Hibur hati dengan Jenaka
“Rasulullah
senantiasa berwajah ceria, beliau pernah besabda, “Janganlah terlalu
membebani jiwamu dengan segala kesungguhan hati. Hiburlah dirimu dengan
hal-hal yang ringan dan jenaka, sebab bila hati terus dipaksakan memikul
beban-beban yang berat, ia akan menjadi buta”
(Al Hikam Lil Imam As Syaikh Ibnu Atthoillah As Sakandary)
Bercanda dalam Pandangan Islam
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah. [al-Ahzâb/33:21].
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM JUGA BERCANDA
Sebagai
manusia biasa, kadang kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bercanda. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri,
dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati,
dan membuat mereka gembira. Namun canda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melampaui batas tetapi hanya
tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak
berkata kecuali yang benar.
Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّه صلىاللّه عليه وسلم مُستَجْمِعًا قَطُّ ضَا حِكًا
حَتَّى تُرَى مِنْهُ لَهَوَاتُهُ إِنَمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
Aku
belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa
terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya
tersenyum.[1]
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para
sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku
selalu berkata benar. [2]
BEBERAPA CONTOH CANDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
1.
Anas Radhiyallahu ‘anhu menceritakan salah satu bentuk canda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya dengan sebutan:
يَا ذَا الاُّ ذُ نَيْنِ
Wahai, pemilik dua telinga! [3]
2.
Anas Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha
memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sering bercanda dengannya setiap kali beliau datang.
Pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang sedih.
Mereka berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya bermain
sudah mati,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda
dengannya, beliau berkata:
يَا اَبَا عُميرٍ مَا فَعَلَ النُغَيْرُ
“Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?” [4]
3.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bercerita, ada seorang pria dusun
bernama Zahir bin Haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
Pada suatu hari,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya ketika ia sedang
menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memeluknya dari belakang, sehingga ia tidak dapat melihat beliau.
Zahir bin Haram pun berseru: “Lepaskan aku! Siapakah ini?”
Setelah
menoleh iapun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka iapun tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
berkata: “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”
Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas: “Justru di sisi Allah l engkau sangat mahal harganya!” [5]
4.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seorang laki-laki
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai
Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu berkata:
“Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah onta yang melahirkan anak onta?”
[6]
5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering kali bercanda dan menggoda Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Suatu
kali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Aku tahu
kapan engkau suka kepadaku dan kapan engkau marah kepadaku,” Aku
(‘Aisyah)
menyahut: “Darimana engkau tahu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata: “Kalau engkau suka kepadaku engkau akan mengatakan, ‘Tidak,
demi Rabb Muhammad,’ dan kalau engkau marah kepadaku engkau akan
mengatakan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim”. Aku (‘Aisyah) menjawab: “Benar,
demi Allah! Tidaklah aku menghindari melainkan namamu saja.”[7]
6.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menceritakan: “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan al-Hasan
bin Ali Radhiyallahu 'anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia
segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” [8]
CANDA YANG DIBOLEHKAN
Ada
kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani
kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan
kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan
penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau
dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan
dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan
beberapa hal yang penting dalam bercanda.
1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu
bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta
menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa
memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian
orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma.
Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan
wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan memandangnya
rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak
menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa
seseorang.
3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka Bercanda.
Terkadang
ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau
tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat
buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang Serius.
Ada
beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda.
Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika
memberikan persaksian, dan lain sebagainya.
5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah Subhanahu Wa Ta'ala Saat Bercanda.
Tidak
boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya sebagai berikut.
-
Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda
dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti
memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan,
atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya.
Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]
Pernah
terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan
menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.[10]
Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.
- Berdusta saat bercanda.
Banyak
orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan
alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ
بِبَيْت فِي رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كََانَ
مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِ بَ وَإِنْ
كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
Aku
menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang
meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana
di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia
sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang
memperbaiki akhlaknya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tetap berkata jujur meskipun
sedang bercanda. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا
Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. [11]
Oleh
karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ancaman terhadap orang
yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]
Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.
- Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya
bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah
tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib
mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa.
Perbuatan ini sangat dilarang.
- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang
kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol.
Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya,
atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada
temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang
tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di tengah
orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan
keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.
6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang Buruk.
Banyak
orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali
berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar
kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya
bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa
menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit
semangka setelah memakannya. [13]
Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَقُل
لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ
يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا
مُّبِينًا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].
7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak
orang yang tertawa berlebihlebihan sampai terpingkal-pingkal ketika
bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”
Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.
8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang Membutuhkannya.
Seperti
dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi
Shalalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang beliau lakukan
terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan al Hasan bin Ali, serta seorang
anak kecil bernama Abu ‘Umair.
9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam Bercanda.
Umpamanya
celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol
agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal iyâdzu billâh! Sungguh
perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan
kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَحْذَرُ
الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي
قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
Orang-orang
munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang
menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada
mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”.
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]
Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].
Demikianlah,
semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan bercanda dalam
pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Sehingga kita
dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang tidak
dibolehkan.
Maraji‘:
1. Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
2. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
3. Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn, ‘Abdul-’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
4. Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
5. Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
6.
Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni,
disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman,
Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
7. Sirah Shahîhah, Dhiyâ
al-‘Umari. 8. Sunan Abu Dawud, Tashih: Syaikh Muhammad Nâshiruddîn
al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman,
Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
9. Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242, 260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161), at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
[6]. Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
[7].
Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam
Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits nomor 2439).
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits 70.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat Shahîh Abu Dawud (4184).
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).
Apakah
Anda termasuk orang yang suka bercanda? Ataukah Anda adalah orang yang
sangat serius dan tidak suka bercanda? Apakah Anda termasuk orang yang
banyak tertawa? Ataukah Anda termasuk orang yang tidak sering tertawa?
Manusia
diciptakan oleh Allah dengan berbagai watak dan perilaku. Kita tidak
bisa menyalahkan sepenuhnya orang yang memiliki watak demikian. Karena
tertawa adalah fitrah manusia, yang tidak diberikan kepada hewan. Apakah
pembaca pernah mendapatkan hewan yang tertawa? Jujur saja penulis
sendiri belum pernah mendapatkannya. Mungkin, kalau pun ada itu hanya
terjadi pada momen-momen tertentu dan sangat jarang sekali.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan beberapa nasihat kepada
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, di antara nasihat tersebut adalah
perkataan beliau:
(( وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ.))
“Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”1
Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah tertawa?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa. Banyak hadits
yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dalam haditsqudsi yang
panjang, Allah ta’ala berkata kepada anak adam:
(( يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِى مِنْكَ, أَيُرْضِيْكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا؟))
“Wahai
anak adam! Saya tidak akan menghalangi apa yang engkau inginkan. Apakah
engkau ridha jika saya berikan kepada engkau dunia dan ditambah dengan
yang semisalnya? “
Anak Adam itu pun berkata:
(( يَا رَبِّ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟))
“Wahai Rabb-ku! Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?”
Kemudian
Ibnu Mas’ud pun tertawa dan berkata, “Mengapa kalian tidak bertanya
kepadaku, mengapa aku tertawa?” Murid-murid Ibnu Mas’ud pun bertanya,
“Mengapa engkau tertawa?” Beliau menjawab, “Seperti inilah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Para sahabat pun bertanya kepada
Rasulullah, ‘Mengapa engkau tertawa, ya Rasulullah?’ Beliau pun
menjawab:
(( مِنْ ضِحْكِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حِيْنَ قَالَ
أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟ فَيَقُوْلُ إِنِّيْ
لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ وَلَكِنِّيْ عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ.))
‘Karena
tawanya Rabb alam semesta ketika dia (anak adam) berkata: Apakah Engkau
mengejekku sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?’ Kemudian Allah
berkata, ‘Sesungguhnya Aku tidak mengejekmu, tetapi semua yang Aku
inginkan Aku mampu.’.”2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada hadits di atas melarang seseorang untuk banyak tertawa dan bukan
melarang seseorang untuk tertawa. Tertawa yang banyak dan
berlebih-lebihanlah yang mengandung celaan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, para sahabat pernah
berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
( يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا )
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau sering mencandai kami.”
Beliau pun berkata:
(( إِنِّيْ لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.))
“Sesungguhnya saya tidaklah berkata kecuali yang haq (benar).”3
Di antara canda-canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercantum pada dua hadits berikut:
Hadits 1
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: (
يَا رَسُوْلَ اللَّهِ احْمِلْنِى.) قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-:
(( إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ )). قَالَ: (وَمَا أَصْنَعُ
بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟) فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-: (( وَهَلْ
تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ.))
Diriwayatkan dari Anas
radhiallahu ‘anhu bahwasanya seseorang mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia pun berkata, “Ya Rasulullah! Angkatlah saya (ke
atas onta)!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,
“Sesungguhnya kami akan mengangkatmu ke atas anak onta.” Lelaki itu pun
berkata, “Apa yang saya lakukan dengan seekor anak onta?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankan onta-onta perempuan
melahirkan onta-onta?”4
Beliau mencandai orang tersebut dengan
menyebut ontanya dengan anak onta. Orang tersebut memahami perkataan
beliau sesuai zahirnya, tetapi bukankah semua onta yang ada adalah
anak-anak dari ibu onta?
Hadits 2
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَتْ
عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-،
فَقَالَتْ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي
الْجَنَّةَ) فَقَالَ: ((يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ
تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ.)) قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: (( أَخْبِرُوهَا
أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ :
{ إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً 0فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
0عُرُبًا أَتْرَابًا } )).
Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiallahu
‘anhu, dia berkata, “Seorang nenek tua mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah
kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Beliau pun
mengatakan, ‘Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh
nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun
mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan
masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah ta’ala
mengatakan: (35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka
(Bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka
gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS
Al-Waqi’ah)5
Jika kita perhatikan hadits-hadits di atas, maka
kita akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercanda pada beberapa keadaan tertentu, tetapi canda beliau tidak
mengandung kedustaan dan selalu benar.
Orang yang terlalu serius
dan selalu terlihat tegang dan kaku, kehidupannya akan terasa sangat
penat dan suntuk. Orang jenis ini seharusnya memasukkan canda di dalam
hidupnya sehingga terhindar dari pengaruh buruk tersebut.
Sebaliknya
orang yang terlalu sering bercanda, maka sebaiknya dia belajar untuk
dapat melatih lisannya agar bisa terbiasa diam dan hanya berbicara pada
hal-hal yang bermanfaat saja.
Seorang penyair terkenal, Abul-Fath Al-Busti6 rahimahullah pernah mengatakan:
أَفْدِ طَبْعَك الْمَكْدُودَ بِالْجِدِّ رَاحَةً يُجَمُّ وَعَلِّلْهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْمَزْحِ
وَلَكِنْ إذَا أَعْطَيْتَهُ الْمَزْحَ فَلْيَكُنْ بِمِقْدَارِ مَا تُعْطِي الطَّعَامَ مِنْ الْمِلْحِ
Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius
Dirilekskan dulu dan hiasilah dengan sedikit canda
Tetapi jika engkau berikan canda kepadanya, jadikanlah ia
Seperti kadar engkau memasukkan garam pada makanan
Layaknya
makanan, apabila tidak diberi garam maka dia akan terasa hambar. Akan
tetapi, jika terlalu banyak diberikan garam, maka tidak akan enak untuk
dimakan.
Sesuatu yang berlebih-lebihan, kebanyakan akan membawa
dampak buruk. Sama halnya dengan bercanda dan tertawa. Apabila terlalu
sering bercanda dan tertawa, maka akan mengakibatkan banyak keburukan.
Di antara keburukan-keburukan orang yang sering bercanda dan tertawa adalah sebagai berikut:
Hatinya menjadi mati, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jika hati seseorang mati, maka akan berakibat buruk baginya, di
antaranya: Bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan,
serta meremehkan suatu kemaksiatan, tidak terpengaruh hatinya dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan, tidak terpengaruh hatinya dengan
berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala, tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allah, bertambahnya
kecintaannya terhadap dunia dan mendahulukannya atas akhirat, tidak
tenang hatinya dan selalu merasa gundah, bertambahnya dan meningkatnya
kemaksiatan yang dilakukannya, tidak mengenal atau tidak membedakan
perbuatan ma’ruf dan munkar dll.7
Menyibukkan diri sehingga tidak mengerjakan hal-hal yang bermanfaat dan tidak memiliki wibawa
Oleh karena itu Imam Al-Mawardi pernah mengatakan:
وَأَمَّا الضَّحِكُ فَإِنَّ اعْتِيَادَهُ شَاغِلٌ عَنْ النَّظَرِ فِي
الْأُمُورِ الْمُهِمَّةِ ، مُذْهِلٌ عَنْ الْفِكْرِ فِي النَّوَائِبِ
الْمُلِمَّةِ.
وَلَيْسَ لِمَنْ أَكْثَرَ مِنْهُ هَيْبَةٌ وَلَا وَقَارٌ، وَلَا لِمَنْ وُصِمَ بِهِ خَطَرٌ وَلَا مِقْدَارٌ.
…Adapun tertawa, apabila seseorang membiasakannya dan terlalu banyak
tertawa, maka hal itu akan melalaikan dan melupakannya dari melihat
hal-hal yang penting. Dan orang yang banyak melakukannya, tidak akan
memiliki wibawa dan kehormatan. Dan orang yang terkenal dengan hal itu
tidak akan memiliki kedudukan dan martabat.8
Menimbulkan permusuhan secara tidak sengaja dan lain-lain.
Bercanda
pun memiliki adab-adab. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita
memperhatikan adab-adab tersebut. Di antara adab-adab bercanda adalah
sebagai berikut:
Tidak boleh ada kedustaan di dalam canda tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.)
“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum
tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.”9
Di zaman sekarang ini, banyak orang yang bekerja sebagai pelawak.
Kebanyakan mereka tidak bisa menjaga lisannya dari kedustaan. Oleh
karena itu, sebaiknya mereka segera mencari pekerjaan lain yang
benar-benar terhindar dari hal yang diharamkan.
Begitu pula
kepada para muballigh yang gemar membuat orang tertawa, sudah
sepantasnya isi ceramahnya jangan mengada-ada, harus ilmiah dan memiliki
rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tidak boleh ada unsur penghinaan atau pelecehan terhadap agama Islam
{ وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65)
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ
طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
(66) }
“ (65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa
yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya
kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
(66) Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. jika
kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami
akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah : 65-66)Di zaman sekarang ini,
banyak orang yang suka mengejek ajaran agama Islam dan menjadikannya
sebagai bahan lelucon. Sebagai contoh: penghinaan terhadap jenggot dan
mengatakan orang yang memanjangkan jenggotnya seperti kambing,
penghinaan terhadap jilbab dan mengatakan itu hanya pakaian orang gurun,
penghinaan terhadap cadar dan mengatakan bahwa itu ciri-ciri teroris,
penghinaan terhadap orang yang tidak isbal (mengenakan kain di bawah
mata kaki) dan mengatakan bahwa orang itu kebanjiran dan lain-lain.
Berdasarkan ayat di atas orang yang menghina ajaran Islam terancam
untuk keluar dari agama Islam, disadari maupun tidak. Oleh karena itu,
jangan sampai kita menganggap remeh permasalahan-permasalahan seperti
ini.
Tidak boleh ada unsur ghibah dan peremehan terhadap seseorang, suku atau bangsa tertentu
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى
أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) }
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka
Itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujurat: 11)
Tidak boleh mengambil barang orang lain, meskipun bercanda
(( لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا.))
“Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.”10
Meskipun bercanda, mengambil barang teman dengan tujuan menyembunyikan
dan membuat dia bingung, hal tersebut tidak diperkenankan di dalam agama
Islam.
Tidak boleh menakut-nakuti orang lain.
(( لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا.))
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.”11
Tidak boleh menghabiskan waktu hanya untuk bercanda
(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.))
“Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya.”12
Tidak boleh berbicara atau melakukan hal-hal yang melanggar syariat,
seperti: menyebutkan ciri-ciri wanita yang tidak halal baginya kepada
orang lain, menipu, melaknat dll.
Demikianlah beberapa penjelasan
tentang canda dan tawa yang tercela dan yang diperbolehkan.
Mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita
sehari-hari. Amin.
Daftar Pustaka
Adabud-Dunya wad-Din. ‘Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi. Tahqiq: Muhammad Karim Rajih. Dar Iqra’.
Al-Bidayah wan-Nihayah. Abul-Fida’ Isma’il bin’Umar bin Katsir. Tahqiq: ‘Ali Syairi. Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
Dzammu Qaswatil-Qalb. Al-Hâfidzh Ibnu Rajab Al-Hanbali dan Muqaddimah
muhaqqiq-nya, Abu Maryam Thâriq bin ‘Âtif hijâzi. Dâr Ibni Rajab.
Dzammul-Hawa. ‘Abdurrahmân bin Abil-Hasan Al-Jauzi. Tahqiq : Mushthafa ‘Abdul-Wahid.
Al-Maraah fil-mizaah. Abul-Barakaat Badruddin Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazi. Tahqiq: Bassam bin ‘Abdil-Wahhab Al-Jabi. Dar Ibni Hazm.
Walaa tuktsiridh-dhahik, fainna katsratadh-dhahik tumitul-qalba. Dr.
Badr bin ‘Abdil-Hamid. (http://www.saaid.net/Doat/hamesabadr/26.htm)
Dan lain-lain, sebagian besar tercantum pada footnotes.
1 HR At-Tirmidzi no. 2305. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi.)
2 HR Muslim no. 310.
3 HR At-Tirmidzi no. 1990. Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” (Ash-Shahihah IV/304).
4
HR Abu Dawud no. 5000 dan At-Tirmidzi no. 1991. Syaikh Al-Albani
berkata, “Shahih.” (Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Sunan
At-Tirimidzi).
5 HR At-Tirmidzi dalam Syamaa-il-Muhammadiyah no.
240. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Mukhtashar Syamaa-il dan
Ash-Shahiihah no. 2987).
6 Adabud-Dunya wad-Din hal. 319 dan Al-Bidayah wan-Nihayah (XI/316)
7 Lihat: Hinanya Hati Yang Keras. Said Yai. Majalah As-Sunnah.
8 Adabud-Dunya wad-Din hal.321.
9 HR Abu Dawud no. 4990. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Targhib wat-Tarhiib no. 2944).
10 HR Abu Dawud no. 5003. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
11 HR Abu Dawud no. 5004, . Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
12 HR At-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar