Tarawih: hukum sholawat ditengah tarawih dan menyebut 4 sahabat nabi di sholat tarawih
Tarodhi = membaca rodhiallahu anhu
Contoh ketika bilal menyebut shohabat abu bakrin sidiq, maka jama'ah menyebut "rodhiyaallahu anhu
Sudah Menjadi tradisi bahwa setiap sela-sela tarawih biasanya bilal membaca shalawat dan do'a kepada sahabat nabi atau yang disebut tarodhi/taradhi, dan jika kita melihat hukumnya versi Media non Ahlusunnah pasti tradisi ini ditentang keras.
Lalu hukum sebenarnya menurut Ulama Ahlu Sunnah Waljamaah bagaimana? seperti biasa mari kita jawab menggunakan kitab kuning.
1. Disunnah Memisah 2 Shalat Dengan Berbicara/Ucapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”Para Ulama dalam kitab kuningnya mengurai sebagai berikut:
ويندب أن ينتقل لفرض أو نفل من موضع صلاته ليشهد له الموضع حيث لم تعارضه فضيلة نحو صف أول فإن لم ينتقل فصل بكلام إنسان
Disunnahkan berpindah dari tempat shalat pertama karena akan melaksanakan shalat fardlu atau shalat sunnah yang lain, hal ini bertujuan agar tempat yg baru ini ikut menjadi saksi, jika memang tidak bertentangan keutamaanya, misalnya seperti jika telah berada dibarisan / shaf awal. Dan apabila tidak berpindah maka disunnahkan memisah dua Shalat tersebut dengan Ucapan/perkataan.2. Bacaan Taradhi adalah Bacaan Yang Mempunyai Nilai Ibadah
Dalam Kitab Al Qashidah Albakriyyah Al Hadhramiyyah fii Al-Raddi 'Ala Al-Rafidhah Al-Imamiyah Kitab ini (berupa bait-bait qashidah) yang isinya adalah muqabalah (bertentangan) atas pemahaman golongan Syiah Rafidhah Imamiyah yang terlalu memuliakan Sayyidina Ali dan mencaci Sayyidina Abi Bakr al-Shiddiq.
Salah satu isinya adalah tentang membaca Taradhi (Radhiyallahu 'anhu) atas sahabat nabi yang empat (Abu bakr, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu 'anhum)
القصيــــدة البكـــرية الحضرمية
في الرد على الرافضة الإمامية
فإن كنت من أهل السنة والجماعة فترض عن الصديق إرغاماً للرافضة الذين ينالون منه، وقد اشتهر الترضي عند أهل حضرموت بذكر الأربعة في مجامعهم في أمرين:
Jika anda bagian dari ahlu sunah wal jama'ah, maka bacalah taradhi atas sayidina abi bakr dengan kuat untuk Menolak pemahaman Syiah rafidhah. Dan telah masyhur pembacaan taradhi dikalangan muslimin hadra maut yaman, dalam perkumpulan mereka ketika disebutkan Nama sahabat empat , yaitu pada dua perkara :
أحدهما: خطبة الجمعة، ففي فتاوى ابن حجر ما نصه: وأما حكم الترضي عن الصحابة في الخطبة فلا بأس به سواء أذكر أفاضلهم بأسمائهم كما هو المعروف الآن أم أجملهم، ونقل الرملي في حاشيته عن ابن عبد السلام إن الترضي عن الصحابة رضي الله عنهم على الوجه المعهود في زماننا بدعة غير محبوبة، وبحث بعضهم استحبابه حيث كان في بلد الخطبة مبتدع لا يحب الصحابة إذا لم يؤد ذلك إلى فتنة(8).
وثانيهما: الترضي بين تسليمات التراويح، فيبدأ بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ثم الترضي على الأربعة، وقد سئل الفقيه باحويرث في فتاويه هل تسن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بين تسليمات التراويح أو هي بدعة فنقل جواب ابن حجر بما حاصله الصلاة في هذا المحل بخصوصه لم نر فيه شيئاً من السنة ولا في كلام الأصحاب، فهي بدعة ينهى عنها من يأتي بها بقصد كونها سنة لا من حيث العموم بل جاء في الحديث ما يؤيد الخصوص إلا غير كاف في الدلالة لذلك
Pertama, Dalam khutbah Jum'at. Sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Hajar dalam Fatawi nya : Adapun membaca taradhi ketika khutbah itu tidak mengapa, baik dalam penyebutan keutamaan mereka atau penyebutan nama-nama mereka seperti yang telah diketahui.
Kedua, Membaca Taradhi diantara raka'at Tarawih.
Dimulai dengan membaca shalawat pada Baginda Nabi SAW, kemudian membaca Taradhi kepada sahabat empat.
Al-Faqih Bahuwairas ditanya dalam Fatawinya : "Apakah disunahkkan membaca shalawat pada nabi SAW diantara alam tarawih, atau yang demikian adalah bid'ah ?". Al-Faqih menjawab dengan apa yang disampaikan Ibnu Hajar : Dalam pengkhususan ini (menempatkan membaca shalawat diantara salam tarawih) kami tidak menemukan dalil apapun dari hadits dan ucapan para sahabat nabi SAW. Dihukumi bid'ah jika yang membaca shalawat dan taradhi tersebut menyakini hal tersebut ada tuntunannya dari nabi atau sahabat (menyakini ada hadits atau atsar atas pembacaan tsb). Namun jika pembacaan shalawat dan taradhi di bacakan atas dasar dalil yang umum , maka itu tidak mengapa dan mengandung nilai ibadah.
3. Istirahat Sejenak Setelah Salam Tarawih Adalah Disunnahkan
Kata Tarawih berasal dari kata "raaha" artinya istirahat, atau santai, atau tidak tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak langsung berdiri lagi ketika selesai dari dua roka'at tarawih, namun boleh istirahat beberapa saat. dan dalam istirahat ini tidak harus diam tanpa melakukan apa-apa ,namun para ulama (khus dalam usnya Ulama dari hadramaut - Yaman) menganjurkan untuk mengisi masa istirahat tersebut dengan dzikir dan dalam hal ini membaca shalawat dan taradhi dengan acuan apa yang disampaikan Imam Ibnu Hajar memahami hadits dianjurkannya membaca dzikir dan do'a pada setiap akhir shalat dan anjuran memperbanyak membaca sholawat atas nabi Muhammad SAW.Imam As-Sarkhasiy berkata :
الفصل الرابع في الانتظار بعد كل ترويحتين: وهو مستحب هكذا روي عن أبي حنيفة رحمه الله تعالى، لأنها إنما سميت بهذا الاسم لمعنى الاستراحة، وأنها مأخوذة عن السلف وأهل الحرمين فإن أهل مكة يطوفون سبعاً بين كل ترويحتين كما حكينا عن مالك رحمه الله تعالى
“Pasal keempat pada permasalahan duduk menunggu setelah dua tarawih (maksudnya adalah setelah dua kali salam), bahwasanya ia dibolehkan (mustahab), seperti inilah diriwayatkan dari Abu Haniifah rahimahullahu Ta’ala. Karena sesungguhnya ia dinamakan dengan nama tarawih yang bermakna istirahat dan diambil dari perbuatan para salaf dan penduduk haramain bahwa penduduk Makkah melaksanakan thawaf tujuh kali diantara tiap dua tarawih sebagaimana diriwayatkan kepada kami dari Maalik rahimahullahu Ta’ala.” [Al-Mabsuuth 2/146]Imam Zakariyya Al-Anshaariy berkata :
وسميت كل أربع منها ترويحة، لأنهم كانوا يتروحون عقبها، أي يستريحون
“Dan setiap empat raka’at darinya dinamakan tarwiihah (dengan bentuk tunggal), dikarenakan mereka dahulu berhenti setelahnya, yaitu beristirahat.” [Asnaa Al-Mathaalib 1/200]Kesimpulan
Dengan menggabungkan 3 poin diatas maka memunculkan kesimpulan yaitu membaca Shalawat dan Taradhi adalah disunnahkan karena mengandung Tiga Unsur Kesunnahan yaitu
1. Sunnah Berbicara antara dua Shalat,
2. Sunnah Baca Shalawat dan mendoakan Shahabat,
3. Sunnah Duduk sejenak diantara dua shalat tarawih.
Catatan :
Kenapa wahabi sangat keras kepada aswaja?
berikut ini adalah sedikit penjelasan mengenai kelakuan wahabi yang selalu dengan gigih memperjuangkan pemberantasan kepada islam ahlus sunnah wal jama'ah.
Di tangan kaum Wahabi, wajah Islam yang lembut menjadi penuh kebencian dan caci maki, wajah yang diliputi kasih sayang menjadi penuh dendam dan hujatan…"
Selama ini orang lebih merasakan kerasnya Wahabi dalam praktek-praktek keagamaan.Namun sesungguhnya, secara garis besar, dari manhaj pemikiran Wahabi, mereka juga memiliki beberapa prinsip keberagamaan yang keras.
Mereka selalu menyatakan kembali kepada Al-Kitab dan as-sunnah.
Prinsip ini bila dilihat dari lahirnya sungguh sangat mempesona siapa pun yang tidak memiliki pengetahuan terhadap syari’at yang didapat dari para ulama dan imam-imam mujtahid. Namun sayangnya, pada hakikatnya mereka hanya menyeru umat untuk: meninggalkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahkan ijma' (konsensus) ulama umat Islam.Bila demikian halnya sesungguhnya mereka tidak lain: memahami Al-Kitab dan as-sunnah hanya berdasarkan pemahaman diri sendiri, yang sudah pasti bersumber dari hawa nafsu. Sehingga dengan prinsip ini mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk: memaksa orang lain hanya mengikuti pemahaman yang mereka miliki karena menganggap hanya pemahaman merekalah yang benar sedangkan yang lain salah, meskipun itu datang dari mayoritas ulama dan imam-imam mujtahid umat Islam.
Dan pada akhirnya: menganggap sesat siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka bahkan dengan mudah mengkafirkannya.
Di samping itu, ada pula fakta-fakta lain yang juga berbahaya. Antara lain, Syaikh Al-Qanuji dalam kitabnya Ad-Dinul Khalish, jilid pertama, halaman 140, menjelaskan,
“Taqlid terhadap madzhab termasuk bagian dari kesyirikan.”
Dengan demikian, berdasarkan pernyataan tersebut, umat Islam saat ini secara keseluruhan adalah kafir, karena mengikuti madzhab yang empat.
Syaikh Ali bin Muhammad bin Sinan dalam kitabnya Al-Majmu` Al-Mufid min `Aqidah At-Tawhid, halaman 55, menyatakan,
“Wahai seluruh kaum muslimin, keislaman kalian tidak akan membawa guna, kecuali jika kalian mengumandangkan perang yang membabi buta terhadap thariqah tasawuf hingga lenyap, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”
Dalam kitab I`shar At-Tawhid, Syaikh Nabil Muhammad mengatakan,
“Tasawuf, para pengikut thariqah, dan para penduduk negara-negara Islam seperti Mesir, Libya, Maroko, India, Iran, Asia Barat, Syam, Nigeria, Turki, Romawi, Afganistan, Turkistan, Cina, Sudan, Tunisia, dan Al-Jazair adalah orang-orang kafir.”
Syaikh Hassan Al-`Aqqad dalam kitabnya Halaqat Mamnu`ah, halaman 25, menyatakan,
“Kafir orang yang membaca shalawat untuk Nabi sebanyak 1.000 kali atau mengucapkan La ilaha illallah sebanyak 1.000 kali.”
Maka dari itu sudah seharus semua kaum muslimin ahlus sunnah wal jama'ah menjauh dari faham wahabi dan dari orang wahabi.
--------------------------
Tarawih: 4 Alasan tarawih lebih utama berjama'ah dari pada sendirian
Para ulama juga berbeda pendapat apakah seharusnya shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri di malam Ramadhan maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:
1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam, sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah. Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”
Alasannya, Sabda Nabi Muhammad Saw.
عن يسر بن سعيد ان زيد بن ثابت قال: افضل الصلاة صلاتكم في بيوتكم الا صلاة المكتوبة. رواه الترمذى
Artinya: hadits riwayat dari Yusrin bin Said bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Paling utama-utamanya shalat adalah shalat kalian dikerjakan dirumah kecuali shalat fardlu”.Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana Imam Malik melakukan Qiyamul lail di Bulan Ramadhan lebih disukai yang mana berjamaah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah?
Imam Malik menjawab: kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah.
Imam Turmudzi dan Imam Rabiah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain. Sementara Imam Malik lebih suka dan lebih senang melakukan shalat sunnat sendiri di rumah.
--------------------------
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melakukan shalat tarawih sendirian (munfarid)
Dalam Musnad Ahmad juz 13 halaman 264, hadits nomor 7881 berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِيْ ذِئْبٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ النَّاسَ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ وَيَقُوْلُ مَنْ قَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى الْقِيَامِ
.......dari Abu Hurairah berkata; "aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa Salam memberi semangat orang-orang untuk menegakkan qiyam ramadlan (shalat tarawih), beliau bersabda: "Barangsiapa menegakkannya karena iman dan mengharap pahala akan diampuni dosanya yang telah lalu", dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam tidak pernah shalat tarawih bersama orang-orang (berjama'ah)."(Al Hafizh Assuyuthi dalam Kitab Al Haawi Lil Fatawi (1/337) mengatakan bahwa sanadnya HASAN).
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim juz 3 halaman 132, ketika mensyarahi hadits:
اِحْتَجَرَ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَة بِخَصَفَةٍ أَوْ حَصِيْرٍ فَصَلَّى فِيْهَا
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membuat kamar ukuran kecil dari kain tebal atau tikar dan beliau melakukan shalat malam didalamnyaBeliau (Imam Nawawi) berkata:
وَمَعْنَى اِحْتَجَرَ حُجْرَةً أَيْ : حَوَّطَ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِد بِحَصِيْرٍ لِيَسْتُرَهُ لِيُصَلِّيَ فِيْهِ ، وَلَا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ مَارٌّ ، وَلَا يَتَهَوَّشُ بِغَيْرِهِ ، وَيَتَوَفَّرُ خُشُوْعُهُ وَفَرَاغُ قَلْبِهِ
Makna اِحْتَجَرَ حُجْرَةً ialah, beliau memagari satu tempat di masjid dengan tikar, untuk menutupi beliau ketika beliau melakukan shalat di tempat tersebut.وَفِيْهِ : جَوَازُ الْجَمَاعَة فِيْ غَيْرِ الْمَكْتُوْبَةِ ، وَجَوَازُ الْاِقْتِدَاءِ بِمِنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ
Didalam hadits tsb diperbolehkannya melakukan shalat jamaah pada selain shalat maktubah, dan diperbolehkannya bermakmum dengan orang yang tidak berniat menjadi imam.Al Qasthallaani berkata dalam Kitab Irsyaadussaari, juz 3 halaman 326:
قَالَ عُمَرُ لَمَّا رَآهُمْ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ سَمَّاهَا بِدْعَةً لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسُنَّ لَهُمُ الْاِجْتِمَاعَ لَهَا وَلَا كَانَتْ فِيْ زَمَنِ الصِّدِّيْقِ وَلَا أَوَّلَ اللَّيْلِ وَلَا كُلَّ لَيْلَةٍ وَلَا هَذَا الْعَدَدَ
Ketika melihat mereka, Umar berkata: “ Inilah sebaik-baiknya bid’ah. Umar menamakannya bid’ah karena Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam tidak menganjurkan berjamaah untuk shalat (qiyam Ramadhan) tsb, dan hal tsb tidak dilakukan di zaman Abu Bakar, dan tidak pula dilakukan pada awal malam, dan tidak pula setiap malam, dan tidak pula dengan bilangan ini”.Badruddin Al Aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari juz 17 halaman 155:
وَإِنَّمَا دَعَاهَا بِدْعَةً لِأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسُنَّهَا لَهُمْ وَلَا كَانَتْ فِيْ زَمَنِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ
Umar menamakan bid’ah pada qiyam Ramadhan (shalat tarawih)dengan berjamaah karena Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam tidak menganjurkan berjamaah untuk shalat (qiyam Ramadhan), dan tidak juga pada zaman Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu.Wallaahu A’lam
Syaikhul islam Ibnu Hajar al-Haitami pernah di tanyakan tentang hukum shalawat dicelah-celah shalat taraweh;
Fatawa Kubra Fiqhiyyah jilid 1 hal 186 Cet. Dar Firk
وسئل فسح الله في مدته هل تسن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بين تسليمات التراويح أو هي بدعة ينهى عنها؟
Dan Ibnu Hajar ditanyakan; Apakah disunatkan bershalawat kepada Rasulullah di celah-celah salam shalat taraweh? atau hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang?فأجاب بقوله الصلاة في هذا المحل بخصوصه لم نر شيئا في السنة ولا في كلام أصحابنا فهي بدعة ينهى عنها من يأتي بها بقصد كونها سنة في هذا المحل بخصوصه دون من يأتي بها لا بهذا القصد كأن يقصد أنها في كل وقت سنة من حيث العموم بل جاء في أحاديث ما يؤيد الخصوص إلا أنه غير كاف في الدلالة لذلك.
Beliau menjawabnya; shalawat pada tempat ini secara khusus tidak kami temukan dalam sunnah dan tidak dalam kalam ulama kita maka ia termasuk dalam bid’ah yang dilarang terhadap orang yang melakukannya dengan kasad disunatkan pada tempat tersebut secara khusus, tidak dilarang terhadap orang yang melakukannya bukan dengan niat demikian misalnya keyakinannya bahwa shalawat tersebut disunatkan pada setiap waktu secara umum, bahkan ada beberapa hadits yang menguatkan disunatkan secara khusus namun hal tersebut belum memadai untuk menunjuki bagi demikian.Dar al-Ifta al-Mishriyah; Hukum bershalawat di celah-celah shalat Tarawih.
Salah satu hal yang tak henti-hentinya di bid’ahkan dan dicap sesat oleh
kaum Wahabi terutama di bulan Ramadhan adalah pembacaan zikir dan
shalat di celah shalat tarawih setelah setiap kali salam.
Dar Ifta` Mishriyah, yang merupakan lembaga fatwa yang didirikan
oleh Syeikh Ali Jum’ah menjawab tuduhan bid’ah tersebut. Berikut nash
tulisan Dar Ifta` al-Mishriyah yang kami kutip dari website resminya
beserta terjemahannya yang kami tambahkan;
أجازت دار الإفتاء المصرية أن يقوم
المصلون بالذكر بين الركعات في صلاة التراويح في رمضان، مشيرة إلى أنه من
المقرر شرعًا أن أمر الذكر والدعاء على السعة. وأضافت الدار في فتوى لها أن
التسبيح بخصوصه مستحب عقب الفراغ من الصلاة وعقب قيام الليل؛ فقد أمر الله
تعالى به في قوله: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَاباً مَوْقُوتاً﴾ (النساء 103 )
وأوضحت الفتوى أن النبي صلى الله عليه
وآله وسلم كان يذكر الله عقب الوتر ويرفـع به صوته الشريف؛ فقد روى النسائي
في سننه بإسناد صحيح: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يقرأ في الوتر
بسبح اسم ربك الأعلى وقل يا أيها الكافرون وقل هو الله أحد، فإذا سلّم
قال: (سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ) ثلاثَ مرات، زاد عبد الرحمن في
حديثه: يرفع بها صوته.
وأشارت الفتوى إلى أنه من جهر بالتسبيح
والدعاء فقد أصاب السُّنَّة، ومن أسَرَّ أيضًا فقد أصاب السُّنَّة؛ فالكل
فعله رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، ولا ينبغي أن نحجِّر واسعًا، بل
الصواب ترك الناس على سجاياهم؛ فأيما جماعة في مسجد رأت أن تجهر فلها ذلك،
وأيما جماعة أخرى تعودت على الإسرار فلها ذلك، والعبرة في ذلك حيث يجد
المسلم قلبه، وليس لأحد أن ينكر على أخيه في ذلك ما دام الأمر واسعًا.
وأوضحت الفتوى أن الأمر المطلق يستلزم عموم الأشخاص والأحوال والأزمنة
والأمكنة؛ فإذا شرع الله تعالى أمرًا على جهة الإطلاق وكان يحتمل في فعله
وكيفية أدائه أكثر من وجه، فإنه يؤخذ على إطلاقه وسعته، ولا يصح تقييده
بوجه دون وجه إلا بدليل، وإلا كان ذلك بابًا من الابتداع في الدين بتضييق
ما وسَّعَه الله ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم.
وشددت الفتوى على أنه يجب على المسلمين
ألا يجعلوا ذلك مثار فرقة وخلاف بينهم؛ فإنه لا إنكار في مسائل الخلاف،
والصواب في ذلك أيضًا ترك الناس على سجاياهم فمن شاء جهر ومن شاء أسر؛ لأن
أمر الذكر على السعة، والعبرة فيه حيث يجد المسلم قلبه.
المركز الإعلامي بدار الإفتاء المصرية 13/7/2014م
Artinya; Dar Ifta` Mesir membolehkan jamaah shalat berzikir di antara
rakaat shalat taraweh dalam bulan Ramadhan. Dar Ifta` menerangkan bahwa
sebagiah hal yang berlaku dalam syara’ adalah bahwa perkara berzikir
dan berdoa merupakan perkara yang luas. Dar Ifta` menambahkan dalam
fatwanya bahwa tasbih secara khusus disunatkan setelah shalat dan
setelah qiyamul lail. Allah telah memerintahkannya dalam firmannya [yang
artinya]; Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah
Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman (Q.S. an-Nisa` 103)
Dijelaskan dalam fatwa tersebut bahwa Nabi SAW berzikir kepada Allah
setelah shalat witir dan meninggikan suara beliau yang mulia.
Diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam sunan beliau dengan sanad yang
shahih; bahwa Nabi SAW membaca dalam witir سبح اسم ربك الأعلى dan قل يا أيها الكافرون serta قل هو الله أحد . Bila beliau salam beliau membaca سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
sebanyak tiga kali. Abdurrahman dalam hadisnya menambahkan "Nabi
meninggikan suaranya". Fatwa juga memberikan isyarat bahwa orang yang menjiharkan tasbih dan doa sungguh ia telah melakukan hal yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan orang yang men-sirnya
juga sesuai dengan sunnah. Karena semuanya pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Tidak sepatutnya kita melarang satu kelonggaran [yang
mendapat legalitas syara'] tetapi yang benar adalah meninggalkannya bagi
manusia [kaum muslim] sesuai dengan tab'iat mereka sendiri. Dimana saja
jamaah mesjid yang ingin menjiharnya, maka boleh saja mereka melakukannya. Dan mana saja jamaah lain yang telah terbiasa dengan sir maka
boleh saja mereka melakukannya. Yang menjadi pegangan dalam hal ini
adalah menurut yang ditemukan seorang muslim akan hatinya. Tidak boleh
bagi seorangpun mengingkari saudaranya dalam hal demikian selama perkara
tersebut merupakan perkara yang longgar. Fatwa juga menerangkan bahwa
perintah yang mutlaq melazimi kepada umum setiap manusia, keadaan, waktu
dan tempat. Apabila Allah mensyariatkan satu perintah secara mutlaq dan
dalam hal mengerjakannya dan tatacara menunaikannya ada kemungkinan
lebih dari satu cara, maka perintah tersebut dipahami atas ithlaq dan
kelonggarannya. Tidak sah mengaitkannya dengan satu cara saja, tidak
boleh dengan cara yang lain kecuali dengan adanya dalil. Jika tidak maka
hal demikian [mengaitkan perintah yang umum tanpa dalil] merupakan satu
perbuatan bid'ah dalam agama dengan menyempitkan apa yang Allah dan
RasulNya telah memberi keluasan.
Fatwa menguatkan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk tidak menjadikan
hal ini sebagai sumber perpecahan dan perbedaan di antara mereka, karena
tidak boleh mengingkari masalah khilafiyah. Yang benar dalam hal ini
adalah membiarkan kaum muslim atas tabi'at mereka. Siapa yang ingin
jihar, silahkan jihar! dan siapa yang ingin sir, silahkan sir!, karena
perkara zikir merupakan hal yang mendapat kelonggaran dan yang menjadi
'tibar (pegangan) dalam hal ini adalah menurut bagaimana yang ditemukan
hatinya.
Dar Ifta` Mesir 13-07-2014
Alamat ‘:
http://www.dar-alifta.org
Berikut ini, nash jawaban Dar Ifta` al-Mishriyah menjawab pertanyaan hukum membaca shalawat setelah tiap kali salam dalam shalat tarawih;
كما أن الصلاة والسلام على النبي صلى الله
عليه وآله وسلم من أفضل الأعمال قبولا عند الله تعالى، كما أنها تفتح
للأعمال أبواب القبول فهي مقبولة أبدًا، وكما أن النبي صلى الله عليه وآله
وسلم هو شفيع الخلق فالصلاة عليه شفيع الأعمال، وقد أمر الله تعالى بها
أمرًا مطلقًا في قوله سبحانه وتعالى: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]، والأمر المطلق يقتضي عموم
الأمكنة والأزمنة والأشخاص والأحوال، فمن ادعى -بلا دليل- أنها مُحَرَّمةٌ
في وقت من الأوقات فقد ضيَّق ما وسَّعه الله تعالى؛ لأنه قيَّد المطلَق
وخصَّص العامَّ بلا دليل، وهذا في نفسه نوع من أنواع البدعة المذمومة.
Artinya; Sebagaimana bahwa shalawat dan salam atas Nabi SAW dan
keluarganya merupakan yang paling utama amalan yang diterima oleh Allah
sebagaimana ia juga merupakan pembuka pintu diterimanya segala amalan,
maka ia juga merupakan amalan yang maqbul. Dan sebagaimana bahwa Nabi
SAW yang memberikan syafaat bagi makhluk maka shalawat atasnya merupakan
syafaat bagi amalan. Allah telah memerintahkan untuk bershalawat dengan
perintah yang umum dalam firman-Nya
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56
[Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya].
Amar yang mutlaq menunjuki kepada umum tempat, waktu, orang dan keadaan.
Maka siapa yang mendakwakan dengan tanpa dalil bahwa shalawat di
haramkan dalam waktu tertentu [misalnya ketika tarawih] maka ia sungguh
telah menyempitkan apa yang Allah telah beri keluasan karena ia telah
mengaitkan nash yang muthlaq dan mengtakhsish nash yang umum tanpa
adanya dalil. Perbuatan inilah yang sebenarnya merupakan salah satu
bagian dari bid'ah yang tercela.
Fatwa No. 2858 Tgl 24-08-2010
Alamat; http://www.dar-alifta.org
Dapatlah diketahui bahwa Dar Ifta` Mesir tidak menerima pendapat Syeikh Ali Mahfudh dalam kitabnya Al Ibda` fi Madhaar Al Ibtida` hal 264 yang menyatakan bahwa membaca shalat dalam celah shalat taraweh termasuk bid'ah tercela, sebagaimana di bawa oleh beberapa orang-orang yang selalu mencela pembacaan shalawat tersebut.Dari jawaban Dar Ifta tersebut dapatkan kita simpulkan beberapa poin di bawah ini:
- Tuntutan membaca shalawat tidak terikat dengan waktu dan tempat
- Boleh membaca shalawat dan tasbih setelah tiap kali salam dalam shalat tarawih
- Membaca shalawat dan tasbih tersebut boleh saja dilakukan dengan cara sir maupun jihar
- Orang yang melarang melakukan tersebut berarti telah menyempitkan hal yang Allah dan RasulNya telah memberikan kelonggaran.
- Melarang bershalawat setelah shalat dalam shalat tarawih merupakan perbuatan bid’ah yang tercela
Baca beberapa artikel kami tentang shalat tarawih;
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar