س 65: ما حكم قراءة القرأن للميت على القبر؟ وهل يصل ثوابها إليه؟
الجواب:
أجمع العلماء على ان القراءة على القبر لا تحرم ولا يأثم فاعلها وذهب جماهير العلماء من الحنفية والشافعية والحنابلة إلى إستحبابها لما روي أنس مرفوعا قال : من دخل المقابر فقرأ فيها – يس – خفف عنهم يومئذ وكان له بعددهم حسنات" ولما صح عن ابن عمر رضي الله عنهما انه أوصى اذا دفن أن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها
اما المالكية فقد ذهبوا ألى كراهة القراءة القراءة علىى القبر ولكن الشيخ الدردير رضي اللع عنه قال: المتأخرون على أنه لا بأس بقراءة الفرآن والذكر وجعل ثوابه للميت ويحصل له الاجر إن شاء الله"
والخلاف فى هذه المسألة ضعيف ومذهب من استحب قراءة القران وأجازها هو الاقوى حتى إن بعض العلماء رأى أن هذه المسألة مسألة إجماع وصرحوا بذالك وممن ذكر هذا الاجماع الامام إبن قدامة المقدسى الحنبلى حيث قال :وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذالك إن شاء الله –إلى أن قال – قال بعضهم وإذا قرئ القرآن عند الميت أو أهدى إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة ولنا ما ذكرناه وأنه إجماع المسلمين فانهم فى كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير. إهــ
وقد نقل الاجماع ايضا الشيخ العثمانى وعبارته فى ذالك : واجمعوا على أن الاستغفار والدعاء والصدقة والحج والعتق تنفع للميت ويصل إليه ثوابه وقراءة القرآن عند الفبر مستحبة إهــ
ونص العلماء على وصول ثواب القراءة للميت وأخذوا ذالك من جواز الجح عنه ووصول ثوابه إليه لأن الجح يشتمل على الصلاة والصلاة تقرأ فيها الفاتحة وغيرها وما وصل كله وصل بعضه فثواب القراءة يصل للميت بإذن الله تعالى خصوصا إذا دعا القارئ أن يهب الله تعالى مثل ثواب قراءته للميت
وعلى ما تقدم فان أغلب العلماء – بل نقل بعضهم الإجماع – على جواز القراءة على الميت كما بينا وأما إهداء الثواب للميت وهل يصل فالجمهور على انه يصل وذهب الشافعية إلى انه يصل كدعاء بأن يقول القارئ مثلا : اللهم اجعل مثل ثواب ما قرأت لفلان, لا إهداء نفس العمل والخلاف يسير ولا ينبغى الاختلاف فى هذه المسألة والله تعالى اعلم واعلم
Pertanyaan ke 65: apakah hukum membaca al-quran bagi mayit atas kubur? Apakah sampai pahalanya kepada mayit?Jawab:
Para ulama telah ijmak bahwa membaca al-quran diatas kubur tidak haram dan pelakunya tidak berdosa.
Mayoritas ulama Mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali berpendapat disunatkan hal demikian, berdasarkan hadits marfu` riwayat Anas:
Barangsiapa masuk pemakaman kemudian membaca surat Yasin, niscaya Allah ringankan baginya pada hari itu. Dan baginya kebaikan dengan jumlah tersebut. Dan berdasarkan hadits shahih dari Ibnu Umar ra bahwa berliau berwasiat apabila dikuburkan supaya dibacakan disampingnya permulaan surat al-Baqarah dan penutupnya.
Sedangkan ulama Mazhab Maliky mereka berpendapat makruh membaca diatas kubur, tetapi Syeikh ad-Dardir (salah satu ulama besar Mazhab Maliky) berkata: para ulama mutaakhirun berpendapat tidak mengapa dengan membaca al-quran dan zikir serta menjadikan pahalanya kepada mayit, pahala tersebut akan sampai. Insya Allah.
Khilaf pada masalah ini lemah. Pendapat golongan yang menyatakan sunat membaca al-quran dan membolehkannya adalah pendapat yang kuat, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa masalah ini merupakan masalah yang telah disepakati ulama(ijmak) dan mereka menerangkannya secara jelas.
Sebagian ulama yang menyebutkan ijmat tersebut adalah Imam Ibnu Qudamah al-Muqaddisy al-Hanbali beliau berkata:
Qurbah apapun yang dilakasanakan dan dijadikan pahalanya untuk mayit yang muslim atau dihadiahkan pahalanya kepada mayit niscaya pahalanya bisa sampai bagi orang yang membacanya dan adalah mayit seolah ada dihadapan sehingga diharapkan untuk mendapatkan rahmat. Pendapat kami adalah yang telah kami sebutkan. Dan hal ini merupakan kesepakatan kaum muslimin (ijmak) karena umat muslim pada setiap masa dan daerah berhimpun dan membaca al-quran serta menghadiahkan pahalanya kepada mayit tanpa ada orang yang mengingkarinya.
Dan ijmak ini juga di kutip oleh syeikh Usmany. Beliau beliau tetang hal ini: “para ulama telah sepakat bahwa istighfar, doa, shadaqah, haji, memerdekakan budak dapat bermanfaat bagi mayat dan sampai pahalanya kepada mayat dan membaca al-quran di samping kubur di sunatkan.
Para ulama menyebutkan secara terang bahwa sampai pahala bacaan (alquran) bagi mayat. Hal ini mereka pahami dari kebolehan haji untuk mayat dan sampai pahalanya kepada mayat karena dalam haji juga ada shalat dan dalam shalat ada pembacaan al-fatihah dan lainnya, sesuatu yang bisa sampai pahalanya secara keseluruhannya maka sebagiannya juga bisa sampai. Maka pahala bacaan al-quran bisa sampai kepada mayat dengan izin Allah ta`ala terlebih lagi bila pembacanya mendoakan supaya Allah memberikan seperti pahala bacaannya bagi mayat.
Dari penjelasan terdahulu, mayoritas para ulama –bahkan sebagian ulama mengatakan ijmak- berpendapat boleh membaca al-quran sebagaimana telah kami terangkan. Sedangkan masalah menghadiah pahala bagi mayat dan apakah sampai pahalanya maka mayoritas ulama berpendapat sampai pahalanya. Para ulama Mazhab Syafii berpendapat sampai pahalanya sama halnya dengan doa misalnya dengan mengucapkan: “Ya Allah, jadikanlah seperti pahala bacaanku kepada si fulan”, bukan maksudnya menghadiahkan diri amalan. Perbedaan pendapat pada masalah ini hanyalah hal kecil dan tidak sepatutnya diperselisihkan pada masalah ini.
Wallahu A`lam.
Sedekah dan do'a sampai Mayit
SALAH KAFRAH WAHABI DALAM MEMAHAMI DOA..
Mengenai dalil Wahabi “Terputusnya Amal Orang Yang Meninggal Kecuali 3 Hal.
Banyak orang salah mengartikan makna hadits berikut ini, dengan adanya salah penafsiran tersebut mereka mudah meng haramkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup yang ditujukan pahalanya untuk orang yang mati.
Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad:
عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ ، رواه ابو داود
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya”.Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit !
Sanggahan :
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh. Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdo’a untuk orang yang masih hidup. Malah ada hadits Rasul- Allah saw. bahwa para Nabi dan Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt. didalam kuburnya.
Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amal- nya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamal kannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang berarti bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya) yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .
Begitu juga pendapat sebagian golongan yang mengikat hanya do’a dari anak sholeh saja yang bisa diterima oleh Allah swt. adalah pikiran yang tidak tepat baik secara naqli (nash) maupun aqli (akal) karena hal tersebut akan bertentangan juga dengan ayat ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. mengenai amalan-amalan serta do’a seseorang yang bermanfaat bagi si mayit maupun bagi yang masih hidup.
Mengapa dalam hadits ini dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya dimana orang-orang lain telah melupakan ayahnya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti serta selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits ini, dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya mem- batasi do’a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayyit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa’at/manfaat do’a dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya do’a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayyit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.
Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: ‘ Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya’
Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى صلى الله عليه و سلم وَالآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى اَدَعُهُ اَبَدًا
“Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”. (HR Turmudzi).Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ ، رواه مسلم
“Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi menyembelihnya”. (HR. Muslim)Begitu juga hadits yang senada diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah shalat ‘Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau di- berikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan:
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat ber- qurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.
Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: ‘Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’.
Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengkomentari hadits diatas tersebut dengan katanya; “Do’a Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini merupa- kan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain.
Dan mengikuti petunjuk beliau saw. tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh”.
Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugur kan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya hadits dari Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat do’a untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya
sumber keterangan data
Makalah "Bid'ah dan persoalanya"
Mengirim Fatihah Untuk Mayyit Bermanfaat dan Sampai Menurut Wahhabi
Kirim Fatihah kepada orang mati manurut Wahabi
Para ulama panutan kaum Wahabi, ternyata menganjurkan kita mengirimkan pahala bacaan al-Fatihah kepada orang-orang kita yang sudah meninggal dunia. Setidaknya tiga ulama panutan Wahabi menganjurkan.
1) SYAIKH IBNU TAIMIYAH.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa juz 24 halaman 366 sebagai berikut:
وأما قراءة القرآن والصدقة وغيرها من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره، وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية كالصوم والصلاة والقراءة، والصواب أن الجميع يصل إلى الميت وهذا مذهب أحمد وأبي حنيفة وطائفة من أصحاب مالك والشافعي، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم سواء كان من أقاربه أو غيرهم انتهى ( مجموع الفتوى ج24 ص366 ).
Adapun membaca al-Qur’an, sedekah dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka tidak ada pertentangan di kalangan ulama Sunnah Wal-Jama’ah tentang sampainya pahala ibadah yang bersifat harta seperti sedekah dan memerdekakan budak. Sebagaimana sampai pula pahala doa, istighfar, shalat jenazah dan berdoa di makamnya. Para ulama bertentangan tentang sampainya pahala amalan-amalan yang bersifat fisik seperti puasa, shalat dan membaca al-Qur’an. Pendapat yang benar, semua itu sampai kepada mayit. Ini adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok dari pengikut Malik dan al-Syafi’i. Mayit dapat mengambil manfaat dengan setiap kebaikan yang sampai kepadanya dari setiap Muslim, baik dari kerabatnya maupun orang lain. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 24 halaman 366).2) SYAIKH IBNU ‘UTSAIMIN
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata dalam fatwanya sebagai berikut:
الراجح أن الميِّت ينتفع بذلك وأنَّه يجوز للإنسان أن يقرأ بنيَّة أنَّه لفلان أو فلانة من المسلمين سواء كان قريباً أم غير قريب لأنَّه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميِّت انتهى . (المجموع الثمين من فتاوى ابن عثيمين ج2ص115 ).
Pendapat yang unggul, sesungguhnya orang yang mati dapat mengambil manfaat dengan kiriman pahala tersebut. Seseorang boleh membaca al-Qur’an atau Surat al-Fatihah dengan niat untuk si Fulan atau Fulanah dari kaum Muslimin, baik dia kerabatnya atau pun bukan kerabatnya. Karena telah datang dalil bolehnya menghadiahkan pahala dalam jenis ibadah tersebut kepada orang yang meninggal dunia. (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Majmu’ al-Tsamin min Fatawa Ibn ‘Utsaimin, juz 2 halaman 115).Pandangan senada, juga dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab al-Ruh halaman 258, dan Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah juz 2 halaman 664. Sementara al-Albani, ulama Wahabi juga, dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah juz 1 halaman 783-784 membolehkan hadiah pahala al-Fatihah dan al-Qur’an kepada kedua orang tua saja. Kepada orang lain, al-Albani melarang. Yang jelas, al-Albani tidak punya dalil dalam pembatasan tersebut.
KESIMPULAN:
1) Hadiah pahala bacaan al-Fatihah atau al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dilakukan dan tidak termasuk bid’ah.
2) Hadiah pahala tersebut akan sampai kepada orang yang dituju dan bermanfaat bagi mereka.
3) Boleh membaca al-Fatihah ila ruuh fulan ….., sebagaimana dalam fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan tidak termasuk bid’ah.
4) Bacaan tersebut boleh dilakukan secara berjamaah seperti dalam Tahlilan, atau secara individu. Wallahu al-muwaffiq.
Sedekah untuk orang meninggal dunia
Gimana dengan hadis putusnya amalan setelah wafat kecuali 3 hal di situ tidak dijelaskan sedekah pada orang meninggal. karena ada Ulama yang melarang sedekah terhadap orang yang meninggal dengan dalil hadis tersebut.
Memberikan sedekah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal dunia adalah Sunnah berdasarkan Hadis:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا ، وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ ، أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ ، تَصَدَّقْ عَنْهَا » .(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Aisyah menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang menghadap Rasulullah SAW lalu bertanya: “Wahai rasulullah, ibuku meninggal dunia tiba-tiba. Aku kira bila sempat berbicara tentulah ia akan bersedekah. Apakah aku bersedekah atas nama dia?”. Rasulullah SAW bersabda: “Ya, bersedekahlah atas namanya” (HR Al Bukhari dan Muslim).أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنهم - أَخَا بَنِى سَاعِدَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ ، فَأَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، فَهَلْ يَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا . (رواه البخاري)
Artinya: Bahwasanya Ibunda Sa’ad bin Ubadah RA seorang keluarga Bani Sa’idah meninggal dunia ketika Sa’ad tidak ada di tempat. Ia pun bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia pada saat aku tidak di sampingnya. Apakah ada sesuatu yang dapat aku sedekahkan atas nama dia?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya”. Sa’ad berkata: “Aku persaksikan kepada engkau, sungguh aku punya sebidang kebun, kini aku sedekahkan atas nama ibuku” (HR Al Bukhari dan Muslim).Selanjutnya berkenaan dengan Hadis yang anda tanyakan, baiklah kita kutipkan selengkapnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ».(رواه مسلم)
Artinya: “Bila manusia meninggal dunia, maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga amal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akannya” (HR Muslim).Tentang Hadis ini baiklah kita perhatikan:
Pertama, yang mengatakan “Terputusnya amal manusia setelah kematiannya kecuali 3 perkara” adalah Rasulullah SAW, yang mengatakan bahwa “Sedekah dapat sampai kepada orang yang telah meninggal dunia” juga Rasulullah SAW. Adalah tidak mungkin Rasulullah SAW mengucapkan kata-kata yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Yang mungkin terjadi adalah adanya manusia yang tidak tahu cara memahami keduanya atau hanya tahu salah satunya lalu menyimpulkannya.
Kedua, Bagi yang membacanya dengan sabar dan tekun niscaya akan mengetahui bahwa yang dikatakan “Terputus” alias “tidak bertambah” adalah amalan dia sendiri. Kalimat In qatha’a amaluhu artinya adalah “Terputus amal orang yang mati”. Jadi, orang mati tidak lagi mendapatkan pahala dari pekerjaannya sendiri. Selanjutnya Rasulullah SAW mengecualikan tiga hal sebagaimana bagian belakang Hadis. Yang 3 perkara itu adalah amal dia sendiri yang meskipun sudah meninggal dunia masih mendatangkan pahala. Jadi, Hadis ini tidak ada kaitan dengan orang lain.
Ketiga, Adapun amaliah orang lain adalah sebagaimana disebutkan dalam Hadis sedekah di atas. Sekiranya orang lain tidak dapat memberikan manfaat kepada si mayit, maka semua do’a, istighfar dan shalat jenazah tidak ada manfaatnya untuk orang yang telah meninggal dunia. Inilah ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sedangkan apa yang anda kutip itu adalah ajaran aliran Muktazilah.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar