisi
diriku berpuasa.”
Begitu pula bisa dijawab dengan hadits seperti itu,
sebagaimana hadits Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang diriwayatkan oleh
Abu Ya’la, di sana Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ يَكْتُبُ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيْتَةٍ تِلْكَ السُّنَّةِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِي أَجَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Sungguh dalam bulan Sya’ban Allah telah memutuskan kematian
bagi setiap manusia, maka aku senang ajalku tiba di saat aku dalam kondisi
berpuasa.”
Dalam dua hadits terakhir terdapat isyarat bahwa dahulu para
sahabat -radhiyallahu ‘anhum-
memperbanyak puasa di bulan Rajab karena termasuk bulan-bulan mulia.
Kemudian dengan puasa beliau Saw di bulan Sya’ban, Rasulullah Saw mengingatkan
mereka agar tidak melupakan puasa bulan Sya’ban, serta menambah keterangan
bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan kepada Allah dan ajal
mereka ditentukan.
Kesimpulan ini dikuatkan hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu
‘anha-, ia berkata:
أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِي شَعْبَانَ،قَالَ: أَنَّ هَذَا الشَّهْرَ يُكْتَبُ فِيهِ لِمَلَكِ الْمَوْتِ أَسْمَاءٌ مَنْ يُقْبَضُ فَأَحَبُّ أَنْ لَا يُنْسَخَ اسْمِي إِلَّا وَأَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah! Saya melihat puasa terbanyak anda di
bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Dalam bulan ini sungguh dituliskan nama-nama
orang yang akan dicabut nyawanya, maka aku senang agar namaku tidak dihapus
(dicabut nyawanya) melainkan diriku dalam kondisi berpuasa.”
Mungkin inilah hikmah pengistimewaan bulan Sya’ban yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw, beliau bersabda:
رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي(عَلَى مَا رَوَاهُ الدَّيْلَمِيُّ وَغَيْرُهُ عَنْ أَنَسٍ)
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulan
umatku.” Sesuai riwayat ad-Dailami dan selainnya dari Anas Ra.
Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani)
berkata:
“Hadits ini disebutkan oleh as-Suyuthi berupa hadits mursal,
ia berkata: “Abu al-Fath bin Abi al-Fawaris meriwayatkannya dari al-Hasan
berupa hadits mursal, dan hadits itu hadits dha’if.”
Al-Munawi berkata:
Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi dalam Syarh at-Tirmidzi berkata:
“Hadits tersebut sangat lemah dan termasuk hadits-hadits
mursal al-Hasan. Kami meriwayatkannya dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib karya
al-Ashfihani. Sedangkan hadits-hadits mursal al-Hasan tidak berharga (tidak
bisa dijadikan hujjah) menurut para ahli hadits, dan tidak ada hadits shahih
tentang keutamaan bulan Rajab.” Demikian kata al-’Iraqi. Ungkapan penyusun
(as-Suyuthi) seperti menegaskan bahwa ia tidak melihatnya sebagai hadits yang
berstatus musnad. Jika tidak demikian, niscaya ia tidak berpindah pada riwayat
yang memursalkannya. Ini sungguh mengherankan. Sebab, dalam Musnad al-Firdaus
al-Dailami telah meriwayatkannya dari tiga sanad, begitu pula Ibn Nashr dan
selain mereka berdua, dari hadits Anas Ra dengan redaksi yang persis.”[5]
Terkait sabda Nabi Saw:
شَعْبَانُ شَهْرِي، وَرَمَضَانُ شَهْرُ وَشَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
“Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan Allah.
Sya’ban adalah bulan yang menyucikan dan Ramadhan adalah bulan yang melebur
(dosa).”
Dalam kitab Kasyf al-Khafa` al-’Ajjaluni mengatakan:
Ad-Dailami meriwayatkannya dari ‘Aisyah dengan status
marfu’. Ibn Ghars berkata: “Guruku Hijazi berpendapat: “Hadits itu adalah
hadits dha’if.”[6]
Sabda Rasulullah Saw: “Sya’ban adalah bulanku.” maksudnya
adalah saya (Rasulullah Saw) mengisinya dengan ibadah.
Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:
Mungkin saja penyandaran bulan Sya’ban kepada Rasulullah Saw
karena di dalamnya diturunkan ayat tentang perintah mendoakan rahmah ta’dhim
(shalawat) dan keselamatan bagi beliau Saw.
[1]HR. At-Tirmidzi. (Penerjemah).
[2]Menurut para ulama, Allah tidak mungkin bersifat bosan.
Oleh sebab itu, hadits ini perlu dita`wil. Dalam hal ini ulama muhaqqiqin
memaknai hadits tersebut dengan makna;
لَا يُعَامِلُكُمْ مُعَامَلَةَ الْمَلَلِ فَيَقْطَعُ عَنْكُمْ ثَوَابَهُ وَفَضْلَهُ وَرَحْمَتَهُ حَتَّى تَقْطَعُوا أَعْمَالَكُمْ
Allah tidak membuat kalian melakukan suatu amal dengan
bermalas-malasan, lalu pahala, fadhilah dan rahmatNya terputus dari kalian,
sehingga kalian sendiri yang memutus amal kalian.
Lihat, Badruddin al-’Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih
al-Bukhari, Juz XVII, h. 57.(Penerjemah).
[3]Idrab adalah berpaling dari (menghilangkan) pembahasan
yang terletak sebelum kata بَلْ
sehingga seolah pembahasan itu tidak dihiraukan, dan berpindah pada pembahasan
yang terletak setelahnya. Lihat, Lajnah Ta’lif Gerbang Lama, Kamus Istilah
Nahwu, Gerbang Andalus, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama: 2010), h. 99.
(Penerjemah).
[4]Muhammad ath-Thasyakandi, terkenal dengan sebutan Marik
an-Naqsyabandi, penulis Nawadir al-Amtsal dengan bahasa Turki yang
diselesaikannya pada tahun 1021 H. Lihat, Isma’il Basya al-Baghdadi, Idhah
al-Maknun pada Kasyf azh-Zhunun, (ttp.: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992
M), Juz IV, h. 680. (Penerjemah).
[5]Jam’ al-Wasa`il fi Syarh asy-Syama`il, karya Syaikh Ali
bin Sulthan Muhammad al-Qari II/121-122.
[6]Kasyf al-Khafa` wa Mazil al-Ilbas karya al-’Ajjaluni, Juz
II, h. 9. Dalam Syarh at-Tirmidzi Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi berkata: “Hadits
tersebut adalah hadits yang sangat lemah.”
(Demikian juga dalam Faidh al-Qadir, Juz IV, h. 18. Saya
(Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:“Pendapat al-Iraqi
inilah yang benar. Sedangkan penuturan hadits tersebut yang dilakukan Ibn
Qayyim al-Jauzi (dalam kitab al-Maudhu’at), termasuk kategori hadits-hadits
palsu) bukanlah pendapat yang benar.”
← Peristiwa-peristiwa Di Bulan Sya’ban
Diposkan oleh Prabu Agung Alfayed di 13.01
Peristiwa-peristiwa Di Bulan Sya’ban
Di bulan Sya’ban telah terjadi peristiwa dan momen-momen
yang selayaknya diperhatikan, direnungkan, dan diperingati dengan berbagai
perkumpulan, forum-forum, dan acara peringatan. Sebagian peristiwa tersebut
akan kami sebutkan berikut ini.
Pemindahan Kiblat
Di bulan Sya’ban terjadi peristiwa pemindahan kiblat dari
Baitul Muqaddas ke Ka’bah. Rasulullah Saw sangat menantikan peristiwa ini.
Setiap hari beliau memandang dan menengadahkan wajah ke langit menanti wahyu,
sampai Allah Swt mewujudkan harapannya, memberikan impiannya, dan meluluskan
permintaannya dengan anugerah yang membuat beliau senang. Pada saat itu
turunlah Firman Allah Swt:
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ}[البقرة:144]
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
Maka niscaya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram, Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ayat tersebut merupakan realisasi Firman Allah Swt:
{وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}[الضحى: 5]
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu,
lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS.
Adh-Dhuha: 5)
Dalam ayat tersebut terbukti kebenaran ucapan Sayyidah
‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
مَا أَرَى رَبَّكَ إِلَّا يُسَارِعُ فِي هَوَاكَ
“Tidaklah aku lihat Tuhan anda melainkan bersegera (memberi)
keinginan anda.”[1]
Abu Hatim al-Basati berkata:
“Orang Islam shalat menghadap Baitul Muqaddas selama 17
bulan 3 hari persis. Hal ini bisa diketahui dengan kedatangan Nabi Saw di
Madinah adalah hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal, sedangkan Allah ‘Azza
wa Jalla memerintahkan beliau untuk shalat menghadap ka’bah hari selasa pada
saat Nisfu Sya’ban.”
Pelaporan Amal
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban yang telah maklum
adalah pelaporan amal di dalamnya. Pelaporan amal ini merupakan pelaporan yang
besar dan luas. Keterangannya telah ada dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid
-radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata:
. . . . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ. قَالَ: ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (قَالَ الْمُنْذِرِيُّ: رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
. . . .“Saya berkata:
“Wahai Rasulullah! Saya tidak melihat anda berpuasa pada suatu bulan dari
beberapa bulan seperti hanya puasa anda di bulan Sya’ban. Beliau bersabda:
Sya’ban adalah bulan yang dilupakan orang-orang di antara bulan Rajab dan
Ramadhan. Ia adalah bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan kepada Tuhan
semesta Alam, dan aku senang amalku dilaporkan dalam kondidi diriku berpuasa.”
(Al-Mundziri berkata: “An-Nasai meriwayatkan hadits tersebut.”)[2] Saya
katakan: “ Dan Imam Ahmad meriwayatkannya dalam kitab Musnadnya.”[3]
Pelaporan amal ini tidak khusus terjadi di bulan Sya’ban
saja. Telah diriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan banyaknya pelaporan
amal pada waktu yang berbeda-beda, dan tidak ada pertentangan di dalamnya.
Sebab, setiap masing-masing pelaporan amal memiliki hukum yang berkaitan
dengannya.
Pengangkatan Amal di Siang dan Malam Hari
Dalam Shahih Muslim terdapat hadits riwayat Abu Musa
-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ، يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ، يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ، حِجَابُهُ النُّورُ، لَوْ كَشَفَهُ لأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Rasulullah Saw berdiri di antara kami dengan lima kata,
lalu beliau bersabda: “Sungguh Allah Ta’ala mustahil tidur dan tidak semestinya
Ia tidur, menurunkan dan mengangkat timbangan amal. Amal malam dilaporkan
kepadanya sebelum amal siang, dan amal siang dilaporkan sebelum amal malam,
tabirnya berupa nur. Andaikan ia buka tabir itu, niscaya nur keagungan dzatNya
membakar makhlukNya dalam jarak sejauh jangkauan pandanganNya.”[4]
Al-’Allamah al-Munawi -rahimahulahu Ta’ala- mengatakan:
“Makna pelaporan amal dalam hadits tersebut adalah amal
siang hari dilaporkan kepadaNya pada permulaan malam setelah siang itu, dan
amal malam hari dilaporkan pada permulaan siang setelah malam tersebut. Sebab,
para malaikat al-Hafadhah naik membawa amal malam setelah habisnya malam pada
permulaan siang, dan naik membawa amal-amal siang setelah habisnya siang pada
permulaan malam.” Sampai di sini perkataan al-Munawi.
Dengan penjelasan itu al-Munawi memberi isyarat pada hadits
yang telah warid dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -radhiyallahu
‘anhu-, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ –أي يَتَنَاوَبُونَ– مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبَّهُمْ – وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ-: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: تَرَكْنَاهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ يُصَلُّونَ
“Rasulullah Saw bersabda: “Para malaikat silih berganti
bersama kalian. Ada malaikat yang bersama kalian di malam hari, dan ada yang
siang hari. Mereka bertemu pada waktu shalat subuh dan shalat Ashar. Kemudian
malaikat yang menginap bersama kalian naik (menghadap Allah), lalu Tuhan mereka
menanyainya (Dialah Dzat yang lebih mengetahui daripada mereka): “Bagaimana
(kondisi) hamba-hambaKu saat kalian meninggalkannya? Mereka menjawab: “Kami
meninggalkan mereka di saat mereka sedang shalat, dan kami mendatangi mereka di
saat mereka sedang shalat (pula).”
Dalam kitab at-Targhib, al-Mundziri berkata:
“Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits tersebut dalam kitab
Shahihnya. Salah satu redaksi dari beberapa riwayat hadits tersebut adalah:
تَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَتَصْعَدُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَتَبِيتُ مَلَائِكَةُ النَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ، فَيَصْعَدُ مَلَائِكَةُ النَّهَارِ وَتَبِيتُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ، فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَاغْفِرْ لَهُمْ يَوْمَ الدِّينِ.
“Malaikat malam dan
malaikat siang berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar. Kemudian
mereka berkumpul pada saat shalat subuh, lalu malaikat malam naik dan malaikat
siang tinggal (bersama manusia). Mereka berkumpul (lagi) pada waktu shalat
ashar, lalu malaikat siang naik dan malaikat malam tinggal. Lalu Tuhan mereka
menanyainya: “Bagaimana (kondisi) hamba-hambaKu saat kalian meninggalkannya?”
Mereka menjawab: “Kami mendatangi mereka di saat mereka sedang shalat, dan kami
meninggalkan mereka di saat mereka sedang shalat (pula). Sebab itu, ampunilah
mereka di hari kiamat.”
Maka, wahai orang yang beriman pegangilah dalil qathi’i
tersebut, yang telah menyatakan bahwa siang dan malam hari malaikat selalu
menyertai kalian, mengawasi amal kalian dan melaporkannya kepada Allah Swt,
Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Agung.
Laporan Kilat
At-Tirmidzi dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abdullah
bin as-Sa`ib -radhiyallahu ‘anhu-;
أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي أرْبَعاً بَعْدَ أنْ تَزُولَ الشَّمْسُ قَبْلَ الظُّهْرِ-أي قَبْلَ فَرْضِ الظُّهْر -، وقَالَ: إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيها أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ[5]
“Sungguh Rasulullah Saw shalat 4 rakaat setelah matahahari
tergelincir (ke arah barat) sebelum shalat fardhu dhuhur, dan beliau berkata:
“Sungguh waktu tersebut adalah waktu yang di dalamnya pintu-pintu langit
dibuka. Maka aku senang pada waktu tersebut amal salehku naik (dilaporkan
kepada Allah Saw).
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan
shalat qabliyah dhuhur.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu-,
dari Nabi Saw, beliau bersabda:
أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ لَيْسَ فِيهِنَّ تَسْلِيمٌ تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ [6]
“Shalat empat rakaat yang di dalamnya tidak ada ucapan salam
(empat rakaat sekaligus tanpa dipisah salam untuk setiap dua rakaatnya),
karenanya pintu-pintu langit akan dibukakan.”
Al-Mundziri berkata:
“Abu Dawud telah meriwayatkannya, redaksi tersebut adalah
riwayatnya, dan Ibnu Majah. Dalam sanad mereka berdua terdapat ihtimal
(kemungkinan untuk) menilainya sebagai hadits hasan. Ath-Thabarani meriwayatkannya dalam al-Mu’jam al-Kabir dan
al-Mu’jam al-Ausath. Redaksinya berupa:
قَالَ لَمَّا نَزَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ -أَيْ حِينَ هَاجَر صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَ الْمَدِينَةَ-، رَأَيْتُهُ يُدِيمُ أَرْبَعًا -أَيْ يُدَاوِمُ على صَلَاةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ- قَبْلَ الظُّهْرِ، وَقَالَ: إِنَّهُ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَلَا يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ.
“Abu Ayyub
al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Ketika Rasulullah Saw singgah di
tempatku (saat hijrah ke Madinah), saya melihat beliau melanggengkan shalat 4
rakaat sebelum dhuhur. Beliau bersabda: “Sungguh ketika matahari tergelincir
(ke arah barat), maka pintu-pintu langit di buka. Lalu tidak satu pintu pun
dari pintu-pintu tersebut dikunci (ditutup) sehingga shalat dhuhur
dilaksanakan. Karena itu, aku senang ada kebaikan bagiku yang dilaporkan
(kepada Allah Saw) pada waktu tersebut.”
Kata خَيْرٌ (kebaikan) maksudnya
adalah amal saleh.
Abdullah mengatakan:
“Semestinya setiap muslim berkeinginan kuat melaksanakan
shalat sunah qabliyah dhuhur segera setelah matahari tergelincir ke arah barat,
dan memperbanyak doa pada waktu tersebut karena merupakan waktu mustajabah.
Sebab, pintu-pintu langit sedang dibuka. Pada waktu tersebut tidak semestinya
seorang muslim menyibukkan diri dengan urusan dunia dan harta bendanya yang
cepat sirna, merugikan diri dengan menyia-nyiakan berbagai amal saleh, doa, karunia,
dan keberkahan yang dapat bermanfaat baginya di kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat.”
Laporan Mingguan dan Pelaporan Amal Kepada Allah SAW
Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi meriwayat hadits dari Abu
Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ عَلَى اللهِ تَعَالَى فِي كُلِّ يَوْمِ خَمِيسٍ وَاثْنَيْنِ، فَيَغْفِرُ اللهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ لِكُلِّ امْرِئٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ مَنْ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيَقُولُ اللهُ تَعَالَى: اُتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.
“Rasulullah Saw bersabda: “Amal-amal (manusia) dilaporkan
kepada Allah Ta’ala pada setiap hari Kamis dan Senin. Maka Allah Ta’ala
mengampuni setiap orang yang tidak menyekutukanNya pada apapun, kecuali
seseorang yang di antara diri dan saudaranya terdapat permusuhan. Maka Allah
Ta’ala berfirman: Tinggalkanlah mereka berdua sehingga berdamai.”
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat redaksi:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ
“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka
diampunilah setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah pada apapun, kecuali
orang yang di antara diri dan saudaranya terdapat permusuhan.”
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah Saw,
beliau bersabda:
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَومَ الإثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ ، فَأُحِبُّ أنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَسَنٌ غَرِيبٌ)
“Amal-amal (manusia) dilaporkan (kepada Allah Ta’ala) pada
setiap hari Kamis dan Senin. Maka aku senang amalku dilaporkan saat aku dalam
kondisi berpuasa. (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan gharib.“)
Dari Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّكَ تَصُومُ حَتَّى لَا تَكَادَ تُفْطِرُ، وَتُفْطِرُ حَتَّى لَا تَكَادَ أَنْ تَصُومَ –أيْ مُتَنَفِّلًا-، إِلَّا يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلَا فِي صِيَامِكَ، وَإِلَّا صُمْتَهُمَا. قَالَ: أَيُّ يَوْمَيْنِ؟ قُلْتُ: يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ. قَالَ: ذَلِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.[7]
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh anda berpuasa
sehingga hampir tidak berbuka, dan anda berbuka sehingga hampir saja tidak
berpuasa kecuali dua hari. Jika dua hari itu masuk pada (kebiasaan) puasa anda
(maka anda puasa pada dua hari itu), dan jika tidak maka anda (tetap)
memuasainya. Beliau bertanya: “Dua hari apa saja? Saya menjawab: “Hari Senin
dan hari kamis.” Beliau berkata: “Itu adalah dua hari yang di dalamnya amal
manusia dilaporkan kepada Tuhan sekalian alam, maka aku senang amalku
dilaporkan sedangkan diriku dalam kondisi berpuasa.”
Dari Jabir -radhiyallahu ‘anhu-, sungguh Rasulullah Saw
bersabda:
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَومَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ، فَمِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَيُغْفَرُ لَهُ، وَمِنْ تَائِبٍ فَيُتَابُ عَلَيْهِ، وَيُذَرُّ أَهْلُ الضَّغَائِنِ -أيْ الْحِقْدِ وَالبُغْضِ- لِضَغَائِنِهِمْ حَتَّى يَتُوبُوا.[8]
“Amal manusia dilaporkan pada hari Senin dan Selasa. Karena
itu, adakah seseorang yang memohon ampun (pada kedua hari itu), maka ia
diampuni? Adakah seseorang yang bertobat, maka diterima tobatnya? Dan
orang-orang yang pendendam dan pemarah dibiarkan sehingga mereka bertobat.”
Dengan beberapa hadits tersebut seorang muslim bisa
mengetahui kemulian dua hari ini, yakni hari Senin dan Kamis. Hendaknya ia menghindarkan
diri dari (keinginan) membalas dendam dan marah agar kedua hal ini tidak
menghalang-halangi pelaporan amal salehnya. Hendaknya pada kedua hari ini
diperbanyak amal saleh dan perkataan yang baik. Sebab, sungguh hari-hari ini
mempunyai berbagai hukum dan keistimewaan, serts menjadi wadah untuk setiap hal
yang terjadi di dalamnya.
Maka janganlah memenuhi wadah-wadah hari anda, wahai orang
yang berakal sempurna, melainkan dengan amal yang mendekatkan kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Sebab, akan datang kepada anda hari pembukaan wadah-wadah itu,
setelah semuanya ditutup saat kematian. Akan tampak dan bermunculan segala yang
terhimpun dalam wadah itu baik ucapan, amal dan kondisi anda. Bila isinya baik
dan merupakan amal saleh, maka aroma wanginya semerbak, anda bahagia karenanya,
senang, merasa aman, dan penuh suka cita. Bila buruk dan jelek, maka maka
baunya busuk, kegelapannya meliputi anda, aib-aib anda akan dibuka di depan
orang banyak, anda akan sedih dan merana. Allah Swt berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِمَنْ خَافَ عَذَابَ الْآخِرَةِ ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ [هود: 103]
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu
adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan
hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).”[9]
Takdir Umur
Dalam bulan Sya’ban ditakdirkan umur manusia. Maksudnya
adalah melahirkan dan menampakkan takdir ini. Sebab bila bukan begitu, maka
sungguh perbuatan-perbuatan Allah Swt tidak terbatasi dengan waktu maupun
tempat, Ia berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير [الشورى: 11]
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha mendengar dan melihat.”
Dalam hadits Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- telah
diriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ. قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَيْكَ أنْ تَصُومَهُ شَعْبَانُ؟ قَالَ: إنَّ اللهَ يَكْتُبُ فِيهِ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيْتَةً تِلْكَ السَّنَةَ, فَأُحِبُّ أنْ يَأْتِيَنِي أجَلِي وَأنَا صَائِمٌ. (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى، وَهُوَ غَرِيبٌ وَإسْنَادُهُ حَسَنٌ)[10]
“Sungguh Nabi Saw telah memuasai bulan Sya’ban seluruhnya.
‘Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah bulan yang paling membuat senang
untuk anda puasai adalah bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Sungguh dalam bulan
Sya’ban Allah telah memutuskan kematian bagi setiap manusia, maka aku senang
ajalku tiba (diputuskan) di saat aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Abu Ya’la,
hadits ini adalah hadits gharib, dan sanadnya hasan)
Karena itu, beliau Saw memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan:
كَانَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يَفْطُرُ حَتَّى نَقُولَ: مَا فِي نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنْ يَفْطُرَ الْعَامَ، ثُمَّ يَفْطُرُ فَلَا يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: مَا فِي نَفْسِهِ أنْ يَصُومَ الْعَامَ. وَكَانَ أَحَبُّ الصَّوْمِ إلَيْهِ فِي شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw berpuasa, kemudian tidak berbuka sehingga
kami katakan: Tidaklah diri Rasulullah Saw akan berbuka (tidak berpuasa selama)
setahun ini, lalu beliau berbuka dan tidak berpuasa sehingga kami berkata: “Tidaklah dirinya akan berpuasa selama
setahun ini. Dan puasa yang paling menyenangkan beliau adalah puasa di bulan
Sya’ban.” (HR. Ahmad dan ath-Thabarani )
[1] HR. al-Bukhari. Baca, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar Ibn al-Katsir, 1987), Juz IV, h. 1797. (Penerjemah).
[2]At-Targhib wa at-Tarhib, karya al-Mundziri, Juz II, h.
48.
[3]Menurut Ibn Huzaimah sesuai kutipan Ibn Hajar al-Haitami
dalam al-Fatawa, hadist ini bersatus shahih. Baca, Ibn Hajar al-Haitami,
al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (ttp.: Dar al-Fikr, tt.), Juz II, h. 69.
(Penerjemah)
[4]Maksudnya andaikan Allah Swt membuka hijabNya yang
bernama nur, niscaya nur keagungan, dan
kewibawaan Allah Swt akan membakar habis semua makhluknya. Baca,
an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats
al-Arabi, 1392 H), Juz III, h. 13-14. (Penerjemah).
[5]At-Tirmidzi berkata: “Ini hadist hasan.” Baca,
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, tt.),
Juz II, h. 342.
[6] Kataتَسْلِيمٌ
menurut al-Baghawi diartikan sebagai tasyahud. Ath-Thibi menambahkan:
“Tasyahud disebut dengan kata تَسْلِيمٌ
karena tasyahud mencakup ucapan salam.”
Sedangkan kalimat تُفْتَحُ
لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ (karenanya akan
dibukakan pintu-pintu langit) merupakan kinayah dari penerimaan yang baik dan
cepat sampai kepada Allah Swt. Baca, Al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H/1994 M), Juz I, h. 198. (Penerjemah).
[7]HR. An-Nasa’i.
[8]HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan perawinya
adalah perawi-perawi tsiqah. Nurruddin al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1412 H), Juz VIII, h. 128. (Penerjemah)
[9] Demikian ringkasan kitab Shu’ud al-Aqwal wa Raf’
al-A’mal ila al-Kabir al-Muta’al, karya Syaikh Abdullah Sirajuddin.
[10]Demikian redaksi dalam kitab at-Targhib wa aTarhib.
Begitu pula redaksi dalam naskah cetakan kitab Musnad Abi Ya’la Juz VIII h. 312
hadits nomor 4911. Namun sudah jelas bahwa sabda Nabi Saw:
فَأُحِبُّ أنْ يَأْتِيَنِي أجَلِي وَأنَا صَائِمٌ
“Maka aku senang ajalku tiba (diputuskan) di saat aku dalam
kondisi berpuasa.”
telah terdistorsi. Yang valid adalah:
فَأُحِبُّ أنْ يُرْفَعَ – أوْ أنْ يُكْتَبَ- عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ
“Maka aku senang amalku dilaporkan (atau ditetapkan) di saat
aku dalam kondisi berpuasa.”
Redaksi ini terdapat dalam banyak riwayat shahih yang hadir
dalam bab ini selain hadits tersebut. Seperti sabda Nabi Saw:
شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
“(Sya’ban) adalah bulan yang di dalamnya amal manusia
dilaporkan, maka aku senang amalku dilaporkan di saat aku dalam kondisi
berpuasa.” (HR. an-Nasa`i)
Redaksi inilah yang sesuai dengan konteks pembicaraan Nabi (
dan merupakan redaksi hadits yang secara jelas terdapat pada riwayat al-Khatib
dalam kitabnya at-Tarikh, dengan sanadnya sampai kepada Sayyidah ‘Aisyah
-radhiyallahu ‘anha-. Di situ ada pula redaksi:
وَأُحِبَّ أنْ يُكْتَبَ أجَلِي وَأنَا فِي عِبَادَةِ رَبِّي
“Dan aku senang ajalku ditentukan sedangkan diriku dalam
kondisi beribadah kepada Tuhanku.”
Tanda seseorang gembira dengan kedatangan
Ramadhan adalah ia
menyiapkan bekal terbaik untuk
menjalaninya.
Ibarat safar yang
jauh dan berat,
persiapan dan perbekalan
sangat menentukan
keselamatan dan kesuksesan
dalam menjalaninya. Khususnya
bekal iman dan
ketakwaan berupa
mengerjakan ketaatan dan menjauhi maksiat, mengagendakan
program amal shalih dan amal sosial, dan
semisalnya.
Keutamaan Bulan Rajab
Sebagian para ulama mengatakan bahwa bulan Rajab adalah
bulan persiapan untuk menghadapi bulan Sya’ban dan Ramadhan, adalah bulan-bulan
yang dimulyakan oleh Allah SWT, maka pada bulan ini para muslim dan muslimah
disunatkan untuk memperbanyak amal ibadah terutama ibadah puasa sunah,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Raslullah SAW, dan para sahabat serta
para tabi’in, dan orang2 saleh yang dimulyakan oleh Allah SWT.
Inilah adalah, Doa yang diucapkan oleh Rasulullah SAW,
ketika memasuki bulan Rajab,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
(Allahuma bariklana fii Rojaba wa Sya’bana wabaligna
Romadhona)
Artinya : Ya Allah berkahi hidup kami di bulan Rajab ini,
dan juga di bulan Sya’ban, serta panjangkan umur kami hingga bulan Ramadhon
Ibarat menanam tanaman, Rajab adalah bulan kita menanam
benih-benihnya, Sya’ban kita menyirami dan memupuknya, sedang Ramadhan kita
memanen hasilnya. Itulah keterkaitan tiga bulan tersebut. Demikianlah apa yang
dikatakan oleh Imam Abu Bakar Al Warraq Al Balkhi. Beliau juga berkata,
“Perumpamaan Rajab seperti angin, Sya’ban seperti awan (mendung)nya dan
Ramadhan ibarat hujannya.”
Rajab tergolong salah satu dari Al Asyahrul Hurum, bulan-bulan penuh kehormatan dan kemuliaan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharramdan Rajab. karena pada malam pertama bulan Rajab ini adalah malam terkabulnya doa2 yang dipanjatkan, sebagaimana sabda Rasululullah SAW,
“Lima malam, tidak akan ditolak doa-doa didalamnya : awal
Rajab, malam nisfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan malam an Nahr
Idul Adha)” (HR. Ibnu ‘Asakir)
Bulan Rajab ini juga adalah merupakan bulan Allah SWT. yang
dituangkan di dalamnya rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Rasulullah SAW. bersabda,
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan
umatku.” (Hadits mursal dari Al Hasan AL Bashri)
Dengan berdasarkan hadits di atas, maka sebagian Ulama juga
menyebutkan bahwa Rajab adalah bulan istighfar dan taubat kepada Allah sesuai
dengan istilah ‘Rajab bulan Allah’. Sebagai hamba Allah, hendaknya di bulan
Allah ini kita banyak bertaubat kepada-Nya, kembali kepada-Nyadan meminta maaf
sepenuh hati ke hadirat Ilahi, agar benar-benar diampuni dan didekatkan
kepada-Nya.
Wahai sahabat muslim, mari kita perbanyak amal ibadah kita,
dengan tujuan karena Allah SWT semata, untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat nanti, semoga Allah meridhoi, Amien…
Bacaan ini dibaca pada pagi hari sebanyak 70x dan sore 70x
رَبِّ ١غْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِىْ وَتٌبْ عَلَىَّ
(Rabbigfirlii warhamnii watub alayya)
Artinya kurang lebih, “Ya Tuhanku Ampunilah dosaku dan
rahmatilah segala pertaubatanku”
Dan yang dibawah juga dibaca selama bulan Rajab, pada waktu
pagi hari sebanyak 3x dan sore 3x
اَلِّلهُمَ انت رَبِيْ لاِاِلَهَ اِلا اَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَاَنَاعَبْدُكَ وَاَنَاَ عَليَ عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْتَطَعْتٌ اَعوُدُبِكَ مِنْ شَرِّمَا صَنََعْتَ وَاَبُوْءُلَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَاَبُوءُبِدَ نْبِ فَاغْفِرْلِيْ فَاِنَهُ لايَغْفِرُالذُّنٌوْبَ ِالااَنْتَ
Allahuma anta Robbi, Lailaha ila kholaqtanii wa anaa abduka
wa anaa alla ahdika wawa’dika mastatho’tu a’udubika min sarrimaa shona’tu wa
abuu ulaka bini’matika alayya wa abuu ubidanbi pagfirlii painnahu laa yagfiru
ddunuuba illa anta
Kemudian Bacaan lainnya adalah
سُبْحَانَ
الْحَيِّ الْقَيُومْ
(Subhaanalhayyil qoyyum)
dibaca dari tanggal 1 sampai tanggal 10
سُبْحَانَ
الله الا حَدِالصَّمَدْ
(Subhaanallahil ahadishomad)
dibaca dari tanggal 11 sampai 20
سُبْحَانَ
اللهِ الّرَؤُوفْ
(Subhaanallahi rroup)
dibaca dari tanggal 21 sampai 30
سُبْحَانَ
مَنْ لاَ يَنْبَغِيْ التَّسْبِيْحُ
اِلاَّلَهُ سُبْحَانَ اْلاَعَزِّاْلاَكْرَمْ سُبْحَانَ مَنْ لَهُ الْعِزُّوَهُوَلَهُ
اَهْلٌ
(Subhaana man la yan bagii ttasbiihu illa lahu, Subhaa nal a
ajjilakram, Subhaana man lahul ijju wahuwa lahu ahluun)
WAllahu a’lam bi showabb
egala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau
hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena
pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa
saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah
dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi
taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca
sekalian.
Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan
Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At
Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak
penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar
di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan
matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari
dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas
bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan
perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah
menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya
ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak
antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah;
(2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al
Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua
makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan.
Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan
perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya
bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan
amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk
melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan
puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram,
aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan
tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat
pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan
akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
SEBAB PENAMAAN BULAN RAJAB
Menurut pendapat imam Ibnu Rajab al-Hanbali :
سمّي رجبٌ رجباً؛ لأنه كان يرجب، أي يُعظَّم، يُقال: رَجَبَ فلانٌ مولاه، أي عظَّمه.
bulan ini disebut bulan Rajab karena bulan ini diagungkan;
karena dalam bahasa arab Rajaba memiliki arti mengagungkan dan memuliakan.
Orang-orang arab jahiliyah dulu memuliakan bulan ini apalagi
kabilah Mudhar oleh karena itu bulan ini disebut juga Rajab Mudhar. Mereka pada
bulan ini melarang perang dan mereka menunggu-nunggu tanggal 10 untuk berdoa
atas orang yang zalim, doa mereka pun dikabulkan. Dan mereka pada bulan ini
menyembelih hewan sembelihan yang mereka namakan al-‘atirah yaitu seekor kambing
yang dipersebahkan untuk berhala-berhala mereka kemudian darahnya disiram ke
kepala berhala-berhala tersebut.
Menurut kebanyakan ulama kebiasaan ini telah dihilangkan
oleh Islam berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dalam as-shahihain:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا فَرَعَ ولا عَتِيرَة
(tidak ada lagi fara’-anak unta yang disembelih untuk
berhala dan atirah).
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dalam hadits Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah
jika telah masuk bulan Rajab bersabda:
اللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانٍ وَبَلِّغْنَا رَمَضَان وإسناده ضعيف
Ya Allah berkahilan kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan
sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan”
* hanya saja sanad hadits ini ada kelemahannya.
Sebagian ulama salaf mengatakan:
شهر رجب شهر الزرع، وشعبان شهر السَّقي للزرع، وشهر رمضان حصاد الزرع
“Bulan Rajab bulan menanam, bulan Sya’ban bulan menyiram,
bulan Ramadan bulan panen.”
Sedekah
bulan Sya'ban
لطائف
العوارف
Tradisi bulan Sya’ban, Ruwahan dan Nyadran
Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa.
Pada bulan Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah. Nabi sendiri
memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, melebihi puasa beliau pada bulan-bulan
yang lain. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali,
murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif
al-Ma’arif sebagai berikut:
خَرَّجَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَ النَّسَائِيُّ (مِنْ حَدِيْثِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُ اْلأَيَّامَ يَسْرُدُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ وَ يُفْطِرُ اْلأَيَّامَ حَتَّى لاَ يَكَادُ يَصُوْمُ إِلاَّ يَوْمَيْنِ مِنَ الْجُمْعَةِ إِنْ كَانَا فِيْ صِيَامِهِ وَ إِلاَّ صَامَهُمَا وَ لَمْ يَكُنْ يَصُوْمُ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا يَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ ؟ قَالَ : ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَ رَمَضَان وَ هُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْهِ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ عَزَّ وَ جَلَّ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِيْ وَ أَنَا صَائِمٌ).
“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan dari hadits Usamah bin Zaid, yang
berkata: “Rasulullah terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut
sehingga kami berkata, beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi
selama beberapa hari sehingga hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua
hari dari Jum’at, apabila dua hari itu menjadi bagian puasanya. Kalau tidak,
beliau berpuasa pada dua hari itu. Nabi tidak berpuasa pada bulan-bulan yang
ada seperti puasa beliau pada bulan Sya’ban. Aku berkata kepada Nabi, “Wahai
Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan sebelumnya
seperti puasa Anda pada bulan Sya’ban?” Nabi menjawab, “Bulan Sya’ban itu,
bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban
itu, bulan di mana amal manusia diangkat kepada Allah Tuhan semesta alam. Aku
ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”
Dalam menghadapi bulan istimewa, di mana amal manusia dilaporkan kepada Allah,
umat Islam di tanah air melakukan tradisi ruwahan (memperbanyak sedekah),
sehingga bulan ini disebut dengan bulan Ruwah. Para ulama juga menganjurkan
agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting yang
sedang dihadapi.
Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh
al-Nawawi berkata:
وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ.
“Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi
urusan-urusan yang penting.”
Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban,
al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
وَلَمَّا كَانَ شَعْبَانُ كَالْمُقَدِّمَةِ لِرَمَضَانَ شُرِعَ فِيْهِ مَا يُشْرَعُ فِيْ رَمَضَانَ مِنَ الصِّيَامِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِيَحْصُلَ التَّأَهُّبُ لِتَلَقِّيْ رَمَضَانَ وَ تَرْتَاضَ النُّفُوْسُ بِذَلِكَ عَلىَ طَاعَةِ الرَّحْمنِ، رَوَيْنَا بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ إِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلىَ الْمَصَاحِفِ فَقَرَؤُوْهَا وَأَخْرَجُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيْفِ وَالْمِسْكِيْنِ عَلىَ صِيَامِ رَمَضَانَ.
“Oleh karena Sya’ban itu merupakan pengantar bagi bulan Ramadhan, maka pada
bulan Sya’ban dianjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan Ramadhan seperti
berpuasa dan membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa
menjadi terlatih untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengan sanad
yang lemah dari Anas, yang berkata, “Ketika bulan Sya’ban tiba, kaum Muslimin
biasanya menekuni mushhaf dengan membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan
zakat harta benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam
menjalani puasa Ramadhan.”
Pada bulan Sya’ban, di kalangan masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang di sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam nishfu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:
Pada bulan Sya’ban, di kalangan masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang di sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam nishfu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:
وَفِيْ فَضْلِ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ أَحَادِيْثُ أُخَرُ مُتَعَدِّدَةٌ وَقَدِ اخْتُلِفَ فِيْهَا فَضَعَّفَهَا اْلأَكْثَرُوْنَ وَصَحَّحَ ابْنُ حِبَّانَ بَعْضَهَا وَخَرَّجَهُ فِيْ صَحِيْحِهِ وَمِنْ أَمْثَلِهَا (حَدِيْثُ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَقَدْتُ النَّبِيَّ فَخَرَجْتُ فَإِذًا هُوَ بِالْبَقِيْعِ رَافِعًا رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ : أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُوْلُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ : إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ) خَرَّجَهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.
“Mengenai keutamaan malam nishfu Sya’ban, ada sejumlah hadits-hadits lain yang
diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian
hadits-hadits itu dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam
Shahih-nya. Hadits terbaik di antara hadits-hadits tersebut adalah, hadits
‘Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi , lalu aku keluar mencarinya,
ternyata beliau ada di makam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit.
Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat
sewenang-wenang kepadamu?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira engkau
mendatangi sebagian isteri-isterimu.” Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah
turun pada malam nishfu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni orang-orang
yang jumlahnya melebihi jumlah bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah.”
Tradisi lain yang juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat pada malam nishfu Sya’ban adalah shalat sunnat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
Tradisi lain yang juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat pada malam nishfu Sya’ban adalah shalat sunnat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : بَلَغَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْ خَمْسِ لَيَالٍ: لَيْلَةِ الْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ وَأَوَّلِ رَجَبٍ وَنِصْفِ شَعْبَانَ قَالَ: وَأَسْتَحِبُّ كُلَّ مَا حُكِيَتْ فِيْ هَذِهِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ يُعْرَفُ لِلإِمَامِ أَحْمَدَ كَلاَمٌ فِيْ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَيُتَخَرَّجُ فِي اسْتِحْبَابِ قِيَامِهَا عَنْهُ رِوَايَتَانِ مِنَ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِيْ قِيَامِ لَيْلَتَيِ الْعِيْدِ فَإِنَّهُ فِيْ رِوَايَةٍ لَمْ يَسْتَحِبَّ قِيَامَهَا جَمَاعَةً لأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ وَاسْتَحَبَّهَا فِيْ رِوَايَةٍ لِفِعْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدِ بْنِ اْلأَسْوَدِ وَهُوَ مِنَ التَّابِعِيْنَ فَكَذَلكَ قِيَامُ لَيْلَةِ النِّصْفِ لَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا شَيْءٌ عَنِ النَّبِيِّ وَلاَ عَنْ أَصْحَابِهِ وَثَبَتَ فِيْهَا عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَعْيَانِ فُقَهَاءِ أَهْلِ الشَّامِ.
“Al-Syafi’i berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima
malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya, malam 1 Rajab dan malam nishfu
Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata, “Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada
kelima malam ini.” Sementara tidak ditemukan pernyataan dari Imam Ahmad
mengenai malam nishfu Sya’ban. Tetapi kesunnatan ibadah (shalat dan semacamnya)
pada malam itu dapat dianalogikan terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai
ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat, Ahmad tidak menganjurkan
ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari raya karena tidak pernah dikutip dari
Nabi dan para sahabat.
Dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad –ulama generasi tabi’in- telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nishfu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabat. Tetapi ada riwayat dari sekelompok tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnat secara berjamaah.”
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:
Dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad –ulama generasi tabi’in- telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nishfu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabat. Tetapi ada riwayat dari sekelompok tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnat secara berjamaah.”
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ .
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi
masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan
Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa
Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata,
Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad
bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat
mengingkarinya.
Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”
Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid
Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah!aku tidak
pernah melihatmu berpuasa pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada
bulan Sya’ban.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
pernah melihatmu berpuasa pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada
bulan Sya’ban.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan
Rajab dan Ramadhan.
Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh
karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. Al-Nasa’i. hadits ini
hasan. Lihat: Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1012)
Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh
karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. Al-Nasa’i. hadits ini
hasan. Lihat: Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1012)
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan sebab beliau memperbanyak puasa
di bukan Sya’ban: pertama, karena banyak orang lalai dari amal shalih dan ketaatan di dalamnya.
Artinya, mereka tidak memperbanyak amal shalih dan ketaatan di bulan Sya’ban. Maka siapa yang
menunda beramal shalih dan menjalankan ketaatan di bulan ini, maka ia termasuk bagian manusia yang
lalai.
Kedua, pada bulan Sya’ban amal-amal hamba diangkat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ibnu Rajab menambahkan alasan yang ketiga, “Dikatakan juga makna lain (hikmah,-red) tentang puasa
Sya’ban, bahwa puasa Sya’ban seperti latihan puasa Ramadhan agar saat dirinya masuk puasa
Ramadhan tidak menjalankannya dengan berat dan beban, tapi ia telah terlatih dan terbiasa berpuasa
sehingga ia merasakan manis dan enaknya puasa Sya’ban sebelum Ramadhan, sehingga ia memasuki
puasa Ramadhan dengan kuat dan semangat,” (Latha-if al-Ma’arif, hal. 252)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di
bulan Sya’ban adalah
karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib).
Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib,
sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat
dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa
menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah: Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka
sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan
sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa
ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari
mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib).
Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib,
sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat
dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa
menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah: Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka
sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan
sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa
ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari
mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar