Minggu, 12 Juli 2015

Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan

“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).

Lebarannya Rasulullah SAW

Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”

Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’.” (HR Ibnu Majah).

Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.

Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).

Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).

Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”

Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”

Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).

Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).

Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.

Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.

Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”

Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.

Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras.

Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.

Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.

Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”

Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.

Saling Bermaafan

Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’

Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.

Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.

Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).

Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).

Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).

Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.

Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’

Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.

Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’

Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’

Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.

Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’

Aku jawab, ‘Ya.’

Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’

Demikianlah sampai aku merasa bosan.

Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’

Aku jawab, ‘Cukup.’

‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”

Hakikat Kemenangan

Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.

Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, “Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”

Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.

Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:

Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya

Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.

 Kesedihan Para Ulama Salaf Berpisah Dengan Ramadhan

Hari demi hari, jam demi jam tidak terasa sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan suci nan mulia ini, bulan kesabaran dan latihan, bulan rahmat dan ampunan, bulan Quran dan qiyam, bulan kemuliaan dan keberkahan, bulan di mana terdapat malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Masih banyak kegiatan ibadah yang belum optimal kita lakukan di bulan ini, atau bahkan kita masih sibuk urusan duniawi di bulan ini sehingga banyak target yang belom kita laksanakan di bulan mulia ini. Sedangkan kita tidak tahu apakah umur kita masih dipanjangkan oleh Allah hingga berjumpa Ramadhan di tahun yang akan datang ?

Bagi para ulama salaf shalih menjelang  hari-hari kepergian Ramadhan, begitu berat dan sedih mereka rasakan. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Betapa tidak, bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم

“ Para ulama salaf, berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadhan) “.[1]

Beliau juga mengatakan :

كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر فيقال له: إنه يوم فرح وسرور فيقول: صدقتم ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا فلا أدري أيقبله مني أم لا ؟

“ Sebagian ulama salaf menampakkan kesedihan di hari raya Idul Fitri, Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”[2]

Wahb bin al-Ward melihat suatu kaum sedang tertawa di hari raya, maka beliau mengatakan :

إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين

“ Jika mereka termasuk orang yang diterima ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa syukurnya ? dan jika mereka termasuk orang yang ditolak ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa takut mereka ? “.[3]

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam :

يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه، ومن هذا المحروم فنعزيه. وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه

 “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”[4]

Ucapan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :

من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول هنيئا لك أيها المردود جبر الله مصيبتك

 “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, semoga Allah menambal musibahmu ”.[5]

Subhanallah, demikianlah keadaan ulama salaf jika menjelang kepergian bulan Ramadhan. Mereka merasa sedih sebab kesempatan luar biasa itu tidak datang setiap hari atau bulannya, mereka perlu berdoa keras supaya Allah memanjangkan usia mereka dan menyampaikan mereka kepada kesempatan emas tersebut. Dan mereka merasa sedih sebab belum tentu amalan yang mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, diterima oleh Allah Ta’ala. Inilah keadaan ulama salaf, mereka masih merasa khawatir amalan ibadah mereka tidak diterima Allah karena merasa diri masih belum sempurna melakukannya dan merasa banyak kekurangannya. Padahal realitanya mereka sungguh orang yang paling bersungguh-sungguh di dalam menjalankan hak-hak di bulan Ramadhan.

Sekarang kita lihat bagaimana kesungguhan para ulama salaf ketika mereka berada di dalam bulan Ramadhan :

Adz-Dzahabi mengatakan :

كان الأسود بن يزيد يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء، وكان يختم القرآن في غير رمضان في كل ست ليالٍ

“ al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan di setiap dua malamnya. Beliau tidur di antara maghrib dan Isya, dan beliau mengkhatamkan al-Quran di selain bulan Ramadhan setiap enam malam sekali “.[6]

Sufyan ats-Tsauri fokus membaca al-Quran.

كان سفيان الثوري إذا دخل رمضان ترك جميع العباد وأقبل على قراءة القرآن

“ Sufyan ats-Tsauri jika masuk bulan Ramadhan, maka beliau meninggalkan orang-orang dan fokus membaca al-Quran “.[7]

Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan 17 khataman.

كان الوليد بن عبد الملك يختم في كل ثلاثٍ، وختم في رمضان سبع عشرة ختمه

“ Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan al-Quran tiap tiga hari sekali, dan ia mengkhatamkannya di bulan Ramadhan sebanyak 17 kali khataman “.[8]

Qatadah mengkhatamkan al-Quran setiap 3 hari.

كان قتادة يختم القرآن في سبع، وإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاثٍ، فإذا جاء العشر ختم كل ليلةٍ

“ Qatadah mengkhatamkan al-Quran di setiap tujuh hari sekali, dan jika telah datang bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkannya tiap tiga hari sekali, dan jika sudah masuk hari kesepuluh terakhir, maka ia mengkhatamkannya setiam malamnya “.[9]

Asy-Syafi’i mengkhatamkan 60 kali khataman.

وقال الربيع بن سليمان: كان الشافعي يختم القرآن في شهر رمضان ستين ختمة وفي كل شهر ثلاثين ختمة

“ Rabi’ bin Sulaiman berkata, “ Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan setiap bulan biasa sebanyak 30 kali khataman “.[10]

Imam Bukhari khatamn satu kali tiap hari.

كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ فِي النَّهَارِ كُلَّ يَوْمٍ خَتْمَةً، وَيَقُوْمُ بَعْدَ التَّرَاوِيْحِ كُلَّ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِخَتْمَةٍ

“Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) mengkhatamkan al-Quran di siang hari bulan Ramadlan sebanyak satu kali khataman, dan salat malam setelah Tarawih khatam al-Quran tiap 3 hari “[11]

Zuhair al-Marwazi : 90 Kali selama Ramadhan.

وَكَانَ زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِي يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ تِسْعِيْنَ خَتْمَةً مَاتَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَخَمْسِيْنَ وَمِائَتَيْنِ

“Zuhair bin Muhammad al-Marwazi mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan sebanyak 90 kali. Ia wafat tahun 258 H”[12]

Hasan al-Susi khatam sekali tiap hari.

حَكَتْ عَنْهُ (اَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ نَصْرٍ السُّوْسِي) زَوْجَتُهُ، وَكَانَتِ امْرَأَةً صَالِحَةً: أَنَّهُ كَانَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ خَتْمَةً. حَتَّى كَانَتْ رِجْلَاهُ تَتَوَرَّمُ مِنَ الْقِيَامِ

“Istri Abu Hasan Ali bin Nashr al-Susi, ia wanita salehah, berkata bahwa suaminya mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan setiap malam, hingga kedua kakinya membengkak”[13]

Abdullah bin Umar fokus beribadah hingga subuh.

وقال نافع: كان ابن عمر رضي الله عنهما يقوم في بيته في شهر رمضان، فإذا انصرف الناس من المسجد أخذ إداوةً من ماءٍ ثم يخرج إلى مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يخرج منه حتى يصلي فيه الصبح. أخرجه البيهقي

“ Nafi’ berkata, “ Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan qiyam di rumahnya di bulan Ramadhan, apabila manusia telah kembali dari masjid, maka beliau mengambil sebejana air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak keluar lagi hingga beliau selesai sholat subuh di sana “. (HR. Al-Baihaqi)

Abu Muhammad al-Labban selama Ramadhan tidak pernah tidur seditik pun.

Al-Hafidz adz-Dzahabi bercerita dari Abi Muhammad al-Labban :

أدرك رمضان سنة سبع وعشرين وأربعمائة ببغداد فصلّى بالناس التراويح في جميع الشهر فكان إذا فرغها لا يزال يصلي في المسجد إلى الفجر، فإذا صلى درّس أصحابه. وكان يقول: لم أضع جنبي للنوم في هذا الشهر ليلاً ولا نهاراً. وكان ورده لنفسه سبعا مرتلاً

“ al-Labban pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.[14]

Demikianlah konidisi dan keadaan para ulama salaf selama di bulan Ramadhan yang mulia, semangat yang begitu tinggi, fokus yang luar biasa, keikhlasan yang luhur dan keta’atan yang optimal, sungguh jauh jarak di antara kita dan mereka. Sepatutnyalah kita yang harusnya lebih sedih dan banyak meneteskan air mata ketimbang mereka, karena kita akui banyak ibadah yang tidak begitu optimal bahkan banyak kekurangannya selama di bulan Ramadhan ini bahkan seminggu menjelang hari raya,  yang seharusnya kita lebih giat dan semangat lagi melakukan ibadah i’tikaf, membaca al-Quran, berdzikir dan lainnya, tapi malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Bukan berarti kita dilarang merasa senang dan gembira menyambut hari raya, bahkan itu dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i). Akan tetapi jangan sampai rasa gembira kita melalaikan dari menggunakan kesempatan emas ini untuk lebih menggapai pahala dan ridha dari Allah Ta’alaa.

Semoga Allah menerima puasa dan qiyam kita, dan mau merima yang sedikit dari apa yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita yang banyak, dan semoga kita dipanjangkan usia oleh Allah hingga hidup di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Aamiin Yaa Rabbal aalamiin..

Rujukan :

[1] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 186

[2] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187

[3] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187

[4] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187

[5] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187

[6] Siyar A’lam an-Nubala : 4/51

[7] Lathaif al-Ma’arif : 318

[8] Siyar A’lam an-Nubala : 4/347

[9] Siyar A’Lam an-Nubala : 5/276

[10]  Siyar A’lam an-Nubala : 10/90

[11] Siyar A’lam an-Nubala : 12/439

[12] Thabaqat al-Huffadz : 1/48

[13] Tartib al-Madarik  wa taqrib al-Masalik : 1/382

[14] Tarikh al-Islam : 1/3145


Perpisahan Dengan Bulan Ramadhan
Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan …
By Ummu Sa'id    September 5, 2010
0 55 7

Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” (Perpisahan dengan Bulan Ramadhan), juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua.

Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan

Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas.

Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760]

Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2]

Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759]

Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[HR. Bukhari no. 1901.]

Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena (1) iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan (2) mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5]

Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[HR. Muslim no. 233]

Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran:

Pertama, amalan wajib (seperti puasa Ramadhan, -pen) bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar.

Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8]

Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah (taubat yang sesungguhnya).

Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna (29 atau 30 hari). Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 373]

Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulan Ramadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab (terkabulkan), apalagi ketika berbuka.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 378]

Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen) dalam shalat.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 383]

Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”

Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima

Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Qs. Al Mu’minun: 60)

‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Maka itulah yang disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
“Banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Dan banyak yang melakukan shalat tarawih, juga tak dapat apa-apa kecuali hanya begadang saja.” (Hr. Ahmad)

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar