“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Lebarannya Rasulullah SAW
Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’.” (HR Ibnu Majah).
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).
Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”
Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras.
Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.
Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.
Saling Bermaafan
Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’
Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.
Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’
Aku jawab, ‘Ya.’
Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah sampai aku merasa bosan.
Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab, ‘Cukup.’
‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”
Hakikat Kemenangan
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, “Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Kesedihan Para Ulama Salaf Berpisah Dengan Ramadhan
Hari demi hari, jam demi jam tidak terasa sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan suci nan mulia ini, bulan kesabaran dan latihan, bulan rahmat dan ampunan, bulan Quran dan qiyam, bulan kemuliaan dan keberkahan, bulan di mana terdapat malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Masih banyak kegiatan ibadah yang belum optimal kita lakukan di bulan ini, atau bahkan kita masih sibuk urusan duniawi di bulan ini sehingga banyak target yang belom kita laksanakan di bulan mulia ini. Sedangkan kita tidak tahu apakah umur kita masih dipanjangkan oleh Allah hingga berjumpa Ramadhan di tahun yang akan datang ?
Bagi para ulama salaf shalih menjelang hari-hari kepergian Ramadhan, begitu berat dan sedih mereka rasakan. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak, bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم
“ Para ulama salaf, berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadhan) “.[1]
Beliau juga mengatakan :
كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر فيقال له: إنه يوم فرح وسرور فيقول: صدقتم ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا فلا أدري أيقبله مني أم لا ؟
“ Sebagian ulama salaf menampakkan kesedihan di hari raya Idul Fitri, Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”[2]
Wahb bin al-Ward melihat suatu kaum sedang tertawa di hari raya, maka beliau mengatakan :
إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين
“ Jika mereka termasuk orang yang diterima ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa syukurnya ? dan jika mereka termasuk orang yang ditolak ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa takut mereka ? “.[3]
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam :
يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه، ومن هذا المحروم فنعزيه. وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه
“Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”[4]
Ucapan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول هنيئا لك أيها المردود جبر الله مصيبتك
“Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, semoga Allah menambal musibahmu ”.[5]
Subhanallah, demikianlah keadaan ulama salaf jika menjelang kepergian bulan Ramadhan. Mereka merasa sedih sebab kesempatan luar biasa itu tidak datang setiap hari atau bulannya, mereka perlu berdoa keras supaya Allah memanjangkan usia mereka dan menyampaikan mereka kepada kesempatan emas tersebut. Dan mereka merasa sedih sebab belum tentu amalan yang mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, diterima oleh Allah Ta’ala. Inilah keadaan ulama salaf, mereka masih merasa khawatir amalan ibadah mereka tidak diterima Allah karena merasa diri masih belum sempurna melakukannya dan merasa banyak kekurangannya. Padahal realitanya mereka sungguh orang yang paling bersungguh-sungguh di dalam menjalankan hak-hak di bulan Ramadhan.
Sekarang kita lihat bagaimana kesungguhan para ulama salaf ketika mereka berada di dalam bulan Ramadhan :
Adz-Dzahabi mengatakan :
كان الأسود بن يزيد يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء، وكان يختم القرآن في غير رمضان في كل ست ليالٍ
“ al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan di setiap dua malamnya. Beliau tidur di antara maghrib dan Isya, dan beliau mengkhatamkan al-Quran di selain bulan Ramadhan setiap enam malam sekali “.[6]
Sufyan ats-Tsauri fokus membaca al-Quran.
كان سفيان الثوري إذا دخل رمضان ترك جميع العباد وأقبل على قراءة القرآن
“ Sufyan ats-Tsauri jika masuk bulan Ramadhan, maka beliau meninggalkan orang-orang dan fokus membaca al-Quran “.[7]
Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan 17 khataman.
كان الوليد بن عبد الملك يختم في كل ثلاثٍ، وختم في رمضان سبع عشرة ختمه
“ Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan al-Quran tiap tiga hari sekali, dan ia mengkhatamkannya di bulan Ramadhan sebanyak 17 kali khataman “.[8]
Qatadah mengkhatamkan al-Quran setiap 3 hari.
كان قتادة يختم القرآن في سبع، وإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاثٍ، فإذا جاء العشر ختم كل ليلةٍ
“ Qatadah mengkhatamkan al-Quran di setiap tujuh hari sekali, dan jika telah datang bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkannya tiap tiga hari sekali, dan jika sudah masuk hari kesepuluh terakhir, maka ia mengkhatamkannya setiam malamnya “.[9]
Asy-Syafi’i mengkhatamkan 60 kali khataman.
وقال الربيع بن سليمان: كان الشافعي يختم القرآن في شهر رمضان ستين ختمة وفي كل شهر ثلاثين ختمة
“ Rabi’ bin Sulaiman berkata, “ Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan setiap bulan biasa sebanyak 30 kali khataman “.[10]
Imam Bukhari khatamn satu kali tiap hari.
كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ فِي النَّهَارِ كُلَّ يَوْمٍ خَتْمَةً، وَيَقُوْمُ بَعْدَ التَّرَاوِيْحِ كُلَّ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِخَتْمَةٍ
“Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) mengkhatamkan al-Quran di siang hari bulan Ramadlan sebanyak satu kali khataman, dan salat malam setelah Tarawih khatam al-Quran tiap 3 hari “[11]
Zuhair al-Marwazi : 90 Kali selama Ramadhan.
وَكَانَ زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِي يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ تِسْعِيْنَ خَتْمَةً مَاتَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَخَمْسِيْنَ وَمِائَتَيْنِ
“Zuhair bin Muhammad al-Marwazi mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan sebanyak 90 kali. Ia wafat tahun 258 H”[12]
Hasan al-Susi khatam sekali tiap hari.
حَكَتْ عَنْهُ (اَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ نَصْرٍ السُّوْسِي) زَوْجَتُهُ، وَكَانَتِ امْرَأَةً صَالِحَةً: أَنَّهُ كَانَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ خَتْمَةً. حَتَّى كَانَتْ رِجْلَاهُ تَتَوَرَّمُ مِنَ الْقِيَامِ
“Istri Abu Hasan Ali bin Nashr al-Susi, ia wanita salehah, berkata bahwa suaminya mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan setiap malam, hingga kedua kakinya membengkak”[13]
Abdullah bin Umar fokus beribadah hingga subuh.
وقال نافع: كان ابن عمر رضي الله عنهما يقوم في بيته في شهر رمضان، فإذا انصرف الناس من المسجد أخذ إداوةً من ماءٍ ثم يخرج إلى مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يخرج منه حتى يصلي فيه الصبح. أخرجه البيهقي
“ Nafi’ berkata, “ Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan qiyam di rumahnya di bulan Ramadhan, apabila manusia telah kembali dari masjid, maka beliau mengambil sebejana air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak keluar lagi hingga beliau selesai sholat subuh di sana “. (HR. Al-Baihaqi)
Abu Muhammad al-Labban selama Ramadhan tidak pernah tidur seditik pun.
Al-Hafidz adz-Dzahabi bercerita dari Abi Muhammad al-Labban :
أدرك رمضان سنة سبع وعشرين وأربعمائة ببغداد فصلّى بالناس التراويح في جميع الشهر فكان إذا فرغها لا يزال يصلي في المسجد إلى الفجر، فإذا صلى درّس أصحابه. وكان يقول: لم أضع جنبي للنوم في هذا الشهر ليلاً ولا نهاراً. وكان ورده لنفسه سبعا مرتلاً
“ al-Labban pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.[14]
Demikianlah konidisi dan keadaan para ulama salaf selama di bulan Ramadhan yang mulia, semangat yang begitu tinggi, fokus yang luar biasa, keikhlasan yang luhur dan keta’atan yang optimal, sungguh jauh jarak di antara kita dan mereka. Sepatutnyalah kita yang harusnya lebih sedih dan banyak meneteskan air mata ketimbang mereka, karena kita akui banyak ibadah yang tidak begitu optimal bahkan banyak kekurangannya selama di bulan Ramadhan ini bahkan seminggu menjelang hari raya, yang seharusnya kita lebih giat dan semangat lagi melakukan ibadah i’tikaf, membaca al-Quran, berdzikir dan lainnya, tapi malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Bukan berarti kita dilarang merasa senang dan gembira menyambut hari raya, bahkan itu dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i). Akan tetapi jangan sampai rasa gembira kita melalaikan dari menggunakan kesempatan emas ini untuk lebih menggapai pahala dan ridha dari Allah Ta’alaa.
Semoga Allah menerima puasa dan qiyam kita, dan mau merima yang sedikit dari apa yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita yang banyak, dan semoga kita dipanjangkan usia oleh Allah hingga hidup di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Aamiin Yaa Rabbal aalamiin..
Rujukan :
[1] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 186
[2] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187
[3] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187
[4] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187
[5] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187
[6] Siyar A’lam an-Nubala : 4/51
[7] Lathaif al-Ma’arif : 318
[8] Siyar A’lam an-Nubala : 4/347
[9] Siyar A’Lam an-Nubala : 5/276
[10] Siyar A’lam an-Nubala : 10/90
[11] Siyar A’lam an-Nubala : 12/439
[12] Thabaqat al-Huffadz : 1/48
[13] Tartib al-Madarik wa taqrib al-Masalik : 1/382
[14] Tarikh al-Islam : 1/3145
Perpisahan Dengan Bulan Ramadhan
Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan …
By Ummu Sa'id September 5, 2010
0 55 7
Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” (Perpisahan dengan Bulan Ramadhan), juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua.
Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan
Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas.
Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760]
Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2]
Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759]
Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[HR. Bukhari no. 1901.]
Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena (1) iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan (2) mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5]
Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[HR. Muslim no. 233]
Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran:
Pertama, amalan wajib (seperti puasa Ramadhan, -pen) bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar.
Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8]
Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah (taubat yang sesungguhnya).
Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna (29 atau 30 hari). Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 373]
Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulan Ramadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab (terkabulkan), apalagi ketika berbuka.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 378]
Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen) dalam shalat.[Latho-if Al Ma’arif, hal. 383]
Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”
Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima
Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Qs. Al Mu’minun: 60)
‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”
Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”
Maka itulah yang disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
“Banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Dan banyak yang melakukan shalat tarawih, juga tak dapat apa-apa kecuali hanya begadang saja.” (Hr. Ahmad)
Semoga bermanfaat.
Minggu, 12 Juli 2015
Sabtu, 11 Juli 2015
Hukum Sholat tasbih komplit
DASAR HUKUM SHOLAT TASBIH
PERTANYAANAssalaamu'alaykum wr.wb.
Mohon pencerahannya dr poro alim
Apakah ada dasar dari Qur'an atau hadits tentang Sholat Tasbih ?
Mohon dalilnya .. matur suwun
JAWABAN
Tentang shalat tasbih yang ditanyakan, nash haditsnya adalah sebagai berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعطِيْكُ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحَبُوِكَ أَلاَ أَفَعَلُ بِـكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْـتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوْلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمـَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِـيْرَهُ سِـرَّهُ وَعَلاَنِيَـتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبـَعَ رَكَعَاتٍ تَكْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَائَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُلِ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَـاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَـاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْـجُدُ فَتَقُولُهَا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ بُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَـنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُركَ مَرَّةً
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Hai Abbas, hai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu: dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar’ sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.”
Takhrij Hadits
Hadits riwayat Abu Dawud 1297; Ibnu Majah, 1387; Ibnu Khuzaimah, 1216; al-Hakim dalam Mustadrak, 1233; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/51-52, dan lainnya dari jalan Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam, dari Abu Syu’aib Musa bin Abdul Aziz, dari Hakam bin Abban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sanad ini berderajat hasan.
Hadits ini juga memiliki banyak jalan yang menguatkan, sehingga sangat banyak ulama Ahli Hadits yang menguatkannya. Dalam riwayat lain disebutkan,
عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ أَرْبَـعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ وَالنَّهَار
“Dari Abul Jauza’, dia berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu Dawud, no. 1298).
Juga diriwayatkan Thabarani dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللهُ لَكَ
“Seandainya dosa-dosamu semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.
TATACARA SHOLAT TASHBIH
Assalamu 'alaikum. Sholat tasbih brpa raka'at dan bagaimana tata caranya?
Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh
Empat rakaat
Setiap rakaat membaca 75 kali ''subhaanallah walhamdulillahi wala ilaha illallahu wallahu akbar''
dengan perincian: 15 kali sesudh membaca fatihah,10 kali pada setiap ruku',i'tidal,sujud dua kali dan duduk di antara dua sujud sehingga -jumlah semuanya 50 kali tasbih , yg di bc sesudh masing2 dzikir yg brlaku dlm masing2 rukun tersebut..
dan 10 kali pada duduk istirahah.
Untuk duduk istirahah ini carax, stlh slsai sujud kedua, lalu mulai duduk, terlebih dahulu takbir, dan ktk brdiri g ush tkbr..
Untuk raka'at yg tdk ada duduk istirahahx, maka pembca'an tasbih 10 kali ini di letakkan setelah duduk tasyahud sebelum membca tasyahud. .
Untuk lbh jelasnya lihat di fathul mu'in..
Mungkin tmn2 yg lain ada yg nambahin.
assalaamu'alaikum..saya pernah jama'ah slt tasbih..
ko cuma 2 rakaat ya? mhon jabarin dong....
tp qlu kt guru ngaji sih 4 rakaat..
yg mi maksud 4 raka'at 2 x salam,.
Ada tambahan lg g,.
Wa'alaikum salam wr wb
4 rokaat dgn 1 salam atau dua kali slm blh. .
Kalo hanya 2 rokaat?? .. Monggo dibahas :)
Wa'alaikumsalam wr wb
ومنه صلاة التسابيح
وهي أربع ركعات بتسليمة واحدة وهو الأحسن نهارا أو بتسليمتين وهو الأحسن ليلا لحديث صلاة الليل مثنى مثنى وصفتها أن تحرم بها وتقرأ دعاء الافتتاح والفاتحة وشيئا من القرآن إن أردت والأولى في ذلك أوائل سورة الحديد والحشر والصف والتغابن للمناسبة في ذلك فإن لم يكن فسورة الزلزلة والعاديات وألهاكم والإخلاص ثم تقول بعد ذلك وقبل الركوع سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم خمس عشرة مرة وفي الركوع عشرا وفي الاعتدال عشرا وفي السجود الأول عشرا وفي الجلوس بين السجدتين عشرا وفي السجود الثاني عشرا وفي جلسة الاستراحة أو بعد التشهد عشرا فتلك خمسة وسبعون في كل ركعة منها فأربعة في خمسة وسبعين بثلاثمائة ويأتي قبل هذه التسبيحات بالذكر الوارد في هذه الأركان وهذه رواية ابن عباس وهي أرجح من رواية ابن مسعود وهي بعد التحرم وقبل القراءة خمس عشرة مرة وبعد القراءة وقبل الركوع عشرا وفي الركوع عشرا وفي الاعتدال عشرا وفي السجود الأول عشرا وفي الجلوس بين السجدتين عشرا وفي السجود الثاني عشرا ولا شيء في جلوس الاستراحة ولا بعد التشهد وفيما عدا الركعة الأولى يقول الخمسة عشر بعد القيام وقبل القراءة فإن استطعت أن تصليها في كل يوم فافعل فإن لم تستطع ففي كل شهر مرة فإن لم تستطع ففي كل سنة مرة فإن لم تستطع ففي عمرك مرة فإن لم يفعلها أصلا دل ذلك على تكاسله في الدين
ويدعو بعد التشهد الأخير بهذا الدعاء اللهم إني أسألك توفيق أهل الهدى وأعمال أهل اليقين ومناصحة أهل التوبة وعزم أهل الصبر ووجل أهل الخشية وطلب أهل الرغبة وتعبد أهل الورع وعرفان أهل العلم حتى أخافك اللهم إني أسألك مخافة تحجزني عن معاصيك حق أعمل بطاعتك عملا أستحق به رضاك وحتى أناصحك في التوبة وخوفا منك حتى أخلص لك النصيحة وحتى أتوكل عليك في الأمور كلها وحتى أكون حسن الظن بك سبحان خالق النور
Artinya :
Diantara sholat yang disunahkan adalah sholat TASBIH
Sholat TASBIH berjumlah 4 rokaat yang baik dengan sekali salam bila dilakukan di siang hari dan dengan dua kali salam bila di lakukan di malam hari berdasarkan hadits nabi “sholat malam dua rokaat, dua rokaat”
Tata cara sholat Tasbih :
1. Takbiratul Ihram (bersamaan niat)
2. Membaca doa iftitah
3. membaca Surat Alfaatihah
4. membaca surat-surat dari alquran bisa memakai surat permulaan surat alhadiid, surat alhasyri, surat shoff dan surat attaghoobun karena keempat surat ini memiliki kecocokan dengan sholat tasbih bila tidak boleh memakai surat azzalzalah, al’aadiyaat, attakaatsur dan al-ikhlas
5. membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 15 kali (sebelum ruku)
6. Ruku dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
7. I’tidal dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
8. sujud dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
9. Duduk diantara dua sujud dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
10. Sujud yang kedua dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
11. Duduk istirohah (sebelum bangun untuk berdiri) dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
12. Tasyahud dan membaca
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Sebanyak 10 kali
Maka hitungan bacaan tasbih سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
Dalam setiap rokaat menjadi 75 kali
Hitungan jumlah tasbih dan penempatannya seperti ini paling kuatnya pendapat diantara hadits riwayat Ibni mas’ud ra. :
”Setelah takbiratul ihram 15 kali, setelah membaca fatihah sebelum membaca surat 10 kali, dalam rukuk, I’tidal sujud awal dan ke dua serta duduk dianta dua sujud masing-masing 10 kali dengan tidak membaca tasbih pada duduk istirohat dan setelah tasyahhud, kemudian setelah berdiri membaca tasbih 15 kali begitu juga setelah selesai membaca fatihah sebelum membaca surat 15 kali”
Bila engkau mampu melakukan sholat tasbih tiap hari maka lakukan, bila tidak mampu boleh sebulan sekali, setahun sekali bahkan seumur hidup sekali, bila tidak berarti anda termasuk orang malas dalam menjalani agama,
Dan berdoalah setelah usai tasyahhud akhir *sebelum salam) dengan memakai doa
DOA SOLAT TASBIH
اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ تَوْفِيْقَ اَهْلِ الهُدَى وَاَعْمَالَ اَهْلِ اليَقِيْنِ وَمُنَاصَحَةَ اَهْلِ التَّوْبَةِ وَعَزْمَ اَهْلِ الصَّبْرِ وَوَجَلَ اَهْلِ الْخَشْيَةِ وَطَلَبَ اَهْلِ الرَّغْبَةِ وَتَعَبُّدَ اَهْلِ الْوَرَعِ وَعِرْفَانَ اَهْلِ اْلعِلْمِ حَتَّى نَخَافَـكَ
اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ مَخَافَةَ تُحْجِزُنَا عَنْ مَعَاصِيْكَ حَتَّى نَعْمَلَ بِطَاعَتِـكَ سُبْحَانَ خَالِقَ النُّوْرُ.
والصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ والحَمْدُ للهِ رَبِّ
العَالَمِيْنَ
" Ya Allah aku meminta padaMu pertolongan (melakukan kebaikan) sebagaimana yang
Engkau berikan kepada orang-orang yang mendapatkan petunjuk, amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan tinggi, nasihat-nasihat orang yang ahli bertaubat, kemauan kuat yang dimiliki orang-orang yang ahli bersabar, kesungguhan orang-orang yang selalu takut (padaMu), permintaan orang-orang yang selalu cinta (padaMu), beribadahnya orang-orang yang ahli menjaga diri dari perkara subhat, pengetahuan orang-orang yang ahli dalam ilmu (agama) sehingga akupun dapat takut kepada Mu. Ya Allah sesungguhnya aku meminta padaMu rasa takut yang menjagaku dari melakukan kemaksiatan padaMu, sehingga dengan taat padaMu akupun bisa melakukan amal, yang dengannya bisa kuraih ridloMu dan dengan taubat aku dapat mengambil rasa takut kepada Engkau, dan kumurnikan padaMu nasehat karena malu pada Engkau. Dan aku pasrahkan segala urusan padaMu karena wujudnya prasangka baik kepadaMu. Maha Suci Allah Sang Pencipta Cahaya".
(Nihaayah Azzain I/115)
Shalat Sunat Tasbih (Tata cara)
Shalat sunat tasbih
Para 'Ulama menyebutkan bahwa yang lebih utama pada malam nishfu Sya’ban adalah melaksanakan shalat tasbih yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kepada Paman beliau, Sayyidina ‘Abbas ra sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hijazi al-Fasyani dalam kitabnya, Tuhfat al-Ikhwan fi Qiraat al-Mi'ad fi Rajab wa Sya'ban, cet. II (Mesir: al-Kastaliyah, 1297 H), hal. 65.
Shalat tasbih berjumlah 4 raka’at dengan sekali salam bila dilakukan di siang hari dan dengan dua kali salam bila di lakukan di malam hari.
Tata cara shalat tasbih:
Takbiratul-Ihram (bersamaan niat).
Membaca do’a Iftitah.
Membaca Surat al-Faatihah.
Membaca surat-surat dari al-Qur`an, bisa memakai surat permulaan yaitu surat al-Hadiid, surat al-Hasyr, surat Shaff dan surat al-Taghabun ataupun memakai surat al-Zalzalah, al-‘Adiyat, al-Takatsur dan al-Ikhlas.
Membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 15 kali (sebelum ruku’).
Ruku’ dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
I’tidal dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Duduk di antara dua sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Sujud yang kedua dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Duduk Istirahah (sebelum bangun untuk berdiri) dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Tasyahud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
Semuanya berjumlah 75 kali tasbih dalam setiap raka’at.
Dan berdo’a setelah usai tasyahud akhir sebelum salam dengan memakai doa :
اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ تَوْفِيْقَ اَهْلِ الهُدَى وَاَعْمَالَ اَهْلِ اليَقِيْنِ وَمُنَاصَحَةَ اَهْلِ التَّوْبَةِ وَعَزْمَ اَهْلِ الصَّبْرِ وَوَجَلَ اَهْلِ الْخَشْيَةِ وَطَلَبَ اَهْلِ الرَّغْبَةِ وَتَعَبُّدَ اَهْلِ الْوَرَعِ وَعِرْفَانَ اَهْلِ اْلعِلْمِ حَتَّى نَخَافَـكَ اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ مَخَافَةَ تُحْجِزُنَا عَنْ مَعَاصِيْكَ حَتَّى نَعْمَلَ بِطَاعَتِـكَ سُبْحَانَ خَالِقَ النُّوْرُ. والصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ والحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
"Ya Allah aku meminta pada-Mu pertolongan (melakukan kebaikan) sebagaimana yang Engkau berikan kepada orang-orang yang mendapatkan petunjuk, amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan tinggi, nashihat-nashihat orang yang ahli bertaubat, kemauan kuat yang dimiliki orang-orang yang ahli bersabar, kesungguhan orang-orang yang selalu takut (pada-Mu), permintaan orang-orang yang selalu cinta (pada-Mu), beribadahnya orang-orang yang ahli menjaga diri dari perkara syubhat, pengetahuan orang-orang yang ahli dalam ilmu (agama) sehingga akupun dapat takut kepada-Mu. Ya Allah sesungguhnya aku meminta pada-Mu rasa takut yang menjagaku dari melakukan kemaksiatan pada-Mu, sehingga dengan taat pada-Mu akupun bisa melakukan amal, yang dengannya bisa kuraih ridha-Mu dan dengan taubat aku dapat mengambil rasa takut kepada Engkau, dan kumurnikan pada-Mu nasehat karena malu pada Engkau. Dan aku pasrahkan segala urusan pada-Mu karena wujudnya prasangka baik kepada-Mu. Maha Suci lah Allah Sang Pencipta Cahaya".
Hukum shalat tasbih berjamaah
Salah satu amalan yang lazim di kerjakan oleh kaum muslimin pada malam Nisfu Sya’ban adalah shalat sunat tasbih yang umumnya di kerjakan secara berjamaah, padahal shalat tasbih tidaklah termasuk dalam shalat sunat yang di syariatkan berjamaah!
Bagaimanakah hukumnya melaksanakan shalat sunat tasbih secara berjamaah?
Jawaban:
Shalat tasbih tidak termasuk dalam shalat sunat yang di syariatkan di kerjakan secara berjamaah. Namun boleh saja di kerjakan secara berjamaah tetapi tidak mendapat pahala jamaah kecuali bila bermaksud untuk mengajarkan dan mengajak masyarakat awam untuk melaksanakan shalat tasbih maka perbuatan tersebut mendapat pahala kebaikan juga. Sebagaimana keadaan saat ini bila bukan di kerjakan secara berjamaah bersama-sama, masyarakat awam tidak akan pernah mau melaksanakan shalat tasbih.
Bahkan menurut Imam Ibnu Qasim shalat tasbih berjamaah tersebut tetap di berikan pahala jamaah juga sebagaimana di kutip oleh Imam Ali Syibramalasi dalam Hasyiah Nihayatl Muhtaj.
Akan tetapi bila di takutkan akan timbul persepsi bagi masyarakat awam bahwa shalat tasbih ini termasuk dalam shalat yang di syariatkan berjamaah, maka pelaksanaan shalat tasbih secara berjamaah tidak di bolehkan.
Referensi:
Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Minhaj Jilid 1 Hal 361 Dar Kutub Ilmiyah
قوله: قسم لا تسن له جماعة) أي: دائما وأبدا بأن لم تسن له أصلا، أو تسن في بعض الأوقات كالوتر في رمضان، ولو صلى جماعة لم يكره، لكن لا ثواب فيها وحينئذ يقال لنا: جماعة لا ثواب فيها ح ل. وذهب سم إلى حصول ثواب الجماعة واعتمد شيخنا ح ف كلام ح ل ونقل ع ش عن سم على حج أنه يثاب عليها، وإن كان الأولى تركها، وهو بعيد اهـ وعبارة ع ش على م ر، واستشكل بأن خلاف الأولى منهي عنه والنهي يقتضي عدم الثواب إلا أن يقال: لم يرد بكونه خلاف الأولى كونه منهيا عنه، بل إنه خلاف الأفضل، أي فيكون في مقابلة فضل. وبدأ بهذا القسم مع أفضلية الثاني لتكرره كل يوم وتبعيته للفرائض، وراجع مشروعية النفل كانت في أي وقت. اهـ شوبري
Nihayatul Muhtaj dan Hasyiah Syibra Malasi Jilid 2 Hal 107 Dar Fikr
صلاة النفل قسمان: قسم لا يسن جماعة) بنصبه على التمييز المحول عن نائب الفاعل: أي لا تسن فيه الجماعة، ولو صلي جماعة لم يكره لا على الحال لفساد المعنى، إذ مقتضاه نفي السنية حال الجماعة لا الانفراد، وهو غير صحيح
قوله: ولو صلى جماعة لم يكره) أي ويثاب على ذلك. اهـ سم على حج بالمعنى.
وهل الأولى ترك الجماعة فيه كما مر في اقتداء المستمع بالقارئ أو لا ويفرق؟ فيه نظر. والظاهر عدم الفرق فيكون فعلها في الجماعة خلاف الأولى، وقد يشعر به جعلها كذلك في صلاة الليل كما يفهم من قول المحلي في التراويح، ومقابل الأصح أن الانفراد بها أفضل كغيرها من صلاة الليل لكنه يشكل على كونه خلاف الأولى حصول الثواب فيها فإن
خلاف الأولى منهي عنه، والنهي يقتضي عدم الثواب، إلا أن يقال لم يرد بكونه خلاف الأولى كونه منهيا عنه بل إنه خلاف الأفضل
Bughyatul Mustarsyidin Hal 67 Cet. syirkah Ma’arif, Bandung
مسألة : ب ك) : تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها.
Tuhfatul Muhtaj Jilid 2 Hal 241 Dar Fikr
صلاة النفل قسمان قسم لا يسن جماعة) تمييز محول عن نائب الفاعل لا حال لفساد المعنى إذ مقتضاه نفي سنيته حال الجماعة لا الانفراد وهو فاسد بل هو مسنون فيهما، والجائز بلا كراهة هو وقوع الجماعة فيه
Qaul Jamik an-Najih (Majmuk Sab’ah al-Kutub Mufidah) hal 172 Haramain
تتمة : وفى فتاوى الكردى رحمه الله تعالى ليست صلاة التسبيح من النفل الذى تشرع فيه الجماعة لكن مذهب الشافعى رضي الله عنه أن النفل الذى تشرع الجماعة فيه تسن الجماعة فيه ويثاب عليها زما لا فلا ولا يحصل فيه ثواب الجماعة لعدم مشروعيتها فيه ولكن ثواب النفل نفسه يحصل ولا ينقص منه شيء وليست الجماعة فيه مكروهة إذ لا يوجد فى مذهب الشافعى نقل تكره الجماعة فيه كما هو مقرر بل ان انضم إلى فعلها جماعة فصدا لتعليم العوام كان نورا على نور وأطال إلى أن قال نعم إن كان يخاف من فعله إقتداء العوام به فى ذلك واعتقادهم مشروعية الجماعة فى صلاة التسبيح فلا يبعد حينئذ جواز الإنكار بل وحوبه فى حق الأمر
----------------------------------------------------------------------------------
Hukum memanjangkan sujud terakhir
PERTANYAAN :
Ahmada Berseri
السلام عليكم ايهاالاخوان
ada pertanyaan nie. Apa hukum nya memperpanjang sujud terakhir ketika sholat dengan bacaan tasbih atau do'a?... Atas jawabannya sebelum dan sesudahnya terima kasih.
JAWABAN :
1.
Wa alaikumus salaam warohmatulloh, dalam sujud/ruku' disunnahkan menambah tasbih hingga 5, 7, 9 atau 11 kali kemudian ditambah doa terutama doa yang warid dari Rasulullah, bagi orang yang shalat sendiri atau bagi imam yang mengetahui kerelaan makmumnya untuk memperpanjang sujud dan jumlah makmumnya sedikit sehingga mungkin diketahui kerelaannya, dan juga bagi makmum karena mengikuti imamnya. Sedangkan makmum yg imamnya tidak memanjangkan sujud serta imam yang tidak bisa mengetahui kerelaan makmumnya karena jumlah makmum yang banyak maka tidak disunnahkan memanjangkan sujud/ruku' dengan tasbih dan doa.
2.
وأدنى الكمال ثلاثة وأن يكثر فيه من الدعاء - شرح الرياض البديعة
Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Al-Riyadlu Al-Badi'ah Hal 35 mengatakan : Sunah ketika ruku' membaca "SUBHANA ROBIYAL A'LA WABIHAMDIHI".
Dan sempurna yg paling sedikit adalah dibaca tiga kali.
Dan sunah menambahkan kalimah "SUBBUHUN QUDDUUSUN ROBBUNAA WA ROBBUL MALAAIKATU WARRUUHU".
Dan sunah bagi MUNFARID menambahkan do'a
"SAJADA WAJHIY LILLADZI KHOLAQOHU WASHOWWAROHU WASYAQQO SAM'AHU WA BASHOROHU,PATABAAROKALLAHU AHSANAL KHOLIQIIN". seperti diriwayatkan dari sayyidina ali r.a ,dan hal ini disunahkan menurut asy-syafi'iyyah. Dan sunah memperbanyak do'a ketika sujud,sebagaimana diriwayatkan imam muslim : "AQROBU MAA YAKUNUL 'ABDU MIN ROBBIHI WA HUWA SAAJIDUN,PA AKTSIRUU AL-DU'Aa".
- Boleh menambahkan do'a dari ayat" alqur'an setelah membaca do'a dan tasbih yg telah warid. - Boleh menambah do'a dan dzikir ini bagi munfarid dan imam mahshurin, - Bagi imam ghoir mahshur atau tdk ada izin dari ma'mum untuk menambah do'a,maka yg lbh utama hanya membaca tasbiih saja 3x.
Wallahu a'lam
3.
Memperpanjang sujud itu sunnah Termasuk sujud terakhir baik dgn tasbih yg sudah masyhur ( Subhana robbiyal A'laa wabihamdihi ) atau dgn Do'a yg di tentukan
Ta'bir atau referensinya:
قوله ( والتثليث أدنى الكمال ) واقله أن يقول ذلك مرة / ثﻻث وأكمله إحدى عشرة نظير ما مر في الركوع ، ويزيد المنفرد اللهم لك سجدت وبك أمنت ، ولك أسلمت ، سجد وجهي للذى خلقه وصوره ، وشق سمعه وبصره تبارك الله أحسن الخالقين ، وألحق به إمام قوم محصورين رضوا بالتطويل .
حاشية الشرقاوى -ج.1 ص 437-438 )
.والله أعلم بالصواب
4.
[ شرح النووي على صحيح مسلم ]الكتاب : المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاجالمؤلف : أبو زكريا يحيى بن شرف بن مري النوويالناشر : دار إحياء التراث العربي - بيروتالطبعة الطبعة الثانية ، 1392عدد الأجزاء : 18
والمريض وإذا صلى وحده فليصل كيف شاء ) وفي رواية وذا الحاجة معنى احاديث الباب ظاهر وهو الأمر للإمام بتخفيف الصلاة بحيث لا يخل بسنتها ومقاصدها وأنه إذا صلى لنفسه طول ما شاء في الأركان التي تحتمل التطويل وهي القيام والركوع والسجود والتشهد دون الاعتدال والجلوس بين السجدتين والله أعلم
(4/184)
5.
Disunnahkan bagi orang yang sholat sendirian ataupun imam dengan jamaah tetapnya yang rela bila si imam memperlama sujudnya untuk memperbanyak doa. Karena keadaan sujud merupakan salah satu dari beberapa keadaan doa itu diijabahi
AT-TARMASIY juz 3 hal.45-47Cet. Dar al-Minhaj
( و ) يسن ( ايضا اجتهاد المنفرد ) وامام من مر ( في الدعاء في سجوده ) سيما بالمأثور فيه ، وهو كثير ، لخبر مسلم (( اقرب ما يكون العبد من ربه - اي من رحمته ولطفه وانعامه عليه - وهو ساجد ، فأكثروا فيه من الدعاء )).......قوله : ( وامام من مر ) اي : قوم محصورين رضوا بالتطويل بالشروط السابقة ، والمأموم تابع لإمامه....قوله : ( في الدعاء ) اي : بما يحبه....قوله : ( لخبر مسلم ) دليل لسن الاجتهاد في الدعاء...
قوله ; ( فأكثروا فيه ) اي : في السجود
6.
فيه استحباب الدعاء فى اخرالصلاة قبل السلام وفيه انه يجوز الدعاء بما شاء من امور الاخرة والدنيا مالم يكن اثما وهذا مذهبنا ومذهب الجمهور.
(المنحاج شراح صحيح مسلم ج ١٤ ص ١١٧).
Wallohu a'lam bis showab
SHOLAT TASBIH : SUJUD SAHWI KAH BILA TIDAK BACA TASBIH ?
seperti yg kita ketahui bersama bhw pelaksanaan sholat TASBIH itu berdeda dg sholat pd umumnya, yaitu jumlah bacaan tasbih yg telah ditentukan secara khusus.
Pertanyaannya:
apakah dsunnahkan sujud sahwi kalau tdk membaca tasbih yg sesuai dg aturan ??
Klu sy blh memberi masukan ketika seseorang yg sdg melaksanakan sholat tashbih tp dia tdk membaca sesuai dg aturan, mk di sunnahkan sujud sahwi.
Penyebab2 disunnahkan sujud sahwi
1.melakukan sesuatu dimana jika dilakuka secra sengaja membatalkan sholat.
2.meninggalkan sunnah ab'aadh atau bagian dari suatu sunnah ab'adh.
3. memindahkan rukun qouliy bukan pada tempatnya,,
4. memastikan melakukan suatu rukun fi'liy disaat berkemungkinan terjadi penambahan dikarenakannya.
Pada empat perkara diatas persoalan ketentuan jumlah tasbich yang hendaknya dibaca bila DILAKUKAN tidak sesuai aturannya maka tidak ada ketentuan sujud sahwi..
trus gmn sholat tasbihnya kang Zaine Elarifine Yahya kl dkerjakan sprti sholat yg lain?
sdgkn yg memBEDAkan antara sholat tasbih dg sholat yg lain itu adalah bacaan TASBIH (dg ketentuan & jumlah khusus) tsb.
jd menurut pean "status" hukum bacaan tasbih yg dtentukan scra KHUSUS dlm pelaksaan sholat tasbih, sekaligus sbg ciri pembeda antara sholat tasbih dg sholat yg lain, itu SAMA dg bacaan tasbih dlm sholat pd umumnya, yaitu sunnah hai'at?
Demikian adanya .. bacaan tasbich dalam sholat tasbich adalah sunnah hai-at ... silahkan direnungkan kembali..
Sy ingin menyampaikan sebuah ibarot yg terdapat dlm kitab al -ADZKAR an NAWAWIYAH & monggoh kita pahami bersama :
قيل لعبد الله بن المبارك ان سها فى صلاة التسبيح ايسبح فى سجدتي السهو عشرا عشرا قال لا انما هي ثلاثمائة تسبحة وانما ذكرت هذا الكلام فى سجود السهو.
ibarot ini jg trdapat dlm kitab kitab al futuuhatirrobbaniyyah juz 4 no 319 -320.
Faham sy sementara ini di sunnatkan sujud sahwi krn yg membedakan antara sholat tasbih & sholat yg lain adl bacaan tasbih dg jumlah yg husus.
Ditanyakan hal ini : " Apabila lupa AKAN SESUATU dalam sholat tasbiich apakah pelaksananya itu hendaknya sujud sahwi dengan membaca dalam hitungan 10 tasbch juga UTK STIAP SUJUD DARI DUA SUJUD SAHWI itu ?" kepada imam ibnul mubaarok lalu beliau menjawab TIDAK?
Sholat tasbich hanyalah sholat dengan bacaan tasbich sebanyak 300 kali tasbiich....
Aku mengingat ucapan beliau ini dalam penjelasan soal sujud sahwi..
Pertanyaannya menyikapi ta'biir diatas.. SESUATU YANG TERLUPA?
dan mengapa dijawab TIDAK? yg dimaksud TIDAK itu tidak apa?
Nah,, itu dia yg memerlukan pemikiran lbh dlm lg. Sekali lagi klu menurut faham sementara saya lafadz LA tsb ai LA ASYRON ASYRON & lafadz INNAMA HIYA TSALATSU MI'ATI TASBIHATIN itu lebih menekankan pd jumlah baca'an tasbihnya yg membedakan dg sholat2 yg lain.
(تنبيه) سئل ابن حجر رضي الله عنه عن صلاة التسبيح، هل هي من النوافل المطلقة ؟ أو من المقيدة باليوم أو الجمعة أو الشهر أو السنة أو العمر ؟ وإذا قلتم أنها من النوافل المقيدة، هل يكون قضاؤها مستحبا وتكرارها في اليوم أو
الليلة غير مستحب أم لا ؟ وإذا قلتم أنها من النوافل المطلقة، هل يكون قضاؤها غير مستحب وتكرارها في اليوم والليلة مستحب أم لا ؟ وهل التسبيح فرض أو بعض أو هيئة ؟.
فأجاب رضي الله عنه: الذي يظهر من كلامهم أنها من النفل المطلق، فتحرم في وقت الكراهة.
ووجه كونها من المطلق أنه الذي لا يتقيد بوقت ولا سبب، وهذه كذلك، لندبها كل وقت من ليل أو نهار - كما صرحوا به - ما عدا وقت الكراهة لحرمتها فيه.
كما تقرر وعلم من كونها مطلقة أنها لا تقضى، لانها ليس لها وقت محدود حتى يتصور خروجها عنه وتفعل خارجه، وأنه يسن تكرارها ولو مرات متعددة في ساعة واحدة
والتسبيحات فيها هيئة كتكبيرات العيدين، بل أولى، فلا يسجد لترك شئ منها
<I’anah jilid 1......>
وأما غير الأبعاض من السنن فلا يسجد لتركها هذا هو الصحيح المشهور المعروف ولنا قول قديم شاذ أنه يسجد لترك كل مسنون ذكرا كان أم عملا ووجهه أن من نسي التسبيح في الركوع والسجود سجد
< Almajmu’ IV/125>
Ibnu Hajar menggolongkan solat tashbih sebagai solat muthlaq, tanpa batasan waktu dan tanpa sebab. Termasuk juga kaifiyyatnya dihukumi muthlaq, tidak ada aturan (syarat dan rukun) khusus.
Adapun bacaan tshbih yang hukumnya sunat yg menjadi cirri utama dalam solat ini, tidak cukup dijadikan standar keabsahan solat tashbih. Sehingga ketika bacaan tashbih itu ditinggalkan dengan SENGAJA sekalipun, tidak akan mengganggu status solat, dan tidak cukup pula menjadi alasan dianjurkannya sujud sahwi sbg pengganti.
Berkenaan dengan sujud sahwi yg hubungannya dengan solat tashbih…, bacaan tashbih pada solat tashbih sama halnya seperti bacaan takbir pada solat id yang hukumnya termasuk sunat HAI-AT. Sementara sujud sahwi erat kaitannya dengan sunat AB’ADL.
Jadi, tidak ada sujud sahwi sbg pengganti bacaan tashbih pada sholat tshbih.
Demikian, mohon tela’ah dan koreksinya…
namun dalam kitab almajmu' diatas tetap ada kesunnahan sujud sahwi bila kita mengunakan qoul qodiim yang syaadz ......
Apakah itu juga termasuk dalam persoalan sholat tasbich ini? afwan.
Dalam ibarot yg ada dlm kitab i'anah jelas tdk di anjurkan sujud sahwi tp dlm ibarot yg ada dlm kitab majmu' diterang khilaf & bs jadi ibarot yg ada dlm kitab adzkar adl qoul qodim yg syadz.
pd ktb almajmu' jild 4 hal 125.
ya, setuju kalau mengacu pada wajhu syadz dan qoul hanafi tetap sunat sujud sahwi.
dan bacaan tashbih pun termasuk bagian darinya....
وتكبيرات العيد الزائدة وسائر الهيئات المسنونات غير الابعاض
dengan pijakan bahwa bacaan tashbih disamakan dengan takbir solat id... demikian...
Semoga bermanfaat
Sholat tarawih membaca keras hingga mengganggu yang lain
SHALAT TARAWIH JAHR HINGGA MENGGANGGU YANG LAIN
PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum? mau tanya, bagaimana hukumnya sholat tarawih yang memakai alat pengeras yang mengganggu kekhusuan pada yang lain karena terdengar keras suaranya??
JAWABAN :
Makruh bagi orang yang sholat dan lainnya mengeraskan bacaan jika mengganggu orang tidur atau mengganggu orang yang sedang sholat, namun kemakruhan itu hilang jika dilakukan pada sholat jahriyah seperti sholat isya' dsb.
Semoga bermanfaat
PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum? mau tanya, bagaimana hukumnya sholat tarawih yang memakai alat pengeras yang mengganggu kekhusuan pada yang lain karena terdengar keras suaranya??
JAWABAN :
Makruh bagi orang yang sholat dan lainnya mengeraskan bacaan jika mengganggu orang tidur atau mengganggu orang yang sedang sholat, namun kemakruhan itu hilang jika dilakukan pada sholat jahriyah seperti sholat isya' dsb.
فتح المعين هامش إعانة الطالبين ج ١ ص ١٥٣ ولا يجهر مصل وغيره إن شوش على نحو نائم أو مصل فيكره كما فى المجموع
حاشية إعانة الطالبين ج ١ ص ١٥٣ (قوله: ولا يجهر مصل وغيره) أي كقارئ وواعظ ومدرس.(قوله: إن شوش على نحو نائم أو مصل) لفظ نحو، مسلط على المعطوف والمعطوف عليه، ونحو الثاني، الطائف والقارئ والواعظ والمدرس.وانظر ما نحو النائم.ويمكن أن يقال نحوه المتفكر في آلاء الله وعظمته، بجامع الاستغراق في كل.وقوله: فيكره أي التشويش على من ذكر.وقضية عبارته كراهة الجهر إذا حصل التشويش ولو في الفرائض، وليس كذلك لأن ما طلب فيه الجهر - كالعشاء - لا يترك فيه الجهر لما ذكر، لأنه مطلوب لذاته فلا يترك لهذا العارض.أفاده ع ش.
Semoga bermanfaat
Tanda orang merasakan datangnya lailatul qodar
Sayyiduna Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Sayyiduna Nabi Shollalloohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan Sholat Taraweh pada Bulan Ramadhan malam kedua puluh lima : Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.
(kitab Durrotun Nashihiin, hal 16–17)
Diantara Keutamaan Sholat Taraweh dari Hadits yang Shohih
Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(HR Imam Bukhari no 37 dan Imam Muslim no 759)
Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi.
(Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 6 : 39)
Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda :
(HR Imam An-Nasai)
Do'a yang bisa dibaca sehabis berbuka puasa sore/petang nanti, Telah menyebutkan seorang ulama yang bernama As-Sayyid Al-wanaai ra : Dari shohabat sayyidina Anas bin Maalik RA beliau berkata : Sayyidina Rosulillah Saw bersabda : Tidaklah seorang muslim yang berpuasa kemudian ketika dia berbuka puasa dia membaca :
kecuali akan terhapuskan dosa-dosanya seperti hari dilahirkan ibunya
(kitab Kanzun Najaah Was-suruur Syeikh Abdul Hamid Qudsi, Riwayat ini di dapat dari Al-Habib Umar Sholeh Al-Hamid)
Waalloohu A'laam
امين ياربّ العالمين
------------------------------------------------------------------------------
Sesungguhnya Sidratul Muntaha berada diatas batas langit ke tujuh disisi syurga. Sidratul Muntaha tsb berada diatas batas atmosfir dunia dan atmosfir akhirat. Puncaknya didalam syurga, akar dan cabang-cabangnya dibawah al Kursi.
Sumber
Tafsir Ibn Katsier juz 8 halaman 452
Wallaahu A’lamu bihshowaab
Dalam kitab al Ghunyah halaman 264:
Dalam kitab Duratun-Nashihin
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dari Siti 'Aisyah, "Apabila aku menemukan Lailatul Qadar, maka aku akan memperbanyak doa; AS'ALULLAHA AL'AFWA WAL 'AAFIYAH. "
Dalam kitab Duratun-Nashihin, Rasulullah berkata, "Pada malam Lailatul Qadar akan turun empat bendera, yaitu Liwa'ul Hamdi (Bendera pujian), Liwa'ul Rahmah(bendera kasih sayang), Liwa'ul Maghfirah(bendera ampunan) dan Liwa'ul Karamah(bendera kemuliaan). Pada tiap bendera diiring oleh 70rb Malaikat, dan pada tiap bendera ada lafazh 'Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah'. Siapa yang pada malam Lailatul Qadar membaca 'Laa ilaaha illallah Muhammadur-Rasulullah' hingga 3x, maka pada tiap satu bacaan akan menyelamatkannya dari api neraka dan memasukannya ke dalam surga. " dan Liwa'ul Hamdi akan dikibarkan di antara langit dan bumi, Liwa'ul Maghfirah dikibarkan di atas makbarah Rasulullah, Liwa'ul Rahmah dikibarkan diatas ka'bah dan Liwa'ul Karamah dikibarkan diatas batu(pijakan malaikat jibril) dibaitul Maqadas, pada malam tersebut tiap Malaikat dari pengiring bendera akan mendatangi pintu rumah orang muslim dgn 70x dan bersalam.
Semoga bermanfaat
(kitab Durrotun Nashihiin, hal 16–17)
Diantara Keutamaan Sholat Taraweh dari Hadits yang Shohih
Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.(HR Imam Bukhari no 37 dan Imam Muslim no 759)
Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi.
(Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 6 : 39)
Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda :
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.(HR Imam An-Nasai)
Do'a yang bisa dibaca sehabis berbuka puasa sore/petang nanti, Telah menyebutkan seorang ulama yang bernama As-Sayyid Al-wanaai ra : Dari shohabat sayyidina Anas bin Maalik RA beliau berkata : Sayyidina Rosulillah Saw bersabda : Tidaklah seorang muslim yang berpuasa kemudian ketika dia berbuka puasa dia membaca :
يَا عَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ أَنْتَ إِلَهِيْ لا اله غَيْرُكَ اِغْفِرِ الذَّنْبَ العَظِيْمَ فَاِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذَّنْبَ العَظِيْمَ إِلَّا العَظِيْمُ
Ya 'adhimu ya 'adhimu angta ilaHiya lailaha ghoiruka ighfiridz dzanbaal 'adhima faainnaha layaghfirudz dzanbaal 'adhim illaal'adhimu.kecuali akan terhapuskan dosa-dosanya seperti hari dilahirkan ibunya
(kitab Kanzun Najaah Was-suruur Syeikh Abdul Hamid Qudsi, Riwayat ini di dapat dari Al-Habib Umar Sholeh Al-Hamid)
Waalloohu A'laam
امين ياربّ العالمين
------------------------------------------------------------------------------
ذِكْرُ أَثَرٍ غَرِيْبٍ وَنَبَأٍ عَجِيْبٍ يَتَعَلَّقُ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ عِنْدَ تَفْسِيْرِ هَذِهِ السُّوْرَةِ الْكَرِيْمَةِ فَقَالَ:
Menuturkan atsar gharib dan cerita ajib, yang berkaitan dengan Lailatul Qadar. Diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad bin Abi Hatim ketiak menafsiri surat ini (Innaa anzalnaahu). Beliau berkata:حَدَّثَنَا أَبِيْ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِيْ زِيَادٍ الْقَطَوَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُوْسَى بْنُ سَعِيْدٍ يَعْنِي الرَّاسِبِيَّ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِيْ جَبَلَةَ، عَنْ أَبِيْ عَبْدِ السَّلَامِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ كَعْبٍ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى عَلَى حَدِّ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ مِمَّا يَلِي الْجَنَّةَ فَهِيَ عَلَى حَدِّ هَوَاءِ الدُّنْيَا وَهَوَاءِ الْآخِرَةِ، عُلُوُّهَا فِي الْجَنَّةِ وَعُرُوْقُهَا وَأَغْصَانُهَا مِنْ تَحْتِ الْكُرْسِيِّ،
....dari Ka’ab, bahwasanya beliau berkata:Sesungguhnya Sidratul Muntaha berada diatas batas langit ke tujuh disisi syurga. Sidratul Muntaha tsb berada diatas batas atmosfir dunia dan atmosfir akhirat. Puncaknya didalam syurga, akar dan cabang-cabangnya dibawah al Kursi.
فِيْهَا مَلَائِكَةٌ لَا يَعْلَمُ عِدَّتَهُمْ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، يَعْبُدُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أَغْصَانِهَا فِيْ كُلِّ مَوْضِعِ شَعْرَةٍ مِنْهَا مَلَكٌ وَمَقَامُ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِيْ وَسَطِهَا
Didalam Sidratul Muntaha terdapat Malaikat yang tidak mengetahui bilangannya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka beribadah kepda Allah diatas dahannya. Disetiap tempat serabut dari dahan-dahannya terdapat satu Malaikat. Adapun maqom Jibril berada di tengah-tengah Sidratul Muntaha.فَيُنَادِي اللهُ جِبْرِيْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِيْ كُلِّ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مَعَ الْمَلَائِكَةِ الَّذِيْنَ يَسْكُنُوْنَ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَلَكٌ إِلَّا قَدْ أُعْطِيَ الرَّأْفَةَ وَالرَّحْمَةَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ.
Maka Allah memanggil Jibril agar turun pada setiap Lailatul Qadar bersama para Malaikat penghuni Sidrotul Muntaha. Dalam Malaikat-Malaikat tsb tiada lain kecuali diberi belas kasihan dan rahmat terhadap oang-oang mukmin.فَيَنْزِلُوْنَ مَعَ جِبْرِيْلَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ، فَلَا تَبْقَى بُقْعَةٌ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ إِلَّا وَعَلَيْهَا مَلَكٌ إِمَّا سَاجِدٌ وَإِمَّا قَائِمٌ يَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ كَنِيْسَةٌ أَوْ بِيْعَةٌ أَوْ بَيْتُ نَارٍ أَوْ وَثَنٍ أَوْ بَعْضُ أَمَاكِنِكُمُ الَّتِيْ تَطْرَحُوْنَ فِيْهَا الْخَبَثَ، أَوْ بَيْتٌ فِيْهِ سَكْرَانُ أَوْ بَيْتٌ فِيْهِ مُسْكِرٌ أَوْ بَيْتٌ فِيهِ وَثَنٌ مَنْصُوْبٌ، أَوْ بَيْتٌ فِيهِ جَرَسٌ مُعَلَّقٌ أَوْ مَبْوَلَةٌ أَوْ مَكَانٌ فِيْهِ كَسَاحَةُ الْبَيْتِ،
Maka pada Lailatul Qadar tatkala matahari mulai terbenam turunlah para Malaikat bersama Jibril . Pada Lailatul Qadar tidak ada sejengkal tanahpun kecuali disitu terdapat Malaikat, ada yang sujud dan ada yang berdiri untuk mendoakan orang-orang mumin laki-laki dan perempuan, kecuali kanisah (tempat peribadatan nasrani) atau bii’at (tempat peribadatan yahudi) atau ada rumah api (tempat peribadatan majusi), atau berhala, atau sebagian tempat-tempat pembuangan sampah kalian, atau rumah yang di dalamnya terdapat orang mabuk, atau nrumah yang terdapat barang-barang yang memabukkan, atau rumah yang dipasang patung berhala, atau rumah yang di dalamnya digantungkan sebuah lonceng, atau wadah kencing , atau tempat yang ada sapuan sampah rumah.فَلَا يَزَالُوْنَ لَيْلَتَهُمْ تِلْكَ يَدْعُوْنَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَجِبْرِيْلُ لَا يَدَعُ أَحَدًا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِلَّا صَافَحَهُ، وَعَلَامَةُ ذَلِكَ مَنِ اقْشَعَرَّ جِلْدُهُ وَرَقَّ قَلْبُهُ وَدَمَعَتْ عَيْنَاهُ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ مُصَافَحَةِ جِبْرِيْلَ
Pada malam tersebut para Malaikat tidak henti-hentinya mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Jibril tidak meninggalkan satupun orang-orang mukmin kecuali mengajaknya bersalaman. Tandanya bersalaman dengan Jibril : orang tersebut menggigil badannya (gemeter. Jw) , hatinya menjadi lunak, dan berlinang air matanya. Maka sesungguhnya yang demikian itu tandanya berjabatan dengan Jibril.Sumber
Tafsir Ibn Katsier juz 8 halaman 452
Wallaahu A’lamu bihshowaab
Dalam kitab al Ghunyah halaman 264:
ثم يقول جبريل عليه السلام للملائكة تفرقوا . فيتفرقون فلا تبقى دار ولاحجرة ولا بيت ولا سفينة فيها مؤمن أو مؤمنة إلا دخلت الملائكة فيها إلا بيت فيه كلب أو خنزير أو خمر أو جنب من حرام أوصورة
-------------------------------------------------------------------------Dalam kitab Duratun-Nashihin
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dari Siti 'Aisyah, "Apabila aku menemukan Lailatul Qadar, maka aku akan memperbanyak doa; AS'ALULLAHA AL'AFWA WAL 'AAFIYAH. "
Dalam kitab Duratun-Nashihin, Rasulullah berkata, "Pada malam Lailatul Qadar akan turun empat bendera, yaitu Liwa'ul Hamdi (Bendera pujian), Liwa'ul Rahmah(bendera kasih sayang), Liwa'ul Maghfirah(bendera ampunan) dan Liwa'ul Karamah(bendera kemuliaan). Pada tiap bendera diiring oleh 70rb Malaikat, dan pada tiap bendera ada lafazh 'Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah'. Siapa yang pada malam Lailatul Qadar membaca 'Laa ilaaha illallah Muhammadur-Rasulullah' hingga 3x, maka pada tiap satu bacaan akan menyelamatkannya dari api neraka dan memasukannya ke dalam surga. " dan Liwa'ul Hamdi akan dikibarkan di antara langit dan bumi, Liwa'ul Maghfirah dikibarkan di atas makbarah Rasulullah, Liwa'ul Rahmah dikibarkan diatas ka'bah dan Liwa'ul Karamah dikibarkan diatas batu(pijakan malaikat jibril) dibaitul Maqadas, pada malam tersebut tiap Malaikat dari pengiring bendera akan mendatangi pintu rumah orang muslim dgn 70x dan bersalam.
Semoga bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)